11.

4.5K 473 14
                                    

"Selamat tinggal kenangan"

-





Taentariksa langsung menghempaskan dirinya ke kasur empuk diapartemennya. Tempat itu menjadi singgahan Taentariksa dalam beberapa tahun ini. Dia dan Mark memang mutuskan untuk tidak membeli rumah. Taentariksa menatap langit langit kamar berwarna abu abu kelabu, terbayang wajah Semesta yang sedang tersenyum, wajahnya saat baru pertama kali berjumpa. Rasanya semua seperti baru kemarin terjadi.

Sebuah butiran bening mencelos dari mata jentik Taentariksa. Ia menangis setelah mencoba kuat dihadapan banyak orang seharian ini. Hari memang sudah malam, tapi hatinya tetap saja ingin merasakan lambatnya waktu. Kadang Taentariksa ia juga berharap agar waktu bisa diulang. Dengan lemah ia mengambil sebuah kotak berisi jam tangan. Rasa menyesal menjalari hatinya, ia merutuki betapa bodoh dirinya yang mengatakan bahwa jika jam ini berhenti berputar maka Semesta juga ikut... ya seperti itu. Jam ini juga berhenti berdenting.

Ia membanting kasar jam itu kearah dinding, membuat hancur berkeping keping.

Didalam kamarnya , tak henti ia mengeluarkan segala unek unek dan muntahan teriakkan frustasi. Demi apapun, pria ini juga seorang manusia yang rapuh. Taentariksa juga bisa merasa tidak berguna. Ia merasa gagal menjadi seorang kakak. Kakak yang baik untuk adik adiknya.

Setelah pemakaman Semesta, lelaki itu memang tidak terlihat menangis diarea pemakaman. Dirinya hanya menunjukkan muka masam dan pandangan yang mistis. Seolah menolak kepergian seorang yang selama ini keberadaannya ia cari.

"SEMESSTAAAA PULANGGG!" Tidak malu ia berteriak, sebab kamarnya redam suara. Ia meminta Semesta untuk pulang? Memangnya Semesta pergi kemana?

Menghela nafas panjang dengan kondisi masih sesegukan. Ia menghampiri jendela terbuka dikamarnya. Melihat pemandangan malam dari atas lantai 10 apartemen. Sebuah ide gila terlintas diotaknya, bagaimana jika ia menyusul Semesta?

"KAK!" Teriak Mark diujung pintu, lantas langsung menghampiri kakaknya yang sedang melamun. Mark menarik kakaknya ke dalam dan menutup jendela rapat.

"Kak, sadar." Ucap Mark penuh luka, ia sangat tahu apa yang terjadi pada kakaknya. Kehilangan untuk yang sekian kalinya. Ia pun merasakan apa yang Taentariksa rasakan.

"Ti-tiga ss-serangkai Chandra, se-karang tinggal dua..." Kata Taentariksa dengan tatapan kosong.


-

-


-




Mark menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Raut muka yang sedih ia tampakkan. Setelah menemani Taentariksa yang dirasa benar benar tidur. Ia langsung bergegas kekamarnya. Ingin menumpahkan segala rasa lelahnya.

Mendudukkan diri di bangku dan menatap cermin yang menampilkan dirinya sendiri. Dimeja itu terdapat kalender dengan tanggal 6 yang sengaja ia bulati.

"Besok lusa rupanya, kenapa happy birthday kamu tahun ini harus jadi happy birthdie?" Mark tersenyum palsu pada dirinya sendiri. Well, setiap orang memang paling handal dalam membohongi diri sendiri.

Dengan hati hati ia membuka laci meja tersebut. Menampakkan foto seorang anak kecil dengan bingkai bercorak bunga matahari. Mark mengusap foto itu lama, merasakan keheningan malam itu. Hanya ditemani suara jangkrik khas malam hari. Menambah mood dalam berlarut dipusaran kesedihan. Air mata menetes dari mata seorang Mark Chandra. Jujur saja ia memang cengeng, sedari tadi dipemakaman hanya dia yang menangis.

Tapi Mark itu penganut pepatah 'menangis bukan berarti gak gentle'. Bahkan orang paling kuat dibumi sekalipun bisa menangis. Kita sebagai manusia tidak boleh munafik, diberi kadar air dalam bola mata harus dipergunakan sebaik mungkin. Menangis juga sebagai bentuk menghargai Tuhan atas hadirnya perasaan sedih.

Semesta dan sendunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang