Setelah kejadian saat training terakhir dulu, tidak ada kejadian spesial yang terjadi. Anehnya, Albert masih saja bersikap biasa saja terhadapku. Aku terlalu takut untuk membahas masalah identitasku dan Albert juga tidak bertanya apapun mengenai itu. Selain itu, dia bahkan masih bersikap menyebalkan seperti biasa dengan training judo-nya yang sepertinya dibuat hanya untuk menyiksaku. Trio kwek-kwek yang awalnya suka sekali mem-bully-ku, akhir-akhir ini jadi bersikap baik. Walaupun aku merasa lega karena akhirnya mereka berhenti bersikap sinis, aku tetap saja merasa tidak nyaman dengan perlakuan baru mereka.
Setelah training berakhir, akhirnya hari kelulusan tiba. Akhirnya kami semua selesai menjalani masa training dan siap untuk melakukan tugas sungguhan. Acara graduation dimulai dengan upacara di depan bendera, setelah itu kami semua melakukan sumpah sebagai anggota OSP. Acara dilanjutkan dengan pemberian pin di seragam kami oleh direktur OSP satu per satu. Karena keluarga para trainee diundang di upacara ini, aku mendengar beberapa teriakan orang tua yang bangga pada anaknya. Sayangnya aku tidak memiliki keluarga, jadi aku juga tidak berharap ada yang menyaksikanku saat aku diberikan pin itu. Setelah selesai pemberian pin, acara dilanjutkan oleh speech dari direktur dan jenderal di OSP. Jujur saja, aku tidak terlalu tertarik dengan perkataan mereka, jadi aku tidak ingat sama sekali dengan apa yang mereka bicarakan. Setelah acara graduation selesai, Semua trainee yang lulus sibuk mencari orang tua mereka. Semua anggota yang aku lihat sibuk menumpahkan rasa kangen mereka pada keluarga mereka. Karena tidak mau merasa canggung, aku akhirnya keluar dari gedung upacara.
“Hi!” Suara riang seseorang menahanku untuk pergi. Aku melihat seorang perempuan yang tidak familiar.
“Masih inget aku ngga?” Tanyanya. Aku mencoba mengingat-ingat tapi aku tidak mengenal wajahnya.
“Sorry.” Kataku.
“Yang waktu itu ketemu di acara pelantikan.” Katanya lagi. Aku mencoba mengingatnya dan aku tiba-tiba teringat oleh perempuan yang membantuku mencari tempat pelantikan dulu.
“Oh iya, sorry lupa.” Kataku.
“Aku liat, keluarga kamu ngga dateng kesini. Jadi ini buat kamu.” Kata perempuan itu sambil memberikanku setangkai bunga mawar putih. “Kebetulan aja bunganya kelebihan.” Tambah perempuan itu lagi.
“Thanks.” Kataku menerima bunganya lalu berjalan menjauh.
Jujur saja aku tidak mau perempuan itu terlalu dekat denganku. Selain karena takut kalau dia tahu identitasku, aku juga ingin menjaga jarak jika seandainya nanti dia tertarik denganku. Aku benar-benar tidak tahu harus merasa seperti apa saat ini. Apa aku terlihat lebih menarik sebagai laki-laki daripada seperti perempuan? Saat aku baru saja keluar dari dalam gedung, tiba-tiba saja aku mendengar suaraku dipanggil. Saat aku membalikkan badanku, aku melihat Jendral Ernest, Dr. Melinda melambaikan tangan mereka padaku. Albert juga ada di samping mereka.
“Ya ampun, rasanya udah lama banget kita ngga ketemu.” Kata Dr. Mellinda sambil memberikanku sebuah buket bunga.
“Makasih Dok.” Kataku sambil menerima bunga yang diberikan dr. Mellinda. Aku benar-benar lupa bahwa dulu bahkan mereka sempat menawarkan untuk menjadi orang tua angkatku. Jika mereka mengadopsiku, pasti saat ini aku sudah menjadi adik Albert. Membayangkan menjadi adik Albert membuat bulu kudukku merinding.
“Kok masih panggil dokter sih? Panggil tante aja. Lagian ini kan udah bukan di rumah sakit lagi.” Kata Dr. Mellinda.
“Oh iya, lupa tante.” Jawabku. Aku benar-benar merasa awkward.
“Ayo kita foto berempat. Kan kita kesini buat ngerayain kelulusan El.” Kata Jendral Ernest.
Aku benar-benar bingung, untuk apa mereka merayakan kelulusanku padahal aku bukan bagian dari keluarga mereka. Aku kira mereka datang karena Albert. Walaupun aku masih bingung, aku ikut berpose saat Jendral Ernest memberikan kameranya kepada orang yang lewat.
“Sekarang coba kalian berdua yang berdiri di sana.” Kata Jendral Ernest lagi. Aku melihat ke arah mereka dengan bingung. Untuk apa dia mengambil foto kita berdua? Anehnya Albert malah tidak protes sama sekali dan berdiri di sebelahku. Walaupun aku bingung, aku ikut berpose.
“Yuk, kita makan bareng-bareng buat rayain kelulusan El.” Kata Dr. Mellinda.
“Enakan kemana ya? Kamu lagi pengen makan apa? Kan kamu baru lulus, pasti kamu udah bosen sama makanan cafetaria.” Kata Jendral Ernest.
“Aku ngga terlalu tau tempat makan disini. Tante yang pilih aja.” Kataku ke Dr.Mellinda.
“Hmm, kalo gitu biar tante cari dulu di aplikasi review makanan.” Kata Dr. Mellinda.
“Oh iya sampe lupa. Ini, kamu ganti baju dulu. Pasti kamu udah ngerasa gerah kan pake baju cowok terus selama tiga bulan kebelakang ini?” Kata Jendral Ernest sambil memberikanku sebuah shopping bag.
“Ngga papa kok Om, aku ngerasa nyaman-nyaman aja pake baju cowok.” Kataku menolak. Lagipula aku tidak bisa membiarkan keluarga Jendral Ernest untuk terus-terusan memberikanku barang seperti ini. Apalagi mereka sudah banyak sekali membantuku.
“Eh, ngga papa, ganti aja. Lagian tante ngga punya anak cewek, jadi pas beliin kamu baju tuh tante seneng banget.” Kata Dr. Mellinda memaksaku untuk mengganti bajuku.
“Kalo gitu aku ganti baju dulu. Toiletnya…” Kataku sambil melihat di sekitarku.
“Gue tau, ikut gue.” Kata Albert tiba-tiba. Dengan kaget aku melihat ke arah Albert. Aku tidak salah dengar kan? Kenapa dia tiba-tiba berbicara dengan nada casual seperti itu?
“Saya bisa cari sendiri kok.” Kataku menolak tawarannya.
“Ngga papa, lagian sekalian gue juga mau ke toilet.” kata Albert. Aku akhirnya mengikutinya dari belakang. Entah kenapa Albert berperilaku aneh. Biasanya juga dia tidak pernah memperlakukanku sebaik ini. Apalagi biasanya setiap aku bertemu dengannya, dia selalu sibuk menyiksaku.
“Oh iya, kalau di luar OSP, lo ngga usah manggil gue se-formal itu. Lagian papa dan mama udah anggep lo kayak keluarga kita sendiri.” Kata Albert tiba-tiba saat kita berdua berjalan menuju ke toilet. Walaupun aku masih merasa aneh, aku hanya bisa mengangguk. Dari awal juga aku sebenarnya ingin mempunyai hubungan baik dengannya, tapi dia dari awal sudah bersikap ketus dan cuek denganku. Karena itu, aku merasa bahwa mungkin dia tidak menyukaiku.
Setelah sampai di depan toilet, aku hampir saja masuk ke dalam toilet laki-laki karena sudah terlalu terbiasa. Albert segera menahanku dan menyuruhku untuk masuk ke toilet perempuan. Untung saja toilet perempuan kosong, jadi aku tidak harus dianggap sebagai laki-laki mesum. Aku mengganti bajuku dengan dress putih yang berada di dalam shopping bag. Setelah itu, aku juga memakai wig rambut panjang yang ada di dalam shopping bag itu juga. Saat aku keluar, aku merapikan rambut wig tersebut dan mengganti sepatuku dengan sandal berhak.Setelah memastikan bahwa aku tidak terlihat seperti banci di tanah abang, aku keluar dari toilet. Tanpa disangka-sangka Albert terlihat sedang menungguku di depan toilet. Aku kira dia sudah pergi lebih dulu dan kembali berkumpul dengan papa mamanya.
“Yuk balik. Mama sama papa udah nunggu kita.” Kata Albert. Aku mengangguk.
“Captain!” Aku menengok ke arah suara panggilan tersebut dan melihat Maverick, asisten kapten yang biasanya membantu Albert untuk menyusun jadwal training. Aku tiba-tiba merasa gugup. Apa reaksi Maverick setelah melihatku seperti ini? Apa dia akan mengenaliku?
“Oh kenapa?” Tanya Albert.
“Gue lupa kasih ini ke El, gue titip sama lo ya.” Kata Maverick memberikan Albert sebuah gulungan kertas. Sepertinya dia tidak mengenalku dengan penampilan seperti ini. Aku bernafas lega.
“Ok, ntar gue taro di kamar.” Kata Albert.
“Ngomong-ngomong, ini siapa? Cewek lo?” Tanya Maverick tiba-tiba sambil melihat ke arahku. Aku mencoba untuk menjauh dari Maverick karena takut dia akan mengenaliku.
“Bukan. Dia… sepupu gue. Kebetulan lagi liburan kesini.” Kata Albert berbohong.
“Oooh, kenalin, gue Maverick. Temennya Albert.” Kata Maverick menjulurkan tangannya. Aku benar-benar terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa, saat aku berminat untuk mengulurkan tanganku, tiba-tiba saja Albert menarik tanganku.
“Lain kali aja kenalannya. Kita harus buru-buru.” Kata Albert sambil menggandengku untuk berjalan keluar. Aku benar-benar terkejut. Baru kali ini Albert menggandengku dengan normal.
Karena aku memakai hak tinggi, dan Albert berjalan dengan cepat, aku jadi merasa sedikit kesulitan untuk mengikuti jejak langkahnya. Apalagi dia masih menarik tanganku. Akhirnya kita sampai di depan Dr. Melinda dan Jendral Ernest lagi.
“Ya elah, pake gandengan segala. Mama jadi ngga usah khawatir sama hubungan kalian berdua.” Kata Dr.Melinda saat melihat ke arah kami berdua. Dengan reflek, Albert melepaskan gandengan tangannya.
“Jadi udah tau belom mau kemana?” Tanya Albert mengalihkan pembicaraan.
“Udah. Kamu yang nyetir ya.” Kata Jendral Ernest sambil memberikan kunci mobilnya ke Albert.
Kami berempat pergi menuju ke arah parkiran mobil. Dr.Melinda dan Jendral Ernest memilih untuk duduk di kursi belakang, sehingga aku duduk di samping Albert. Selama perjalanan Dr. Melinda dan Jendral Ernest menanyakan banyak hal tentang training di OSP dan apa ada orang lain yang tahu tentang identitasku. Aku menjawab seluruh pertanyaan mereka sampai akhirnya sampai di restoran. Restoran yang kami datangi kali ini adalah restoran jepang yang cukup kecil. Didalamnya penuh dengan dekorasi peralatan dapur jepang. Luas restoran tersebut juga tidak terlalu besar. Setelah memesan makan dan minum, kami kembali mengobrol.
“Jadi, gimana ceritanya kamu bisa tau kalau El itu perempuan? Papa kaget banget waktu kamu tiba-tiba telepon.” Tanya Jendral Ernest. Albert yang baru saja menyeruput minumannya tiba-tiba terbatuk. Tunggu, kalau bukan Jendral Ernest yang memberitahu Albert, bagaimana dia bisa tahu? Setahuku, dia tahu identitas asliku dari Jendral Ernest.
“Ngga penting lah aku taunya gimana. Yang lebih penting, kenapa papa ngga ngomong ke aku kalo dia itu perempuan? Pantes aja waktu itu aku ngerasa aneh. Kenapa aku diatur untuk sekamar sama El.” Kata Albert tidak menjawab. Tiba-tiba saja falshback tentang awal pertemuanku dengan Albert melintas di pikiranku. Terlalu banyak kesempatan untuk Albert agar dia mengetahui identitasku. Mulai dari saat di kamar mandi pertama kali, saat aku lupa membawa t-shirt saat judo dulu, dan lagi, saat di kolam juga. Aku kira dia tidak sensitive, tapi sepertinya dia dengan sengaja berpura-pura untuk tidak tahu.
“Papa emang mau bilang suatu hari nanti, papa cuman ngga tau kalau ternyata kamu tau secepet ini. Untung aja papa atur biar kamu yang jadi roommate El. Kalau orang lain, kan bisa gawat.” Kata Jendral Ernest.
“Jadi gimana investigasi masalah nyari identitas asli El?” Tanya Albert.
“Bakal makan waktu beberapa bulan. Kan kamu tau sendiri kalau banyak banget daftar anak-anak yang hilang. Apalagi kita ngga tau kapan tepatnya El hilang.” Kata Jendral Ernest.
“Jadi rencana papa apa? El ngga mungkin sembunyi di OSP terus.” Kata Albert.
“Papa masih ngga tau seberapa bahayanya orang yang nyembunyiin identitas asli El. Untuk lebih amannya untuk sementara, dia lebih baik sembunyi di OSP.” Kata Jendral Ernest.
Makanan kami akhirnya datang. Pembicaraan berhenti dan kami makan dengan sunyi. Aku jadi merasa tidak enak karena harus melibatkan keluarga Jendral Ernest ke dalam masalahku. Apalagi Albert sekarang juga ikut memikirkan masalahku.
“Oh iya, sampe lupa. Ini alamat makam nenek dan kakek kamu.” Kata Jendral Ernest sambil memberikanku amplop yang berisi surat-surat dan peta kuburan.
“Makasih banyak Om. Selama ini selalu bantuin aku.” Kataku ke Jendral Ernest.
“Ngga usah khawatir. Lagipula kalau bukan karena kamu, Om ngga mungkin selamat dari kapal mafia dulu.” Kata Jendral Ernest.
“Kalau gitu, habis ini, kamu drop mama sama papa ke rumah, habis itu anter El ke makam kakek neneknya.” Kata Dr. Melinda.
“Ok.” Albert menjawab singkat.
Setelah itu, Albert mengantar Dr. Melinda dan Jendral Ernest ke rumah mereka. Karena dia ingin mengganti bajunya dengan baju yang lebih nyaman, Albert ikut Dr. Melinda dan Jendral Ernest masuk ke dalam rumah sedangkan aku menunggu di dalam mobil. Albert kembali setelah memakai t-shirt dan kemeja lengan pendek, celana jeans dan sepatu sport. Rasanya aneh sekali melihat Albert dengan style casual seperti ini.
“Kata papa jarak ke pemakaman lumayan jauh. Kalo lo mau, tidur di jalan juga ngga papa.” Kata Albert.
“Ngga papa kok. Masih ngga ngantuk.” Kataku.
Suasana di mobil benar-benar canggung. Menurut alat navigasi yang ada di dalam mobil, masih tersisa dua jam sampai akhirnya kami sampai ke tempat tersebut. Karena aku ingin tahu dimana letak pemakaman kakek dan nenek agar aku bisa mengunjungi mereka tanpa Albert, aku melawan rasa ngantukku dan mencoba untuk menghafalkan jalan. Saat sampai, aku berjalan menuju ke arah kuburan sesuai dengan peta. Albert menunggu di dalam mobil karena dia ingin memberikanku sedikit privasi.
Aku menemukan nama kakek dan nenek dan mulai berlutut di depan pemakaman mereka. Entah kenapa secara otomatis aku mulai menangis dan tidak bisa berhenti mengeluarkan air mata. Belum lama setelah aku berlutut, tiba-tiba saja aku merasakan ada yang menembak dadaku. Aku dengan reflek memegang dadaku yang saat ini sudah penuh dengan darah, Setelah itu, aku langsung bersembunyi di balik batu nisan besar yang ada di dekat makam kakek dan nenek. Aku menahan rasa sakit dari dadaku. Crap! Siapa yang mencoba untuk membunuhku? Aku kira mereka sudah menyerah, karena selama beberapa bulan kebelakang ini aku merasa damai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose
RomanceKarena masa lalunya, El harus menyamar sebagai laki-laki dan bersembunyi di dalam sebuah organisasi rahasia yang sedang dibangun oleh pemerintah. Menyamar sebagai laki-laki sudah bukan hal yang baru bagi El karena selama sepuluh tahun kebelakang ini...