12.

6.2K 479 32
                                    



"Sekuat apapun kita menolak takdir, hasilnya hanyalah ampas. Terkadang kita harus merelakan sesuatu dengan ikhlas, bukan memaksanya. Kamu bukan Tuhan, tapi seharusnya sebagai manusia yang baik, kamu juga harus setuju dengan keputusan Tuhan. "




Bayang pohon ber goyang dikaca tingkap yang tertutup. Pagi itu hujan tengah lebat dan sesekali angin membanting. Suara air menetes pada atap bangunan bernuansa putih pucat itu.

Rintik hujan pagi itu mengiringi suara monitor pendeteksi detak jantung. Lelaki yang masih terbaring lemah dari kemarin—seolah enggan untuk melihat dunia. Dinyatakan berhasil menjalani operasi transplatasi ginjal.

Deru lega dan helaan nafas panjang keluar dari para dokter dalam ruangan tersebut. Alat alat media yang tak luput dari darah diletakkan ke tempatnya semula. Bagian samping perut itu telah dijahit rapat.

Diluar ruangan terdapat 3 orang lelaki menunggu resah, memejamkan mata seraya berdoa. Ada yang menyenderkan diri ke tembok biasa kita sebut Koh win. Ada yang duduk tenang, Taentariksa. Ada juga yang sedang bertumpu pada sebuah tanaman, siapa lagi kalau bukan Mark?

Mata bulat mereka mengekori seorang dokter dan beberapa antek anteknya keluar dari ruangan. Masih terbungkus dengan seragam hijau dan sesuatu yang dipakai rambut serta masker tidak lupa.

"Berhasil!" Ucapnya singkat, tapi kata itu membuat hati ketiganya meredup tenang.

Setelah melihat dokter berlalu, tanpa meminta izin mereka memasuki area ruangan operasi tersebut. Bisa ditebak jika Jendral yang sedang terbaring.

Mengingat kepergian Semesta kemarin, kepedihan hati boleh saja masih tersirat. Walaupun otak berkata lupakan, tetapi hati tetap saja memaksa mengingat. Pergi selalu menjadi penutup disetiap cerita. Tak usah repot dan panjang lebar menjelaskan tentang rasa sedih. Karena sudah terbayang seperti apa rasanya.

-

-

-






Hujan rupanya telah pergi, menyisakan genangan air dibanyak celah. Mungkin saja hujan lelah, karena tidak henti menuruni bumi selama 8 jam lamanya. Membuat orang merasa jengkel setiap kali menemukan becekan bercampur tanah tersebut. Tetapi disini, Jendral sedang melenguh merasakan betapa remuknya tubuh.

Akhirnya ia siuman setelah tidur panjang, membuat pekik girang tercipta diruangan itu. Mereka mendekati Jendral yang sedang berusaha membuka netra yang sekian lama tertutup.

"Akhirnya sadar juga." Koh Win mengusak pelan surai hitam anak itu, terkekeh pelan dan diselingi senyum palsu yang menderu.

Mark ikut tersenyum, "abis ini gue yakin lo ga bakal ngerasain sakit lagi!"

Jendral terbelalak, dan bibirnya tersenyum simpul sambil menatap Mark. Otaknya setengah persen tidak dapat mencerna apa maksud kata Mark.

"Jangan sakit lagi ya? Kasian Semesta." Taentariksa ikut bergabung dalam percakapan tersebut. Omong omong didalam hati Jendral bertanya, dimana keberadaan Semesta? Tega sekali Semesta tidak mau menemui saudara—ah bahkan mereka berdua tidak memiliki hubungan darah. Apa Semesta membencinya sekarang karena dia dulu pernah memperlakukan Semesta dengan semena mena.

Jendral mengangguk mengiyakan apa kata Taentariksa, "Mana Semesta?"

Rupanya sudah diduga, pertanyaan itu akan mencelos dari bibir Jendral. Ketiga lelaki didepannya ini hanya bisa menatap dengan sendu. Tidak seceria seperti tadi, senyum Koh Win surut serta Mark mendatar. Taentariksa seperti orang yang sedang mati matian menahan kesedihannya.

Semesta dan sendunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang