Hati yang Tak Terjamah

76 10 2
                                    

Satria bergegas membuka pintu kamar. Mendapatiku menangis di samping Amanina, ia memeluk kami berdua. Mengecup kami berdua berkali-kali. Menatapku, mengecupku lagi.

“Jangan dengarkan ucapan Mama, Na. Aku tidak akan pernah meninggalkan kalian berdua. Aku janji akan selalu menemanimu berjuang dengan lupusmu. Kamu tidak akan sendirian, Na.”

Kurasakan kenyamanan di pelukan Satria. Ya Allah, aku benar-benar minta maaf telah lalai selama ini, telah jauh dari-Mu, tidak sedikitpun mengingat-Mu di saat senangku. Kini, saat aku sedang sulit, izinkan aku mendekat kepada-Mu.

Malam ini, izinkan aku bermunajat dan bersujud di kaki-Mu. Maafkan semua dosa dan khilafku. Semua doa terus mengalir dalam sujudku. Air mata mengalir dera jatuh di sajadahku. Pada saat itu, aku memutuskan untuk berhijrah dan menutup auratku.

*

Kupatut diri di depan cermin. Berkali-kali memutar tubuh melihat rupaku. Pakaian yang agak longgar, lengan panjang, rok panjang, dan … berkerudung.

“Hasna, kamu mau kemana?” tanya Satria saat selesai mandi.

“Mau berangkat mengajar ke sekolah.”

“Kamu … pakai kerudung?”

“Iya, doakan aku, Mas. Mudah-mudahan bisa konsisten. Boleh kan aku pakai kerudung?”

“Syukurlah. Ya boleh dong. Selamat ya, Sayang.” Mata Satria berbinar-binar menyambut keputusanku.

Tidak hanya di rumah, saat aku sampai di sekolah untuk mengajar teman-teman juga memberi selamat atas perubahanku. Tidak ada yang tahu apa yang membuatku berubah. Aku berpikir, untuk sementara kondisiku sebagai penyandang lupus biarlah kusimpan sendiri.
Menjelang pelajaran kedua, sekitar pukul sembilan kuambil ponsel dari dalam tasku di sela-sela pergantian jam pelajaran. Betapa terkejutnya aku, Satria menelpon sebanyak empat kali sekitar sepuluh menit yang lalu. Segera kutekan nomornya dan menelpon balik.

“Assalamualaikum. Ada apa, Mas?”

“Hasna, aku dalam perjalanan ke rumah sakit, Mama kecelakaan.”

“Ya Allah, di rumah sakit mana, Mas?”

Setelah Satria menyebutkan nama rumah sakit tempat Mama di tindak, aku segera minta izin dan menyusulnya. Tampak wajah tegang Satria saat aku berjumpa dengannya di depan ruang operasi, begitu pula dengan Kak Winda.

“Mama kenapa, Mas?”

“Mama kecelakaan tadi pagi, ia tertabrak sebuah mobil sedan saat ia menyeberang jalan.”

“Kok bisa? Ya Allah.”

“Kata Kak Winanda

Kulihat Kak Winda begitu terpukul. Tangisnya tak berhenti. Sambil meratap ia terus memukul-mukul kepalanya sendiri. Ia merasa bersalah.

“Seharusnya aku tidak membiarkan Mama menyeberang sendirian tadi,” isaknya.

Kuelus-elus punggung Kak Winanda. Seberapa pun besarnya Mama dan Kakak tidak menyukaiku, bagaimanapun mereka adalah Mama dan Kakakku juga. Tangan Kak Winanda bergetar, ia terus menundukkan wajahnya sambil menangis.

“Sekarang keadaan Mama bagaiamana, Mas?”

“Kaki Mama yang kiri patah di tiga bagian. Satu di bagian paha, dua di tulang keting. Sedangkan kaki kanan patah di bagian betis. Pendarahannya cukup banyak, sehingga setelah kondisi Mama sedikit stabil tadi di ruang UGD, saat aku datang pihak rimah sakit meminta izin untuk mengoperasi Mama, untuk menghentikan pendarahan.”

“Ya Allah.”

Mas Satria meminta Kak Winanda pulang untuk beristirahat, tetapi ia menolak. Ia ingin tetap menemani hingga operasi selesai. Sudah tujuh jam, pintu operasi terbuka. Seorang dokter keluar dari ruang tersebut.

“Bagaimana Mama saya, Dok?” tanya Satria.

“Puji syukur, operasinya berhasil. Setelah stabil, ibu Anda bisa dipindah ke ruang perawatan.”

Terlihat kelegaan teramat sangat di mata Satria, begitu pupa dengan Kak Winanda. Kakak beradik itu saling menggenggam tangan untuk menguatkan.

Sekitar satu jam kemudian, terlihat ranjang Mama keluar dari ruang pasca operasi. Kami bertiga menemani perawat mendorongnya sampai ke ruang perawatan. Sebuah ruangn VIP yang luas. Kamar ini hanya terdiri atas ranjang Mama, dilengkapi dengan televisi layar lebar, sofa dan meja tamu, kulkas ukuran sedang, meja makan yang bisa digeser khas rumah sakit, serta lemari baju.

Mama terlihat masih sangat lemah. Lengannya dipasangi infus, kakinya sudah sempurna diperban dengan penyangga. Satria dan Kak Winanda terus berada di samping Mama bergantian. Namun, tiba saat aku menampakkan wajah meski Mama dalam keadaan lemah, sangat kentara ketidak sukaannya akan kehadiranku. Mama sama sekali tidak mau menoleh ke arahku.


“Mas, sepertinya Mama benar-benar tidak suka aku hadir di sana. Aku bingung, apa kehadiranku malah akan membuat kondisinya semakin buruk?”

Satria menghela napas. Wajahnya terlihat letih, karena selama semalaman menjaga Mama dengan Kak Winanda.

“Ya sudah, untuk sementara kamu di rumah saja. Tidak usah menjenguk Mama sampai situasi memungkinkan.”

Aku sedih. Bahkan sampai usia pernikahan kami yang sudah menjelang lika tahun pun Mama tetap bergeming dengan pendiriannya. Terlebih setelah mengetahui aku mengidap lupus.

*
Seminggu sudah Mama di rawat di rumah sakit. Aku dalam posisi dilema, sebagai anak menantu aku ingin juga menjaganya, tetapi aku sangat khawatir kondisi Mama semakin memburuk. Sekarang menurut Satria kondisi Mama sudan jauh lebuh baik, sudah tentu aku harus memberanikan diri menemuinya.

“Aku ikut, ya, Mas.”

“Sabar, ya, nanti. Apapun yang terlontar dari ucapan Mama. Dimaklumi saja, dia sedang sakit.”

“Baik, Mas.”

Setelah menaiki lift sampai ke lantai lima, menyusuri lorong-lorong putih beraroma karbol, kami tiba di kamar Mamas. Dengan perlahan Satria membuka pintu kamarnya. Mama tersenyum lebar saat melihat Satria, seakan sebuah kelegaan tercipta di matanya karena yang dinanti telah tiba. Namun, ketika aku menyembul dari balik tubuh Satria, tiba-tiba mimiknya berubah seratus delapan puluh derajat

“Satria! Kenapa dia kamu ajak? Usir dia!”


*

Bersambung …

Harapan HasnaWhere stories live. Discover now