Sinar mentari menyusup melalui jendela kamar yang sudah dibuka ibu. Segarnya udara dan hangat sang surya menyentuhku perlahan. Pagi ini aku merasa sangat segar dan bersemangat. Kurentangkan tangan, meregangkan tubuh dan menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Sambil bersenandung, kuambil handuk dan beranjak menuju kamar mandi, melewati dapur di mana ada ibu yang seperti biasa sedang menyiapkan sarapan.
“Aduuuh, yang lagi seneng.” Ibu mencubit pipiku, “kamu seneng banget gitu, bikin ibu bahagia, Na.”
Kupeluk ibu dari belakang, merasakan aroma kayu putih khas yang biasa ibu pakai. Kurangkulkan lengan ke leher ibu, sambil menyandarkan kepala ke punggungnya.
“Ibu, jangan ambil jahitan orang kebanyakan, ya. Kan Hasna udah jadi supervisor, gaji Hasna naik, Bu. Hasna nggak mau Ibu kecapekan.”
Ibu berbalik, dan menangkupkan kedua tangannya ke pipiku, “Uangnya kamu tabung aja, Na. InsyaAllah Ibu masih mampu, kok.”
“Ibu, ih, aku nggak mau Ibu sakit. Ngeyel banget.” Sambil memonyongkan bibir aku merajuk.
Ibuku aslinya orang yang sabar dan lembut, tetapi terkadang ia bisa begitu keras kepala saat sudah menginginkan atau memutuskan sesuatu. Menerima banyaknya jahitan, salah satunya. Aku tidak ingin ibu terlalu banyak menerima jahitan dari pelanggan, dengan usia yang sudah tidak lagi muda, aku tidak mau ia jatuh sakit.
“Ditabung saja, Na, uangnya. Buat modal kamu nikah. Ibu udah kepingin punya cucu!"
Duh, kenapa juga pagi-pagi sudah membicarakan cucu, punya pacar saja belum. Dasar Ibu! Mau membantah, aku takut durhaka. Akhirnya aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal dan meloyor menuju kamar mandi.
*
Mengemban jabatan baru sebagai supervisor, membuat semangatku menggebu. Kumasuki ruangan kantor dengan hati yang riang. Bahkan senandungku masih berlanjut sampai kantor. Aku melangkah menuju cubicle-ku. Kukihat Fani dengan setelan berwana jingga melambaikan tangan dari cubicle-nya. Ia dan beberapa teman satu divisi bersemangat menyambutku.
“Hasna, selamat, ya.” Fani langsung menubruk dan memelukku erat.
Benar-benar kebiasaan, Fani ini sering sekali memperlakukan tubuhku seperti samsaknya saja. Tempo hari kepalaku dijitak, kakiku juga pernah diinjak, sekarang badanku ditubruk.
“Fani, aku nggak bisa napas.” Aku terbatuk-batuk karena harus menahan pelukannya yang cukup kencang, kudorong tubuhnya dan berusaha mengambil napas.
Beberapa teman dari divisi lain juga menyapa dan memberi selamat. Keriuhan sedikit tercipta pagi itu. Saat semua orang sedang ramai, terlihat dengan sudut mataku Satria datang dan berjalan menuju ruangannya. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah kami.
Euforia berlalu, kami kembali ke meja masing-masing dan mulai beraktivitas di depan komputer.
Muncul pop up message intranet di komputerku.
Satria
Hasna, ke ruangan saya.Aku
Baik, Pak.Kupatut diri, dan berjalan menuju ruangan Satria. Sebagai supervisor baru, tentu saja aku harus melapor kepadanya dan bersiap untuk melakukan koordinasi serta menerima tugas. Aku harus profesional. Aku harus profesional. Aku harus profesional! Berulang kali kuhujamkan kata itu dipikiran. Jangan sampai grogi di depan Satria.