Pagi itu aku mencurahkan seluruh kegundahanku kepada Fani. Sejak pertemuan pertama dengan mama dan kakak Satria, beberapa kali aku mengunjungi mereka. Namun, sepertinya tangan mereka belum siap merangkulku.
“Udah tanya Satria, alasan kenapa Mama dan kakak dia nggak suka sama kamu?”
“Udah.”
“Apa kata dia?”
“Aku disuruh sabar, katanya mereka berdua aslinya baik.”
“Saranku sama, Na. Kalau memang kamu sudah yakin sama Satria, mbil hati Mama dan kakaknya.”
Hari-hariku yang biasa monoton, jadi berwarna merah muda. Rutinitasku bertambah. Hidup memang seperti itu, tidak semuanya berjalan mulus sesuai keinginan kita. Saat ini Ibunya Satria dan kakaknya adalah sebuah ujian bagiku. Pada banyak kesempatan, Satria ada untuk mendukungku. Tapi untuk ke depannya, apakah situasi ini akan berlanjut?
Pikiranku menerawang, memandang kendaraan yang berlalu lalang malam itu. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Aku ingin moment ini berhenti. Aku ingin kenyamanan ini tetap terpatri.
“Na, bulan depan aku dan Mama ke rumahmu, ya. Aku ingin melamarmu.”
Tiba-tiba saja sebuah kalimat terucap dari bibirnya. Sebuah kalimat yang sebenarnya sudah lama kunanti. Namun, kenapa saat dia mengucapkannya hatiku menjadi ragu? Berkelebat banyak pertimbangan. Bagaimana pekerjaanku, bagaimana penerimaan ibunya, bagaimana kehidupan ibuku?
“Na ….”Satria menyadarkanku dari lamunan.
“I-iya ….”Aku tergugup.
“Bagaimana?”
Bismillah, mungkin seiring berjalannya waktu semua ini akan ada solusinya. Asal dijalani berdua, pasti ada solusinya bukan? Aku menguatkan diri sendiri. Akhirnya aku menjawab mantap.
“Iya, aku bersedia, Mas.”
Yang adalam pikiranku, lamaran adalah sebuah prosesi permintaan izin sorang pria untuk mempersunting seroang wanita dari keluarganya. Buatku tidak perlu acara besar, mewah, maupun megah. Ternyata keinginanku bertolak belakang dengan keinginan Ibu Satria. Suatu sore, sekitar dua minggu lagi acara lamaran kami, ia datang ke rumah.
Tubuhnya yang terlihat risih duduk di kursi tamu kami, kepalanya yang terus mendongak saat berbicara dengan Ibu, ingin sekali menunjukkan bahwa kami tak setara dengannya. Sedikit terluka hati ini, tetapi Satria meneguhkanku dengan terus menggenggam jemari ini.
“Monggo, Jeng, diminum tehnya.”Ibu mempersilahkan Ibu Satria, yang dibalas dengan anggukan kecil.
“Sudah sejauh mana persiapan acar lamarannya? Mau pakai gedung apa?”
Aku menengok ke arah Satria. Ia memang pernah menyinggung perihal ibunya yang menginginkan acara lamaran kami digelar besar-besaran, tetapi aku menolak. Sebaliknya, aku ingin acara ini hanya antar keluarga saja, penuh khidmat dan kesederhanaan.
“Rencananya kami hanya menerima di rumah saja, Jeng. Biar agak bagus, insyaAllah akan kami dekorasi rumah ini.”
“Keluarga saya besar, banyak. Sepertinya ndak muat, ya, Jeng.”
“Kami sih berharapnya acara ini hanya dihadiri keluarga inti saja, Ma. Jadi, insyaAllah rumah ini masih muat.”
“Satria, kamu bagaimana sih? Nggak bilang ke Hasna, keluarga kita itu banyak, dan Mama mau semua datang. Kamu anak laki-laki pertama Mama.”
“Mama, kan sudah Satria bilang, tidak perlu. Ini kan hanya acara lamaran. Nanti, Ma, kita bisa mengundang seluruh keluarga Mama di acara pernikahan Satria dan Hasna.”
Ibu Satria adalah orang yang sangat keras hati. Perbincangan pun berlangsung alot. Sangat sulit menyatukan ide kami. Hingga pada satu titik, ia mengalah untuk Satria. Seperti halnya aku juga mengalah, untuk Satria. Acara lamaran tetap dilaksanakan di rumahku, dengan seluruh kelengkapan mulai dari catering, tenda, dan perias dari kenalan Ibu Satria.
Malam itu lelah fisik dan bathin menyerangku. Kurebahkan tubuh, terlelap hingga fajar menyingsing.
*
“Kalau kamu menikah sama Satria, siapa yang mundur dari perusahaan ini, Na?” tanya Fani suatu pagi.
“Belum kami bicarakan, Fan. Aku sih berharap tetap bekerja, tapi … lihat nanti deh.”
“Diomongin, Na. Penting itu. Tapi bener apa kata kamu sih, mending Satria aja yang mundur.”
Dari satu batu sandungan ke batu sandungan yang lain. Belum selesai rintangan berupa ketidak sukaan calon ibu mertua dan kakak iparku, sekarang aku harus dihadapkan pada pilihan ini. Aku sendiri ingin tetap bekerja di perusahaan ini, mengingat perjuangan yang kulali untuk mencapai posisi supervisor. Dan juga jika aku mundur, apakah semudah itu mencari pekerjaan lagi.
“Fan, aku pusing.”
“Enggak usah pusing, Na. Hal seperti itu bisa dibicarakan dengan Satria, kok. Bicarakan baik-baik aja, kamu maunya bagaimana. Pasti ada solusi.”
Usai pulang kerja, seperti biasa Satria mengantarkanku pulang. Kuutarakan semua persoalan itu. Kuutarakan pula bahwa aku ingin tetap bekerja di perusahaan ini. Lamat-lamat kupandangi wajah Satria yang tanpa ekspresi.
“Hasna, berkenankah kamu kalau aku yang mencukupi seluruh kebutuhan kita?” tanya Satria.
“Sebuah keputusan besar, Mas. Izinkan juga aku untuk memikirkannya.”
Aku yang beberapa hari uring-uringan, tidak fokus diajak bicara, dan selalu emosi saat diajak bicara membuat Ibu paham betul bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Suatu malam menjelang acara lamaranku dan Satria, Ibu mengajakku berbincang empat mata. Di sini, di kamar ini, kami berdua berbicara dari hati ke hati.
“Apa yang harus Hasna lakukan, ya, Bu. Apakah Hasna harus meneruskan hubungan ini? Kalau tidak, apakah pantas? Sebentar lagi Satria dan keluarganya akan datang melamar.” Aku meletakkan kepala di pangkuan Ibu.
“Hasna, kamu sudah dewasa, Ibu yakin kamu punya sudut pandang sendiri untuk mengambil keputusan. Jika kamu bingung, shalatlah, Na. Istikhoroh. Masih belum terlambat.”
“Tapi … Hasna sudah jatuh hati sama Satria, Bu. Hasna … tidak mau kehilangan Satria.”
Ibu memelukku erat, kemudian berbisik, “Istikhoroh, Na. Sebelum janur kuning melengkung.”
“Iya, Bu.” Aku membalas pelukan Ibu sama eratnya.
Hidup adalah tentang mengambil keputusan. Setiap keputusan ada konsekuensi di baliknya. Hari ini, adalah hasil dari keputusanku. Hari lamaran kami. Acara tepat sesuai dengan yang kami rencanakan. Tidak terlalu sederhana, tetapi juga tidak mewah.
Pagi-pagi aku dan Ibu sudah sibuk bersiap-siap, beberapa tetangga juga datang membantu, meskipun seluruh kelengkapan pesta sudah diatur Mama Satria. Aku dirias oleh penata rias profesional. Rambut yang digulung ke belakang, diselipi bunga melati putih di tengahnya. Gaun yang dibelikan Satria lembut bak sutra. Terusan lurus selutut, lengan dari bahan sifon putih, dengan pita ke belakang. Ibu pun anggun hari itu. Kebaya putih, hijab senada, dengan bawahan dan tas tangan berwarna emas.
Rumahku juga seperti sudah disulap menjadi anggun. Juntaian kain putih dan bunga menghiasi sudut-sudut rumah. Tenda tamu yang indah, bangku-bangku berbungkus sifon putih. Meja prasmanan yang penuh dengan beberapa menu, lengkap dan siap menyambut tamu.
“Na, Ibu jadi bingung. Ini acara lamaran atau pernikahan kamu sih, megah sekali ya.” Ibu tertawa renyah mengawali hari itu.
Benar, buat kami ini sudah lebih dari cukup untuk sebuah pesta lamaran. Demi menghormati Ibu Satria, aku dan Ibu memilih untuk menerima semua kemewahan ini.
Jam dinging menunjukkan pukul 10 pagi. Rombongan Satria telah terlihat dengan membawa hantaran yang terlihat sangat berkelas. Tas, pakaian, sepatu, alat make up, buah, kue, dan benda-benda indah lainnya.
Ruangan ini menjadi saksi, saat seorang Satria meminta izin kepada Ibuku untuk menjadi pendamping hidupnya. Kini dan kelak nanti. Kulihat ibu meneteskan air mata.
“Nak Satria. Hasna adalah satu-satunya buah hati saya. Dialah harta paling berharga yang ditinggalkan suami saya. Ibu mohon, jaga dia, Nak. Jaga dia.” Tak terbendung tangis Ibu. Ia semakin sesenggukan.
“Saya berjanji, Bu. Akan menjaga Hasna, melindunginya, dan menghormatinya.” Kami saling menyisipkan cincin di jari manis. Resmi sudah aku menjadi tunangan Satria.
Aku cukup senang, ternyata tidak ada drama yang harus aku lalui hari itu dengan Ibu Satria. Meski ia terlihat tetap tidak suka padaku. Akhirnya ia menyetujui, tanggal pernikahan ki ditetapkan tiga bulan lagi.
Tugas rumah terbesar bagiku sekarang adalah … apakah aku sanggup mengatakan pada Satria aku menolak untuk berhenti bekerja kelak jika aku sudah menikah? Apakah Satria akan menerima keputusanku? Jika aku tetap bersikeras mungkinkah ia berani membatalkan pertunangan kami?
*
Bersambung