Kami melangkahkan kaki kami dirumput lebat khas pemakaman pada umumnya. Tempat ini, tempat dimana kami merelakannya pergi, tempat dimana aku merasa menjadi orang bodoh sedunia. Andai saja waktu itu aku tidak gegabah, dengan mengeluarkan pistol secara emosi. Yang sialnya salah sasaran. Harusnya aku yang dihukum dan mendekam dipenjara.
Tapi Mark, adikku. Dia melarangku, dia takut aku menjadi gila hanya karena terbayang oleh kesalahan kesalahan yang tidak kusengaja itu.
Yang tidak bisa aku terima adalah, Semesta meninggal dunia karenaku! Kakaknya sendiri. Ku rasa aku adalah kakak terburuk didunia ini.
Dan Mark selalu bilang itu sudah takdir, Semesta memang harus pergi dan kejadian itu bukan kesalahanku, katanya kurang lebih seperti itu. Ah, memang adikku sangat baik kepadaku. Walaupun aku sering menjahili Mark, itu hanya sebatas keharmonisan hubungan adik kakak. Lebih lengkap lagi jika Semesta masih ada.
Tidak! aku salah. Lebih lengkap lagi jika waktu itu aku tidak menghasut adik adikku untuk merengek meminta liburan. Tidak akan ada kejadian itu, dan pasti keluargaku hidup harmonis hingga sekarang.
Aku memejamkan mataku, merasakan ribuan angin menerpa wajahku. "Semesta," gumamku samar, hampir tidak terdengar. Suaraku menguap bersama angin yang terbang.
Aku melanjutkan langkah kakiku sembari mendorong kursi roda yang diduduki oleh Koh Win ini.
Lelaki lanjut usia ini termenung, melihat lahan hijau penuh batu nisan yang terhampar dihadapannya. Aku ikut tercenung, saat sampai didepan makam bertuliskan nama Semesta.
"Koh, you okay?" Tanyaku pada Koh Win, takut-takut ia merasa sedih dan tak terkendali.
Dia menoleh dan tersenyum tipis, bahkan menurutku itu melebihi tipisnya kertas dan tak kentara. Aku menghela nafas pelan, Koh Win masih setia memandang gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput hijau itu.
Aku terduduk disebelah kursi rodanya. Mengusap makam Semesta, sembari menaburkan bunga agar tempat istirahat Semesta selalu indah dan wangi.
"Ini, jangan lupa." Ucap Koh Win, aku menanggapi bunga yang ia berikan kepadaku.
Aku tersenyum, "Pasti," Jawabku mantap.
Bunga matahari. Bunga yang digadang-gadang memiliki makna kebahagiaan. Tapi betul sekali, aku juga setuju dengan persepsi itu. Aku meletakkan bunga cantik itu di depan nisan Semesta, bunga itu bunga kesukaan Semesta.
"Ayo kita pulang,"
Aku mengangguk, kemudia berdiri dan melangkah ke arah Koh Win untuk mendorong kursi rodanya. Kami melewati beberapa blok makam, yang mungkin nantinya juga kami akan bersemayam disini.
BRUK!!!!
"Hei, hati-hati!" Tegurku pada seorang bocah remaja itu, dia menabrak kami sambil berlari. Ku tebak usianya masih menginjam 17 atau 18 tahun.
"Tae, bantu dia." Kata Koh Win, aku pun segera membantu bocah itu yang juga ikut jatuh terduduk.
Bocah itu menunduk, mungkin merasa bersalah... Entahlah!
"Kemari, Nak," Ajak Koh Win, membuatku kaget. Mengapa Koh Win mengajak bocah tengik ini?
Bocah itu tanpa aba-aba langsung menghambur dan bersimpuh didepan Koh Win, "Aku minta maaf, aku tidak sengaja Tuan... Tolong maafkan aku!" Bocah itu meminta maaf begitu rancu, dan terkesan tidak jelas. Dia terlihat panik sekali.
Koh Win lalu mengelus kepala bocah itu, "Jangan menunduk jika kamu sedang berbicara dengan seseorang, siapa namamu bocah?"
Bocah itu mendongakkan kepalanya dan dengan berani menatap Koh Win. "Aku Chakra, maafkan aku atas kecerobohanku," Tanggapnya dengan pelan.
Aku terkejut, wajah itu... Wajah bocah itu mirip sekali dengan adikku... Semesta! Ya!
"Hati-hati, kau harus hati-hati! Pergilah," Balas Koh Win.
Anak ini mengangguk dan berdiri dari simpuhnya, "Terimakasih Tuan, semoga kita punya kesempatan bertemu lagi di dunia ini!"
Bocah itu berlari di kesunyian pemakaman. Aku dan Koh Win hanya memandang siluetnya yang makin lama makin memudar dan menjauh. Aku terhenyak, terdiam bahkan kelu sekali lidahku.
Koh Win menepuk lenganku, "Itu Semesta, ia merindukan kita."
Thanks!
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta dan sendunya
أدب الهواة[ANGST-AU] [END] "Semesta tidur dulu ya..." Story murni hasil ide @weathereAL