chapter 7: trauma

472 93 59
                                    

"Kamu itu cantik, Yeon. Ibu yakin masih banyak laki-laki di luar sana yang berjuang mendapatkan hati kamu."

Ya, itu benar. Memang ada, namun bukan sekarang waktunya.

Jeongyeon hanya menanggapi perkataan dari sang ibu dengan senyuman tipis. Berulangkali ia menegaskan kalau dirinya bahkan sudah tidak percaya diri untuk berkencan diusianya yang hampir dipenghujung kepala tiga. Namun tetap saja ibunya bersikeras ingin melihatnya berkencan. Katanya Jeongyeon harus bahagia disisa hidupnya.

Semalam Nyonya Yoo menghubungi Jeongyeon agar sepulang kerja bisa menjemputnya di halte. Selain merindukan cucunya yang semakin tampan tentu saja Nyonya Yoo juga merindukan putrinya yang memiliki nasib kurang beruntung. Rumah tangga terguncang, pekerjaan menghilang, semoga saja tidak ada hal buruk yang bertambah setelah ini.

"Nggak mau coba kencan?"

"Ibu, awas dagingnya gosong!" seru Jeongyeon pura-pura panik saat melihat asap lembut mengepul diatas panggangan.

"Jangan mengalihkan topik pembicaraan. Ibu tau, kamu selalu aja menghindar kalau ditanya soal pasangan," balas sang ibu dengan nada kesal. "Apa salahnya mencoba?"

"Aku nggak mau, Bu" tolak Jeongyeon lembut. "Jadi ibu tunggal selamanya nggak jadi masalah kok buat aku."

"Kamu nggak kasihan Doyoung? Dia butuh figur seorang ayah, Yeon."

Jeongyeon kalah. Dirinya paling tidak bisa menghadapi obrolan seperti ini jika sudah disangkut pautkan dengan putra semata wayangnya. Benteng pertahanannya hampir runtuh. Wanita itu kemudian melirik foto Doyoung dan dirinya yang terpajang di dinding rumahnya. Putranya itu bahkan tidak pernah menanyakan dimana keberadaan pria yang telah meninggalkan mereka sejak lama.

Terjebak dalam trauma, itu lah hidup Jeongyeon. Dirinya terperangkap dalam ketakutannya sendiri, takut jika hal yang pernah menghancurkannya dulu terulang kembali. Diibaratkan selama ini ia dan Doyoung hidup dalam sebuah kotak yang dimasukkan lagi ke dalam kotak. Jeongyeon tidak bisa menyayangi orang lain selain putranya, hanya Doyoung satu-satunya benda berharga miliknya yang terus ia lindungi dalam kotak itu.

Jeongyeon mengembalikan fokusnya kepada wortel dan lobak yang tengah dipotongnya. Berbeda dengan sang ibu yang terus saja membuatnya pusing akibat kalimat-kalimat wejangan yang dilontarkan. Intinya Jeongyeon harus mencoba berkencan, Jeongyeon harus menikah, dan Jeongyeon harus hidup bahagia. Demi Doyoung juga tentunya.

"Kan ada suaminya Kak Seungyeon sama Kak Seoyeon, mereka juga sayang kok sama Doyoung," kata Jeongyeon sembari tersenyum.

"Ya tetep aja suami kakakmu beda. Itu bentuk kasih sayang seorang paman kepada keponakannya, bukan antara ayah dan anak!"

"Haduh, Ibu ini," dengus Jeongyeon. "Kalaupun aku cari pasangan, itu pun bukan ayah kandung Doyoung ya sama aja beda. Belum tentu menjamin hidup kami lebih bahagia."

"Terserahlah, susah meluluhkan otak kamu yang keras itu. Bikin Ibu makin pusing saja mikirin kamu."

Jeongyeon terkekeh. "Nggak usah dipikirin, Bu. Aku juga seorang ibu."









Diam-diam Doyoung sejak tadi berdiri di balik dinding sambil mendengarkan apa yang tengah dibicarakan oleh ibu dan neneknya. Tak peduli perbuatannya sopan atau tidak. Remaja itu kemudian melihat layar ponselnya, menunjukan foto seorang pria yang sedang tersenyum lebar sambil menatap ke arah kamera bersama keluarganya sebelum memasuk benda tersebut ke dalam saku celana.

Doyoung menghampiri ibunya yang melangkah menuju balkon untuk memetik selada yang beberapa waktu lalu ditanam bersama dengannya. Tangannya melingkar guna memeluk sang bunda dari belakang. Jeongyeon sedikit terkejut sebelum mengetahui Doyoung lah yang berdiri dibelakangnya.

Love and Pain ft. kdy & yjyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang