Chapter 10: Recovery

281 38 12
                                    

Aku membuka mataku perlahan. Dadaku masih terasa sakit dan seluruh badanku terasa kaku. Kepalaku masih sedikit pusing dan tenagaku masih lemah. Aku terbangun di sebuah ruangan rumah sakit. Ruangan ini sangat familiar karena aku pernah di rawat di rumah sakit ini sebelumnya. Aku melihat keadaan tubuhku saat ini. Tanganku ditusuk oleh jarum infus, aku mencoba untuk menggerakkan jariku, aku bisa merasakan rasa sakit karena jarum infus yang menusuk pembuluh darahku. Pakaianku sudah diganti. Aku tidak lagi memakai dress pink yang diberikan Dr. Mellinda. Aku bisa melihat noda merah yang masih mengucur keluar dari balik perban yang dibalut. Aku melihat darah yang mulai merambah keluar dari pembalut. Aku langsung duduk dan mengelap darah yang keluar dengan tissue. Ugh! Entah kenapa setelah aku duduk, kepalaku jadi terasa seperti berputar dan perutku terasa mual. Aku merasa lebih buruk dari apa yang aku rasakan saat aku dirawat dulu. Aku melihat ke arah sekitarku, aku melihat pembalut baru sekaligus obat-obatan dan cairan pembersih lainnya. Sepertinya memang para suster menyediakan peralatan ini agar mereka bisa membersihkan lukaku dengan mudah. Aku juga sudah di training tentang cara menangani luka peluru, Aku memutuskan untuk mengganti perban luka ku sendiri. Setelah membuka perban yang menempel di tubuhku, aku melihat lubang luka yang cukup besar. Sepertinya luka ini akan meninggalkan bekas. Aku hanya bisa menghela nafas.
“Biar gue bantu.” Suara Albert tiba-tiba terdengar. Secara reflek aku menutup daerah dadaku dengan baju pasienku lagi. Karena terburu-buru, tanpa sengaja aku menyentuh bagian sekitar luka peluru yang bengkak.
“Ugh!” Secara reflek aku berteriak kesakitan.
“Biar gue yang ganti perban lo.” Kata Albert.
“Ngga usah repot-repot. Gue bisa sendiri.” Kataku menolak sambil menahan rasa sakit. Tumben-tumbennya dia mau membantuku. Padahal hari-hari sebelumnya dia tidak pernah menawarkan diri sedikitpun.
“Cuman lo satu-satunya pasien yang coba untuk ngobatin luka lo sendiri.” Kata Albert. Dia menarik kursi dan duduk di sebelah kasurku.
“Beneran. Gue bisa obatin sendiri.” Kataku panik. Aku benar-benar tidak ingin memperlihatkan dadaku ke Albert. Lagipula kenapa dia tidak merasa malu sedikitpun?
“Its okay, tangan lo kan masih diinfus. Jangan terlalu banyak gerak.” Katanya sambil tiba-tiba mulai memegang kerah bajuku. Karena aku benar-benar kaget, aku memegang tangannya secara reflek. Tiba-tiba saja aku baru sadar bahwa karena aku menggengam tangannya terlalu cepat, pundakku jadi terasa ngilu.
“Stop! Ugh!” Tiba-tiba saja aku baru sadar bahwa karena aku menggengam tangannya terlalu cepat, pundakku jadi terasa ngilu.
“Percaya sama gue. Emang udah berapa lama lo kenal sama gue? Gue juga dulu pernah dapet training medis basic kayak gini.” Kata Albert sambil menatap mataku. Kenapa dia bisa setidak peka ini? Aku bukan menghentikannya karena aku tidak percaya dia bisa mengobatiku. Memangnya dia tidak merasa malu sedikutpun melihat perempuan telanjang? Apa jangan-jangan dia tidak menganggapku sebagai perempuan sama sekali? Atau jangan-jangan dia gay? Tiba-tiba saja tanganku terasa lemas dan aku tidak bisa menahan tangan Albert lagi.
Dengan perlahan Albert menurunkan baju pasien yang kupakai. Saat ini aku sudah kehilangan kesempatan untuk melarangnya. Albert membersihkan luka yang mengalir dari sumber luka peluru yang masih terbuka itu. Setiap sentuhan tangannya membuat dadaku berhenti berdetak lebih cepat. Aku hanya bisa berharap dia tidak bisa mendengar suara detakan jantungku yang tidak karuan ini. Anehnya, Albert masih melanjutkan pengobatannya dengan tenang. Apa aku memang tidak memiliki sex appeal sama sekali? Atu apa dadaku tidak semenarik itu?
“See, I am pretty good.” Kata Albert setelah selesai. Dia menaikkan kerah bajuku dan mengikatnya kembali. Dari sikapnya sepertinya dia memang tidak menganggapku sebagai wanita.
“Jadi ada kemajuan tentang orang yang nembak gue ngga?” Tanyaku ke Albert.
“Kita emang berhasil nangkep orang itu, tapi dia ngga mau buka mulut sama sekali.” Kata Albert.
“Trus, alesan dia nyerang gue apa? Dan lagi dia tau kalo gue ada di makan kakek dan nenek dari mana?” Tanyaku penasaran.
“Orang itu, ngga mau buka mulut sama sekali. Makannya kita semua juga bingung kenapa lo jadi sasarannya.” Kata Albert. Aneh sekali. Apa mereka adalah orang-orang suruhan dari kelompok mafia yang dulu perahunya aku bomb itu? Jika iya, kenapa hanya aku yang diserang. Mereka pasti ingat dengan Jendral Ernest juga.
“Akhirnya bangun juga. Gimana keadaan kamu?” Tanya Dr. Mellinda yang baru saja masuk ke ruangan tempat aku dirawat.
“Udah lebih mendingan, tapi badanku masih kerasa ngga enak.” Kataku ke Dr. Mellinda.
“Ngga papa. Itu normal kok. Mungkin karena dari kemarin makan makanan encer doang. Habis ini saya akan suruh suster untuk bawain kamu makanan normal.” Kata Dr. Mellinda.
“Tangan kanan kamu gimana? Pelurunya hampir kena otot yang tersambung sama tangan kamu. Ada kesulitan buat gerakkin tangan kanan kamu ngga?” Tanya Dr.Mellinda.
“Ngga kok. Tangan aku masih bisa digerakin, tapi kadang-kadang kalau dibuat nggenggam keras, rasanya sakit.” jawabku.
“Mungkin karena masih bengkak. Jangan terlalu banyak gerakin tangan dulu kalo gitu.” kata Dr. Mellinda
“Ada keluhan lain ngga?” Tanya Dr. Mellinda lagi.
“Ngga ada kok, itu aja.” Kataku.
“Ya udah, kalo gitu istirahat lagi. Saya mau periksa pasien yang lain.” Kata Dr. Mellinda.
Setelah Dr. Mellinda Pergi, aku melihat ke arah Albert. Dia membuka tas ranselnya dan mulai mengerjakan sesuatu. Sebenarnya kenapa Albert masih disini? Bukannya dia seharusnya sibuk dengan kerjaannya? Setahuku, dia adalah orang yang akan memimpin tim setelah training selesai.
“Kalo lo sibuk, pulang aja.” Kataku ke Albert.
“Gue ngga bisa ninggalin lo sendirian.” Kata Albert.
“Gue ngga butuh dijagain kok.” Kataku.
“Papa bilang sampe kita tahu siapa yang nargetin lo, gue ngga bisa ninggalin lo sendirian. Selain papa, mama dan beberapa anggota kepolisian, ngga ada yang tau identitas lo yang sebenernya. Karena lo diserang secara tiba-tiba kemaren, kita jadi tau pasti ada mole diantara orang-orang yang tau identitas lo. Karena itu, kita ngga bisa percaya sama siapapun. Satu-satunya orang yang bisa dipercaya dan ngga akan bocorin rahasia adalah gue. Jadi jangan buang-buang waktu nyuruh gue pulang.” Kata Albert panjang lebar. Cara berbicara yang ketus itu muncul lagi. Karena aku benar-benar tidak mempunyai tenaga untuk bertengkar dengannya, aku hanya bisa diam.
Tidak lama kemudian, seorang suster rumah sakit, membawakanku makan malam dan bungkus makanan untuk Albert. Aku melirik ke arah makanan yang suster tersebut berikan untuk Albert. Dari baunya, aku bisa mencium bahwa makanan itu jauh lebih enak daripada makanan rumah sakit. Dengan pasrah aku memakan makananku. Sebelum makan, aku menuangkan air dari dalam pitcher ke gelas yang disediakan. Karena pitcher air berat, dan aku tidak mempunyai tenaga sama sekali, aku tidak bisa mengangkat pitcher air tersebut. Tiba-tiba saja, Albert merebut pitcher air yang aku pegang dan menuangkannya di gelas yang ada di depanku. Setelah itu, dia kembali lagi duduk dan memakan makanannya dengan cuek sambil menatap layar laptop. Sepertinya Albert tidak seburuk yang aku kira. Setelah selesai makan, aku mencoba untuk beristirahat. Kepalaku masih sakit, dan walaupun aku sudah memakan makanan, aku masih merasa lemas. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya aku tertidur.
Saat aku bangun keesokan harinya, aku tidak melihat Albert di sofa tempat dia duduk kemarin. Aku hanya bisa melihat sebuah buku yang ada di atas meja di sebelahku. Karena aku merasa bosan tidak melakukan apapun seharian, aku memutuskan untuk membaca buku tersebut. Saat aku membaca judul buku tersebut, aku benar-benar tidak berniat untuk membacanya karena judul buku tersebut benar-benar memalukan. Judul buku tersebut adalah "Berikan kehangatan saat hujan". Orang buta juga tahu bahwa buku ini bertema dewasa. Bagaimana bisa buku ini ada di mejaku? Apa ini juga adalah salah satu cara Dr. Mellinda untuk memberitahuku bagaimana caraku untuk belajar hubungan antara perempuan dan laki-laki? Dulu juga Dr Mellinda selalu membawakan majalah remaja untukku. Walaupun aku tidak tertarik, karena terlalu bosan, akhirnya aku memutuskan untuk membaca buku tersebut. Tanpa disangka-sangka aku tidak bisa berhenti membaca buku tersebut sampai akhirnya malam tiba. Wajahku terasa panas karena terlalu banyak membaca adegan dewasa. Membayangkan adegan yang aku baca barusan membuatku melamun untuk beberapa saat.
"Lo ngelamunin apa?" Suara Albert tiba-tiba terdengar.
"Oh ngga ngelamunin apa-apa. Lo hari ini nginep disini lagi?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku menyembunyikan buku tersebut di bawah bantalku.
"Iya." Jawab Albert singkat. Dia menaruh barang yang dibawanya ke arah sofa.
"Gue bener-bener ngga papa kok. Lagian rumah sakit ini kan cukup aman." Kataku ke Albert.
"Just in case. Ngga ada salahnya kan kalau kita jaga-jaga" kata Albert.
"Emangnya lo ngga capek apa? Kan lo pasti sibuk sama urusan lain." Kataku.
"Ngga kok. Lagian kan OSP bakal libur untuk seminggu buat rayain kelulusan trainee. Jadi satu-satunya kasus yang gue tanganin saat ini cuman kasus lo." Kata Albert.
"Permisi." Kata seseorang setelah mengetuk pintu dan masuk. Aku masih ingat orang ini. Dia adalah pengacara yang Jendral Charles kenalkan untukku.
"Ada apa Pak?" Tanyaku heran. Setahuku aku tidak memiliki janji dengan pak Giovani.
"Saya mau kasih tau update tentang identitas baru kamu dan kelanjutan pencarian identitas kamu." Kata pak Giovani.
"Kalau gitu gue tunggu diluar dulu." Kata Albert seperti mengerti maksud tatapan pak Giovani. Dia pergi keluar dari dalam kamar.
"Apa kamu ngerasa aman tidur di satu ruangan sama laki-laki sepertinya? Kalau kamu mau, saya bisa minta penjaga perempuan." Kata pak Giovani. Memang selain Jendral Charles, pak Giovani adalah pengasuh legalku. Rasanya aku seperti mempunyai 2 ayah.
"Ngga papa kok pak. Dia itu juga roommate saya selagi saya ada di OSP. Dia bukan tipe yang berbahaya." Kataku meyakinkan.
"Kalau misalnya kamu mulai merasa tidak nyaman, jangan ragu-ragu untuk memberi tahu saya." Kata pak Giovani.
Setelah itu, kami membahas masalah legalisir identitas baruku, dia juga memberikan update tentang pencarian identitasku. Sekitar seratus ribu anak hilang sudah tereliminasi dan dia merasa positif bahwa dia akan tahu identitasku dalam jangka waktu beberapa bulan. Saat aku belum selesai berbicara, tiba-tiba saja Jendral Charles, Albert dan Dr. Mellinda datang dengan wajah muram. Aku bisa merasakan bahwa mereka datang untuk memberikan kabar buruk.
"Sorry El, om bener-bener minta maaf." Katanya dengan wajah kecewa. Untuk apa Jendral Charles meminta maaf?
"Ngga usah minta maaf om. Emangnya ada apa?" Tanyaku bingung.
"Om kira, dengan ketangkepnya orang yang coba untuk membunuh kamu itu, kita akan dengan cepat akan mendapatkan informasi. Sayangnya orang tersebut baru saja dibunuh." Kata Jendral Charles.
"Maksudnya dibunuh?" Tanyaku bingung. Bagaimana dia bisa dibunuh jika dia ada di dalam kantor polisi?
"Saya juga tidak tahu bagaimana caranya. Yang pasti orang tersebut dibunuh tapi dibuat seakan-akan dia bunuh diri." Kata Jendral Charles.
"Maksudnya? Aku ngga ngerti." Penjelasan Jendral Charles malah membuatku lebih bingung.
"Jadi orang yang menembak kamu itu kita tinggalkan di salah satu ruangan interogasi sendiri karena kita ingin menyusun rencana untuk membuat dia mulai buka suara. Tiba-tiba saja ada seorang polisi dengan muka yang tidak dikenal dan ditutupi oleh topi masuk ke dalam ruangan interogasi tersebut sambil membawa kertas dan pen. Lalu, orang tersebut mulai menulis dan entah bagaimana caranya dia menemukan silet dan tiba-tiba menyilet lehernya sendiri. Dan footage terakhir menunjukkan bahwa polisi tersebut dengan tenangnya keluar dari ruangan interogasi." Kata Jendral Ernest membuatku benar-benar tidak habis pikir.
Memanya sepenting apa identitasku sampai-sampai orang yang mengejarku itu membunuh anggotanya sendiri? Sampai mereka berani menyamar sebagai polisi untuk menyelinap ke dalam kantor polisi. Memangnya sepenting apa aku? Bukankah aku hanya anak yatim yang tidak penting sama sekali? Kenapa mereka bersikeras untuk membunuhku sampai-sampai mereka harus mengintai makam kakek dan nenek. Karena itu sekarang aku bahkan tidak bisa keluar dengan tenang.
"Ngga usah khawatir. Kita semua disini untuk ngelindungin kamu." Kata Dr. Mellinda sambil memelukku.
Aku bukannya khawatir tentang keadaanku saja. Tapi aku khawatir orang-orang yang mengincarku akan menyakiti keluarga yang selama ini telah membantuku. Aku akan benar-benar merasa bersalah jika ada hal yang membahayakan mereka. Aku tidak bisa membalas pembicaraan karena terlalu sibuk khawatir sekaligus menahan air mata karena takut keluarga Jendral Ernest ada dalam bahaya karena aku.
"Kamu istirahat dulu aja. Kita bicarain langkah selanjutnya setelah kamu ngerasa lebih enak." Kata Dr Mellinda seperti mengerti bahwa aku ingin sendiri untuk memproses situasiku saat ini.
Malam itu, aku tidak bisa berhenti merasa khawatir. Aku benar-benar tidak mau membahayakan siapapun. Semuanya harus berakhir dengan kakek dan nenek. Karena itu, aku bernekat untuk kabur dari rumah sakit. Aku mengendap-endap untuk membawa dompet, handphone, dan baju gantiku. Setelah itu aku keluar dari kamar setelah memastikan Albert masih tertidur pulas. Aku berjalan sampai keluar dari lobby.
"Lo mau kemana?" Aku mendengar suara Albert.
Aku terus berjalan seolah-olah aku tidak mendengarnya. Albert menarik tanganku untuk berhenti.
"Don't be stupid" kata Albert.
"Stupid is letting people who you love to be in danger." Kataku.
"Lo tau kan kita semua tulus ingin ngelindungin lo." Kata Albert.
"Gue tau. Karena itu gue lebih milih untuk pergi." Kataku.
"Lo mau tinggal dimana?" Tanya Albert. Aku memang tidak punya rencana, jadi aku hanya bisa diam.
"Tenang dulu. Tinggal di OSP sampai lo financially stable. Habis itu, gue ngga akan ngelarang lo kalo lo emang mau pergi." Kata Albert. Dia memang benar.
"Lagian selama lo nyamar, lo ngga pernah jadi target. Jadi ngga usah khawatir." Kata Albert.
Albert merebut baju ganti yang aku bawa dan menggandengku kembali ke dalam kamar. Dia menyuruhku untuk duduk di atas kasur.
 "Mendingan lo istirahat dulu. Lagian luka lo juga belom sembuh. Jangan mikirin yang berat-berat" kata Albert.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang