Debar Hati

201 18 90
                                    


"Seperti halnya rezeki yang tertakar, jodoh pun tak akan tersasar."

.

Lagi-lagi gerimis menemaniku, kian lama curahannya semakin deras. Aku sangat malas menghentikan motor meski hanya sekedar untuk memakai jas hujan. Makin kupacu lebih kencang kuda besiku agar segera sampai rumah.

Rumahku berada di lingkungan yang sangat padat penduduk di pinggiran kota, tepat di sebelah kawasan industri. Selokan di depan rumah yang airnya berwarna kehitaman, nyaris tidak mengalir sama sekali. Rumah-rumah yang berhimpitan, dan jalanan sempit sudah menjadi pemandangan khas tempat tinggalku. Rumahku sangat mudah dikenali karena satu-satunya rumah yang masih memiliki halaman agak luas dengan pohon jambu air di depannya.

Kudorong dengan perlahan pagar putih yang mengitari rumahku. Setelah memarkirkannya sejenak, segera aku masuk melalui pintu belakang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah kamu sudah sampai. Udah ibu tebak, kamu pasti nekat nerabas hujan. Kebiasaan! Dah sana, mandi dulu. Habis ini kita makan bareng." Ibu menyodorkan handuk bersih kepadaku, kemudian menuju dapur dan sibuk memasak makanan yang harumnya begitu semerbak. Sontak perutku berbunyi kemerucuk, tanda keroncongan melanda.

Ibu adalah seseorang yang selalu mampu membuat rumah ini hidup dan hangat. Meski ayah sudah berpulang sejak aku kelas enam SD, ia bertekad tidak akan menikah lagi. Rasa cintanya pada ayah dan sayangnya padaku, membuat ia memutuskan untuk tetap hidup sendiri membesarkanku selama tiga belas tahun dengan menjadi penjahit.

Dari balik pintu dapur aku memandangnya begitu sibuk menyeduh teh dan memasak makanan. Tak terasa dada ini serasa penuh. Setetes bulir bening jatuh dari mataku.

"Bagaimana assement-nya? Lulus?" tanya ibu di malam harinya. Sementara aku duduk di depan tivi, ibu masih sibuk dengan kegiatannya membuat pola jahit, padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.

"Alhamdulillah, Bu. Semuanya bisa Hasna jawab, wawancaranya juga ternyata nggak menegangkan. Mudah-mudahan Hasna bisa lulus jadi supervisor, ya, Bu."

"Aamiin. Sudah malam, Na, tidur yuk! Besok ibu harus ke Cipadu, nyari bahan pesenan."

Kudekati ibu, memeluk dan merasakan hangat tubuhnya benar-benar suatu hal yang sangat menenangkan. Kutatap wajah ibu yang teduh.

"Ibu, kalau Hasna nanti jadi supervisor. Hasna kepingin, Ibu nggak tidur malam tiap hari kayak sekarang. Kurangin terima orderan jahitannya, ya, Bu. Jadi, Ibu bisa istirahat lebih sorean," ucapku dengan memelas kepada ibu. Tapi, ia tidak berkata apapun dan hanya tersenyum.

"Udah ah, sana masuk kamar, udah malam."

Merebahkan tubuh di atas kasur sangat kubutuhkan saat ini sebagai penawar lelah yang mendera setelah seharian penuh menjalani assesment ditambah kehujanan di jalan. Sambil memainkan ponsel di tangan. Aku menghembuskan napas. Setelah mencolokkan daya ke ponsel, kumatikan lampu kamar dan bersiap tidur. Dalam keremangan terbayang lagi laki-laki yang kutemui tadi pagi. Satria. Duh, kenapa bayangannya tidak bisa hilang dari pikiran sih, padahal baru sekali melihat. Belum tentu juga bisa ketemu lagi.

*

Seperti biasa, weekday adalah hari yang hectic buat staf administrasi sepertiku. Mengerjakan ini dan itu, membuatku sejenak lupa untuk berharap kenaikan jabatanku segera disetujui perusahaan ini. Namun, herannya semua kesibukan ini sama sekali tidak bisa membuatku lupa akan sosok laki-laki itu.

Harapan HasnaWhere stories live. Discover now