Perlu kekuatan lebih untukku mengutarakan ini semua. Namun, tekadku sudah bulat. Malam ini aku menunggu Satria tiba dengan perasaan tidak karuan. Saat ia akhirnya tiba, tetap kulayani semua keperluannya. Hingga kurasa kami berdua siap, pelan-pelan kubuka permasalahan ini.
“Mas, kemarin aku bakso rusuk samping kantro kamu.”
Dengan tanpa ekspresi, Satria menjawab, “Oh, ya, kok aku nggak tahu? Kamu ngapain?”
“Siapa wanita itu, Mas?” aku langsung menghujamnya dengan pertanyaan tanpa basa-basi.
“Siapa, apanya?” Nada suara Satria terdengar meninggi.
“Aku sudah melihatnya, Mas. Foto-foto perempuan itu! Semua sudah kulihat di kameramu!” Emosiku tak terbendung, aku nyaris histeris sambil berlinang air mata.
Wajah Satria menunduk, terlihat berkeringat, dan terbisu.
“Kenapa, Mas? Kenapa? Apa salahku? Kalau memang aku ada kekurangan, katakan dimana? Tidakkah kamu ingat Amanina anak kita?”
Cecaran pertanyaanku membuat Satria semakin salah tingkah dan diam seribu bahasa. Sampai akhirnya ia menggenggam tanganku dengan mata berembun. Kutepis tangannya. Air mataku mengalir semakin deras. Satria juga berusaha memelukku, tetapi aku tak sanggup saat membayangkan fotonya bersama sang perempuan. Aku berdiri dan hendak keluar kamar.
“Hasna ….” Satria menarik lenganku, sekali lagi berusaha memelukku.
Aku memukuli Satria sekuat tenaga, sambil meraung. Berharap mampu meredakan sesak di dada ini. Nyatanya hal itu tak mampu menghilangkan sakit hatiku.
“Hasna, maafkan aku … Please. Dengar dulu penjelasanku.”
“Apalagi? Apalagi?” aku berteriak nyaring.
“Hasna … Tenang, Na. Nanti Amanina bangun.” Satria terus saja memelukku makin erat.
“Hasna dengarkan. Duduk dulu, Na. Biarkan aku menjelaskan. Please!” Ia menarikku paksa ke tepian ranjang, kemudian menghapus air mataku.
“Na, perempuan itu namanya Tatiana. Dia anak pemilik perusahaan kita.” Satria menjeda ucapannya sambil menghela napas.
“Ia dititipkan ke divisiku, alasannya karena aku dinilai cakap dalam bekerja selama ini, sehingga ayahnya ingin Tatiana juga menjadi cakap.
Aku sadar, sejak awal ia ada perasaan padaku, Na. Tetapi, aku lebih sadar punya kamu dan Amanina, anak kita.”
“Lantas kenapa ada foto-foto mesra itu di kameramu? Di taman bunga.”
“Itu saat kami ke Karawang, Na. Aku tidak berdua, tapi bersama yang lain. Kamera itu milik Tatiana, maka hanya ada foto-foto yang dia mau dan seleksi di sana. Aku pun tidak tahu kemarin kamera itu di sana, sampai tadi pagi ia meminta kepadaku.”
Ada kelegaan tercurah bak air hujan menyiram gersangnya hati ini, tetapi mengetahui ia tetap masih akan terus menerus bertemu Tatiana membuatku tetap gusar.
“Tapi … setiap hari kamu akan ketemu dia, bagaimana aku bisa percaya sama kamu. Kucing kalau setiap hari diumpanin ikan, cuma waktu yang tahu kapan dia akan caplok itu ikan.”
“Kamu pikir aku ikan?”Satria berusaha mencairkan suasana.
“Eh … kamu yang kucingnya tahu!”
Satria tersenyum dan mengecup keningku. Memelukku terus menerus, membelai rambut dan mengelus punggungku untuk menenangkanku.
“Dorong aku, Na. Jangan seperti ini. Percaya kepadaku. Aku tidak akan pernah bisa mengkhianati kepercayaanmu.”