Begini rasanya harus saling diam selama beberapa hari. Berusaha terlihat kuat dan tidak melibatkan perasaan pribadi saat harus bertemu. Aku dan Satria sedang bertengkar.
Akhirnya beberapa waktu lalu aku kembali mengungkapkan harapanku bahwa aku ingin tetap bekerja di sini setelah menikah. Secara tidak langsung tentu saja itu berarti aku meminta Satria mengundurkan diri dari perusahaan ini, karena peraturan yang tidak mengizinkan suami istri satu perusahaan, apalagi satu divisi. Satria menolak, karena ia baru saja bergabung, tepatnya belum satu tahun. Aku juga menolak, karena dengan susah payah akhirnya aku bisa mencapai posisi supervisor.
“Hasna, kita pernah bahas ini, dan kamu setuju untuk tidak bekerja. Aku akan memenuhi semua kebutuhan kita. Kenapa jadi berubah pikiran?”
“Aku terbiasa bekerja, Mas. Aku khawatir nanti jenuh.” Aku menunduk, dan melanjutkan, “lagi pula untuk mencapai posisiku sekarang sebagai supervisor, perjalananku tidak mudah.”
“Kamu ini mau tetap bekerja atau mau tetap bekerja di perusahaan ini? Itu dua hal yang berbeda.”
“Aku mau tetap bekerja di perusahaan ini.”
“Jadi kamu mau aku keluar?”
Pertanyaan terakhir yang diucapkan Satria membuatku merinding. Nadanya begitu dingin, berat, dan menusuk. Ia tersinggung. Kemudian ia berdiri dan melangkah keluar rumahku.
“Aku seperti merasa dikhianati. Kita sudah sepakat. Kamu sudah menyetujui.”
Satria pulang dengan amarah. Malam itu aku benar-benar merasa sesak. Ini pertama kalinya kami bertengkar dan berselisih. Kuambil ponsel, ingin meminta maaf, tetapi … aku tetap pada pendirianku. Aku ingin bekerja.
*
“Sudah sekitar dua minggu kami tidak saling sapa gini, Fan. Ya sekedarnya atasan bawahan. Nggak enak banget.”“Jadi kamu maunya bagaimana? Kalau tujuan kamu cuma ingin bekerja, kan bis acari pekerjaan lain.”
“Ah, Fani, kan nggak semudah itu cari pekerjaan baru.”“KEnapa enggak? Kok kamu nggak yakin dengan kemampuan kamu sih? Kamu pasti bisa. Nggak enak loh, Na, kalian udah dua bulan lagi mau menikah. Sudah kamu mengalah saja.”
Entahlah. Mungkin yang dibilang Fani ada benarnya juga. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Rasanya jika memang tujuanku hanya untuk bekerja saja, aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain.
Chat intranet menyembul
Satria
Ke ruangan sayaAku berjalan dengan Langkah gontai ke ruangannya. Kudapati wajah itu, wajah nan tegas dan dingin tetap menghadap ke komputernya.
“Mau sampai kapan?” tanyanya tanpa tetap serius mengetik di komputernya.
“Apanya, Pak?”
“Mendiamkan saya.”
“Hah?”
“Hasna, kita mau sampai kapan seperti ini?”
Antara mengerti dan pura-pura tidak mengerti, aku hanya bisa mengulum bibir menanggapi pertanyaannya.
“Kita sudahi aja. Saya pribadi tidak bisa fokus dengan pekerjaan saya dengan sikap kamu itu. Kamu mau bekerja setelah menikah?”
Kutatap mata Satria dalam-dalam. Ada sebersit kekecawaan di sana, tetapi kemudian … seketika semuanya berubah, wajahnya terlihat bersahabat. Ia tersenyum.
“Boleh. Tapi … izinkan aku yang tetap di sini.” Ia mengambil napas, dan menghembuskannya, “Temanku memiliki sebuah sekolah, saat ini mereka sedang memerlukan seorang guru. Kamu mau mengajar?”
“Mengajar?”
“Iya, mengajar SMP. Kamu mau? Masuknya nanti kok, mendekati ajaran baru. Sekitar bulan April. Tepat sebulan setelah kita menikah. Jadi … kamu bisa istirahat sebulan dulu di rumah. Rumah kita.”
Dada ini serasa meluas, mat aini terasa pias. Pernikahan, rumah, pekerjaan, dan kamu. Semua baru. Memikirkannya saja membuat hatiku serasa berbunga-bunga. Tapi aku tidak mau kentara, baru saja bertengkar masak harus seketika berteriak kesenangan.
Sore hari sepulang bekerja, Satria mengajak aku ke pinggiran kota. Kami memasuki sebuah perumahan yang sangat asri. Pohon-pohon yang terlihat masih muda, jalanan aspal yang terlihat baru, dengan rumput-rumput yang terhampar. Segar. Sampai kami tiba di ujung sebuah cluster. Satria berhenti tepat di depan sebuah rumah putih berlantai dua. Terlihat anggun.
“Turun, yuk,”
Ia menggenggam tanganku. Tepat di depan pintunya, ia mengeluarkan set kunci, memasukkannya ke lubang kunci, dan membukanya perlahan. Bak slow motion di film, pintu terbuka. Kami disambut ruang kosong luas yang sangat bersih. Lantainya yang berwarna kuning gading begitu mengkilap seperti berada di atas air.
Satu demi satu Satria menunjukkan ruang-ruang dalam rumah itu. Kemudian kami naik ke lantai dua, ada tiga kamar di atas. Ia membawaku ke kamar yang terbesar.
“Ini akan jadi calon kamar kita.”
Aku merasa ada embun di mataku. Bahagia, teramat sangat bahagia. Meski di sisi lain, aku langsung terpikirkan Ibu. Seumur hidup ia menjagaku, membesarkanku, bahkan rela tetap menyendiri demi aku. Kini … seketika aku akan meninggalkannya?
Memang banyak pasangan suami istri di luar sana yang menginginkan hidup mandiri, segera angkat kaki dari rumah orang tua mereka begitu mereka menikah. Namun, memikirkan harus meninggalkan ibu sendirian rasanya aku tak sanggup. Lagi-lagi aku dilemma. Baru saja kami berbaikan karena beberapa hari bertengkar, dan Satria terlihat begitu bersemangat memperlihatkan calon rumah kami. Haruskah aku mengutarakan keberatun lagi untuk kedua kalinya?Sepanjang perjalanan pulang, Satria terlihat sangat gembira dan bersemangat dengan hubungan kami yang kembali baik. Di rumah kami bertiga bercengkerama. Ibu sama sekali tidak ttahu bahwa selama beberapa waktu aku berselisih dengan Satria. Menatap wajah ibu yang semringah, tak tega rasanya mengungkapkan bahwa Satria ingin mengajakku mandiri tepat usai kami menikah.
Malam itu, di depan televisi, aku memeluk Ibu sepuasnya. Merebahkan kepala di pangkuannya, merasakan usapan tangan lembutnya di kepala, menghidu aroma minyak kayu putih pada tubuhnya. Bersamanya, aku merasa tetap seperti gadis kecil. Rapuh. Menjadi kuat saat ia menyokongku. Ibu.
“Bu, saying banget, ya, sama Hasna?”
“Ya, iya lah, Na. Mosok pakai tanya.” Ibu mengecup keningku.
“Bu, seneng nggak Hasna mau menikah?”
“Pertanyaan aneh lagi. Ya, seneng dong, Na.”
“Bu, nggak takut kehilangan Hasna?”
“Kenapa ibu harus merasa kehilangan kamu?”
Aku menghela napas dalam-dalam. Entahlah, aku merasa menanggung sebuah beban yang teramat berat. AKu tak mau meinggalkan ibu sendirian. Tak terasa air mataku mengalir.
“Hasna, nggak perlu khawatir. Ibu tahu perasaan kamu, Na. Ibu nggak apa-apa kok. Ibu sehat, masih kuat. Pergilah, Na.”
Aku menoleh kea rah ibu terkejut. Ibu mengangguk, menampilkan wajah teduh seakan berkata untuk kesekian kalinya, akulah kebahagian hidupnya.
“Ibu mana yang tidak bahagia anaknya menikah dan mendapat pria baik serta mapan. Itu harapan semua ibu, Na. Pergilah. Tapi, jangan lupa tengokin ibu sesekali ya.”AKu memeluk ibu lagi. Baha ibu adalah Bahasa kalbu. Tanpa sang anak berkata apa-apa, ia mampu membaca seluruh keresahanku, kegundahanku.
“Na, tangan kamu kenapa ini? Kok ada ruam merahnya?”
“Enggak apa-apa, Bu. Gatel aja sepertinya, alergi mungkin atau kena serangga, nanti juga membaik.”
Di kamar, aku bernapas lega. Tak kusangka hari ini bisa berbaikan dengan Satria, kekhawatiranku akan ibu juga menguap.
Kuperhatikan lenganku, sambil kuusap-usap ruam yang ibu katakana tadi. Selama beberapa minggu bertengkar dengan Satria ruam ini ada, hanya saja aku tidak terlalu memikirnya karena kesibukan pekerjaan, persiapan pernikahan, dan berselisih dengan Satria. Ah, nanti juga hilang, pikirku.
*
Bersambung …