Jarak yang Mendekat

86 10 27
                                    

Seperti biasa, rutinitas kumulai dari mandi, sarapan dengan Ibu, mematut diri, dan berangkat menggunakan motor ke kantor. Tetapi karena motorku saat ini masih di kantor, aku memutuskan berangkat sedikit lebih pagi karena harus menggunakan kendaraan umum.

“Bu, Hasna berangkat dulu.” Kucium punggung lengan ibu dan berjalan menuju depan gang.

Sejak dari rumah hingga depan gang, biasanya memberi dan diberi sapaaan sudah terbiasa kujalani. Aku lahir dan besar di lingkungan ini, sehingga hampir orang sepanjang jalan yang kulewati ini mengenal dan kukenal. Memang banyak yang berubah. Dulu lingkungan ini begitu adri, banyak pohon buah di tiap-tiap halaman rumah. Sekarang nyaris tak tersisa, berganti petak-petak kecil kontrakan yang semakin menambah padat lingkungan ini. Di tengah jalan kurasakan telepon genggam dalam saku celanaku bergetar. Tertera nama Satria Mahendra di sana. Aku mengernyit, ada apa dia telpon pagi-pagi begini?

“Saya sudah di depan gang rumah kamu,” katanya di ujung telpon.

“Hah? Gang mana? Rumah saya?”

“Iya, cepat. Parkiran depan Indoaprilnya penuh, nggak enak lama-lama parkir sembarangan gini.”

Masih percaya tak percaya, kupercepat langkah menuju lokasi yang ia sebut. Untung saja aku sudah separuh jalan, coba saja seandainya masih di rumah, apa tidak membuatku panik.

Lagi-lagi suasana canggung harus kurasakan seperti pagi kemarin. Satria fokus pada jalanan di depan, tanpa menyalakan musik atau sekedar berita di radio. Topik apa yang harus kuutarakan ya? Kira-kira, Satria ini tipe orang yang suka membicarakan pekerjaan tanpa batas waktu atau tidak ya. Bingung.

“Sudah lama tinggal di situ?”

Satria membuka pembicaraan. Wajahnya tanpa ekspresi dan tetap fokus ke depan. Desir-desir halus itu kembali datang di hatiku, saat dengan sengaja kupandangi wajahnya yang tetap tidak menoleh ke arahku.

“Su-sudah, Pak. Sejak saya lahir, di situ. Maaf ngerepotin, sampai Bapak jemput saya.”
“Emang saya kelihatan setua itu, ya? Seneng amat manggil saya Bapak.”

“Eh, emang? Kan Bapak atasan saya.”

“Ya udah. Di kantor kamu panggil saya Bapak. Kalau di luar jangan.”

“Hah? Terus manggil apa? Saya sungkan, Pak.”

“Masak? Waktu pertama kita ketemu, kamu nggak sungkan panggil saya Mas.”

Dia menoleh ke arahku dan memberikan senyum termanis yang aku lihat pagi ini. Di benak aku, ibarat saat sedang menonton film anime, wajah Satria saat ini seperti diberi efek glowing. Cerah sekali. Aku hanya menunduk. Meremas-meremas handphone yang ada di tangan. Tepat di saat aku tidak tahu harus berbicara apa, Satria menyalakan musik. Setidaknya, suasana menjadi tidak terlalu canggung. Kami berdua hanya diam menikmati alunan music sampai kantor.


“Hasna, beres jam berapa kemarin dari Bogor?” tanya Fani.
“Malem.”
“Nggak ke kantor lagi, ya? Tadi aku lihat motor kamu ada di parkiran. Kupikir kamu sudah sampai, ternyata belum.”
“Iya”

Memang bukan Fani Namanya kalau dia tidak tahu perubahan gesture dan nada suaraku. Fani langsung menengok ke arahku dengan curiga.
“Dari Bogor, kamu langsung dianter pulang ke rumah sama Satria?” tebak Fani.

Dengan sok membuang wajah aku menjawab, “Iya.”

“Aaah, so sweet. Seru banget, Na. Gimana, gimana, ceritain dong. Kok nggak kabar-kabari sih?”

Ini dia. Sebenarnya saat ini aku masih malas bercerita karena harus segera menyiapkan data-data yang diminta Satria,  tetapi yang namanya Fani, kalau belum terpuaskan keingintahuannya pasti tidak akan berhenti mengganggu. Dengan terpaksa kuceritakan peristiwa kemarin kepadanya.

Harapan HasnaWhere stories live. Discover now