08.

4.4K 565 84
                                    


"Dan kenapa Semesta ga bisa jadi Semesta-nya kalian?"
-






Seminggu setelah kejadian itu, kini Semesta menjadi anak pemurung. Tak ada lagi sapaan hangat dan senyum bersinar dari seorang Semesta. Setiap hari setelah melaksanakan tugasnya, ia akan mengeram diri di kamar. Seperti malam ini, sehabis mengurus Jendral, ia lebih baik tidur.

Setiap manusia punya batas kesabaran, dan disinilah batas kesabaran Semesta. Dimana dia juga punya titik jenuh pada kehidupan. Rasanya ia ingin memutar balikkan takdir. Semesta tidak tau, sampai kapan Tuhan akan mengujinya.

"Semesta" Suara di luar kamar itu menginterupsi lamunan Semesta. Terdengar parau dan lemah. Dengan malas ia membuka pintu.

"Apa?" Tanya Semesta langsung, ia sedang tidak ingin diganggu.

"Temenin gue yuk dikamar?" Itu Jendral yang meminta. Mau tak mau harus Semesta turuti. Dengan langkah gontai ia menyusul Jendral ke dalam kamar.

Setelah keduanya masuk, dengan posisi Jendral berbaring dan Semesta sedang diam duduk di samping ranjang Jendral. Hanya ada keheningan suara malam dan hembusan nafas.

"Lo kenapa?" Tanya Jendral membuka suara, rupanya ia juga menyadari perubahan yang terjadi pada Semesta.

Semesta hanya membalas dengan gelengan kepala, lalu membuang muka ke arah lain. Tanpa sadar tangan Jendral bergerak mengusak kepala Semesta.

"Maafin gue ya? Selama ini gue jahat banget sama lo. Apalagi orang tua gue—-"

Semesta menoleh kembali, "Semesta ga pernah marah, apa lagi sama Ayah sama Mama. Ga pernah Mas... Semesta cuma mau disayang aja, tapi kenapa mereka berat banget buat ngasih kasih sayang. Semesta juga mau diperhatiin kaya Mas Jendral, tapi kenapa mereka gak bisa Mas? Selama ini apa kurang cukup pengorbanan Semesta buat kalian? Apa kurang cukup apa yang Semesta berikan buat kalian? Mas? Kenapa takdir ga berpihak sama Semesta? Kenapa takdir selalu permainin Semesta? Dan kenapa Semesta ga bisa jadi Semesta-nya kalian?" Ucap Semesta panjang lebar sambil menahan tangisnya yang sudah diujung mata.

Jendral terenyuh mendengar suara yang dikeluarkan Semesta, tangannya kini berpindah pada pundak lelaki didepannya ini. Terlihat sekali banyak beban yang Semesta pikul, dari mulai mengurus rumah, mengurus Jendral, berkerja keras. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas tanpa pamrih. Tapi keluarganya selalu memberi nilai kurang pada Semesta. Jika dulu Jendral ada di pihak orang tua nya, kini ia memihak Semesta. Karena selama ini Semesta telah mengurusnya dengan cukup baik. Bahkan saat Jendral putus asa pun, yang disampingnya adalah Semesta. Namun saat Semesta sedang membutuhkan seseorang untuk menguatkannya? Tidak ada siapapun yang ada disampingnya.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo"

"Ngomong apa?" Kini Semesta lebih tenang dari sebelumnya.

"Sebenernya lo itu—"



-


-


-



Terik matahari menyambut pagi, sinaran itu membuat semua terbangun dari tidur malamnya. Termasuk Semesta, hari ini adalah hari minggu. Dan Semesta sudah izin kepada bibi dan Koh Win untuk libur hari ini.

Setelah mandi dan bersiap ia langsung bergegas ke kamar Jendral. Kemarin malam setelah mengobrol cukup panjang dan diakhiri tawaran Jendral untuk lari pagi. Katanya Jendral bosan jika berada dirumah terus. Semesta hanya bisa mengiyakan keinginan saudaranya itu, padahal sudah beberapa kali Semesta melarang namun Jendral kekeh.

Malam itu bisa disebut sebagai malam terburuk bagi Semesta. Malam dimana dia tau sebuah kebenaran yang selama ini disembunyikan. Semesta tidak merasakan apapun ketika mendengarnya. Hanya kecewa , kecewa dan kecewa.

Semesta dan sendunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang