“Aku bakalan kangen banget sama kamu, Na.” Fani memelukku.
“Sering-sering keep contact, ya,” kata yang lain.
Malam ini kami menikmati hari kebersamaanku yang terakhir di perusahaan ini. Aku memutuskan untuk resign. Sebuah keputusan yang sangat berat.
Kuhujamkan dalam ingatan tawa kami, perjuangan kami saat berjibaku dengan tutup buku akhir bulan, keseruan stock opname, dan kejahilan-kejahilan kecil di antara kami selama tiga tahun ini. Kami menikmati malam ini bersama. Makan-makan sebagai ucapan perpisahan atas resign-nya aku, di Seafood Rahayu, tempat makan kesukaan kami bersama.
“Buka, Na, buka,” sorak teman-teman saat memberikanku sebuah kado kecil.
Terlihat sebuah jam tangan silver, analog, berkaca bening agak keunguan. Bersama jam tangan itu ada sebuah kartu ucapan kecil, senada dengan warna jam, silver gradasi ungu. Terdapat tulisan di dalamnya, “Met menapaki hidup baru, supervisor kami. Semoga sukses.”
“Terima kasih, ya, teman-teman. Pada dateng, ya, tiga minggu lagi. Awas kalau nggak.”
“Ya iya datang, Mba Hasna. Kan pengantin laki-lakinya masih atasan kami.” Semua tergelak.
Sepanjang perjalanan pulang dadaku rasanya sesak sekali. Perpisahan memang tidak pernah terasa mudah. Kehilangan memang tidak pernah terasa ringan. Aku memejamkan mata, menyandarkan tubuh di kursi mobil Satria, sambil mendengarkan alunan musik oleh Sheila on 7, Sahabat.
*
Hari ini tiba. Betapa gagahnya Satria memakai beskap berwarna putih. Kini ia bersanding di hadapanku, di depan penghulu. Wajahnya begitu tenang. Aku hanya bisa membeku, tanganku begitu dingin. Bahkan, saking tegangnya aku sama sekali tak mampu memejamkan mata barang sedetikpun tadi malam.
Penghulu menjabat tangan Satria. Prosesi sakral itu dimulai. Sebuah ikrar yang dalam agama merupakan ikrar paling suci, mampu menggetarkan Arsy-Nya.
“Say terima nikahnya Hasna Maheswari binti Ahmad Hasanudin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 28 gram dibayar tunai.”
“Sah!” Semua saksi setuju.
Aku mencuri pandang ke arah Satria. Terlihat kelegaan dalam parasnya. Tiba waktu ia menyematkan cincin kawin di jari kami, kemudian mengecup keningku. Desir halus memenuhi hati ini.
Selama dua jam kemudian, aku dan Satria menjadi raja sehari. Gedung pernikahan kami amat megah. Seluruh ruangan bertemakan ungu muda nan lembut. Gerbang bunga yang menyambut di pintu kedatangan, gubuk-gubuk aneka makanan tersebar di beberapa titik. Meja prasamanan makanan utama, disertai meja aneka cemilan dan buah. Bisa dibilang pernikahan kami berjalan lancar dan baik.
Selesai menjalani seluruh prosesi, aku dan Satria memutuskan pulang ke rumah Ibu. Sampai beberapa hari ke depan. Butuh waktu, khususnya buatku untuk bisa lepas dari Ibu.
Kata orang, malam pertama adalah malam yang ditunggu. Namun, meskipun lega semua prosesi berjalan lancar, rasanya tubuhku lelah sekali. Selesai mandi aku merebahkan diri di atas kasur, sementara Satria masih di kamar mandi. Detik berlalu, tiba-tiba semua gelap.
*
Sayup-sayup kudengar suara orang bercakap-cakap. Lamat-lamat kubuka mata. Astaga! Tadi malam saat menunggu Satria, aku tertidur. Sambil menepuk jidat aku mengutuk kebodohanku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Satria dengan terlelap begitu saja. Gegas aku keluar kamar, kudapati Satria sedang asyik mengobrol dengan Ibu.
“Selamat pagi, Tuan Putri,” sapa Satria menggoda. Sementara ibu hanya terkikik geli.
“Ma-maafin aku ya, Mas.” Aku menunduk malu sambil memilin-milin ujung baju.
“Apa yang mau dimaafin? Memang kamu ada salah?” jawabnya santai sambil mengunyah roti selai kacang buatan ibu.
“Aku ketiduran,” lirihku.
“Apa salahnya ketiduran?” jawab Satria lagi dengan acuh sambil masih tetap sibuk dengan rotinya.
“A-anu, itu … itu ….” Aku kehilangan kata. Kurasakan wajahku memanas.
“Itu apaaa?” Satria tersenyum menyeringai.
“I-itu, kita kan sudah menjadi suami istri.”
“Terus kenapa kalau sudah menjadi suami istri?”
“Iiih, sebel!” Aku mencubit pinggang Satria. Dia berusaha menghindar dan tertawa kecil.
“Ya udah, kamu masih berhutang, ya,” bisik Satria.
Siangnya kami bersiap-siap dan berkemas. Satria berencana mengajakku berbulan madu. Bukan ke luar negeri, Bali, atau tempat jauh lainnya. Aku meminta Satria berbulan madu ke sekitar Bandung saja. Satria memilihkan sebuah private cottage dengan pemandangan alam sebagai latar belakangnya. Saat tiba di lokasi, perasaan segar dan bebas menyusup. Kuhirup udara pegunungan dalam-dalam. Cottage itu cukup luas, seperti lokasi perumahan yang sering terpampang di iklan. Ada kolam renang, halaman yang asri, dan kamar yang mewah.
Kami menikmati malam sambil membakar api unggun berdua. Melihat bintang yang bertaburan tanpa adanya polusi cahaya benar-benar menggugah mata. Malam kian larut, dingin semakin menusuk. Aku meringkuk memeluk lutut.
“Udah kedinginan, ya? Ya udah masuk, yuk,” ajak Satria.
Di sinilah aku, sedang meringkuk di pojok kasur, sementara Satria di kamar mandi. Saat pintu kamar mandi terdengar dibuka, aku beringsut maduk ke dalam selimut berusaha menutupi kegugupanku dengan susah payah.
“Haduh, Hasna. Udah dong deg-degannya. Kalem, kalem.” Aku mengusap-usap dada.
“Hasna.”
Aku terlonjak kaget. Suara itu begitu dekat. Tepat di telinga. Perlahan Satria menarik selimut yang menutupi wajahku. Ia hanya menggunakan kaos singlet dan celana boxer.
“Kamu kedinginan banget? Kok tangan kamu dingin gini?” Satria meraih dan menggenggam tanganku, kemudian menangkupkan ke pipinya. Tak lama, perlahan-lahan ia mengecup punggung tanganku. Seketika seperti ada aliran listrik bervoltase ringan yang merambat.
Pandangannya menatap erat wajahku. Menelisik mulai dari bibir, turun ke leher, kemudian … aku tak sanggup dan memejamkan mata. Perlahan, kurasakan napasnya begitu dekat, wajah kami menjadi tak berjarak. Ia mengecup lembut, lalu merebahkanku. Saat itu tak ada lagi yang kurasa, selain bahwa Satria telah membawaku ke surga dunia.
*
Keesokan paginya ia telah ada di hadapanku dengan membawa baki penuh dengan sarapan lengkap. Nasi goreng plus telur mata sapi, segelas teh hangat dan air putih, serta sebuah jeruk mandarin manis kesukaanku.
“Selamat pagi.” Ia mengecup keningku.
“Makasih, ya,” kataku.
“Jangan terima kasih dulu, cobain dulu.” Satria terkekeh.
“Heh … awas ya. Hayooo, jahil, nasi gorengnya diapain?”
Satria tergelak, kemudian mengambil sendok dan menyuapiku. Aku mengambil sendok dan balas menyuapinya. Tak terasa nasi goreng di piring licin tandas.
“Masakan kamu enak. Nanti, boleh dong aku sering-sering dimasakin.”
“Oh, boleh. Apa sih yang enggak buat kamu?”
“Halah, gombal.”
Kami saling bersitatap, saling memandang dengan ketulusan. Satria, seandainya dapat kuhentikan waktu, aku ingin kita tetap sebahagia ini, selamanya. Satria kembali mengecup keningku. Aku memeluknya erat.
“Keluar, yuk. Tadi malam kan kita belum sempat lihat keluar. Pemandangan dari balkon bagus deh.”
Satria menggenggam tanganku, menyibak tirai yang menutupi pintu kamar kami yang menuju arah balkon. Pintu terbuka, terhampar pemandangan yang luar biasa. Petak-petak sawah yang masih hijau bak karpet, burung-burung berterbangan, beberapa petani mengolah sawahnya, bahkan ada sungai yang deru arusnya terdengat sampai sini. Menambah sempurna pagi itu.
Satria memelukku dari belakang, sambil berbisik di telinga, “Selamat datang ke dalam kehidupanku, Nyonya Satria”
*
Bersambung …