Aku terhenti di tempat mendengar ucapan Mama, tetapi Satria menarikku untuk tetap ikut duduk di samping ranjangnya. Mama membuang muka.
“Kamu kan tahu, Mama lagi sakit, kenapa kamu membuatku kesal Satria?”
“Ma … Satria tidak bisa terus menerus meminta cuti dan libur. Mau tidak mau, aku dan Hasna juga sesekali bergantian menjaga Mama.”
“Kamu keberatan menjaga, Mama? Ya sudah, nggak usah saja sekalian!”
“Mama, sudah, ah, jangan marah-marah terus. Nanti lama sembuhnya.”
Apalah aku, semakin berusaha kurengkuh, Mama semakin menjauh. Aku menatapnya saat disuapi Satria dengan dada teras sesak. Wanita itu, wanita yang telah berjuang untuk kehidupan suamiku. Aku akan berusaha mengambil hatinya, mencintainya, laksana ibuku sendiri.
*
Suatu pagi rumah kami telah dipenuhi dengan keriuhan. Kak Winanda hari itu bertandang dengan emosi meletup-letup. Ia berkeluh kesah mengenai perangai Mama yang semakin menjadi. Setiap waktu Kak Winanda selalu dianggap salah. Ia menyerah.“Aku sudah nggak kuat, Satria. Aku nggak sanggup mengurus Mama di rumah sakit. Setiap saat kerjanya uring-uringan. Udah syukur ditemani, malah senangnya ngomel saja.”
“Maklumi saja, Kak. Mama kan sedang sakit.”
“Kamu bisa bicara seperti itu, karena kamu tidak mengalami.”
Mendengar pembicaraan mereka, mau tak mau aku ikut angkat bicara. Aku sudah terbayang apa yang akan aku hadapi, tetapi aku siap untuk mencobanya. Mama Satria adalah ibuku juga.
“Mas, biar aku yang mengurus Mama,”ucapku.
Kak Winanda melihatku dengan tajam, sementara Satria akhirnya mengalah. Ia mengizinkan aku yang merawat Mama.*
Hari ini Mama kembali ke rumah. Satria memapah Mama ke kamar. Belum apa-apa sudah terdengar suara melengking dari dalam kamar Mama.
“Aku tidak suka sprei ini! Winanda! Kamu nggak memberi tahu si Asih? Lepas! Aku tidak mau tidur di atas sprei itu.”
Winanda hanya merengut. Dengan lantang ia memanggil Asih, asisten rumah tangga Mama untuk mengganti sprei. Tiba giliranku untuk menyuapi Mama. Dengan sekali kibas, ia berhasil membuat makanan di sendok yang hendak kusuap ke mulutnya menjadi terhambur.
Dengan susah payah aku berjongkok membersihkan semua remahan yang terjatuh. Perlahan aku mengusap wajah Mama yang kotor. Sekali lagi tanganku ditampik olehnya. Satria hendak memprotes, tetapi aku melarang. Aku meminta izin untuk membiarkanku mengurus Mama.
“Mama, nanti kalau tidak mau makan, bagaimana bisa minum obat? Kalau tidak minum obat, bagaimana Mama bisa sembuh?” bujukku.
Tidak sebentar aku duduk di samping Mama. Rasa lapar akhirnya mengalahkannya, ia bersedia kusuapi makan dan minum obat. Akhirnya ia tertidur.
*
“Mas, kalau seperti saat ini, sepertinya aku kesulitan juga jika harus terus menerus izin dari mengajar. Sepertinya, aku sudah siap berhenti bekerja, Mas. Aku ingin bisa merawat Mama sepenuhnya.”
Satria terlihat terkejut, kemudian mengusap wajahku lembut. Seperti ada rasa bangga terpancar dari bola matanya.
“Asal kamu ikhlas, boleh saja. Tapi ingat, kamu juga tidak boleh terlalu capek dan haru jaga kondisi. Minum vitamin kamu secara teratur nanti. Jangan sampai kamu merawat Mama, tapi melupakan kondisimu sendiri.”
“Iya, Mas. InsyaAllah.”
* *
Turun dari mobil, aku dan Satria langsung menuju kamar Mama. Rumah Mama yang begitu megah, terasa sepi. Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran Kak Winanda. Satria memanggil-manggil, tetapi ia tak juga muncul.
“Bu Winanda sudah berangkat tadi pagi, Pak. Katanya mau nengok restoran, ada yang perlu dibereskan.”
Satria menghela napas, “Kak Winanda kok tidak bilang, kasihan mama kan.”
Sampai di kamar Mama, terlihat ia sedang sibuk membaca majalah. Mama terlihat masih belum bersih-bersih tubuh. Aroma keringat menguar dari tubuhnya.
“Assalamualaikum, Ma. Aku antar Hasna. Mama sama Hasna, ya. Aku mau langsung pamit.” Mama memasang wajah merajuk, kemudian memberikan punggung tangganya untuk dikecup Satria.
Saat SAtria sudah keluar kamar, kuberanikan diri untuk memulai berkomunikasi dengan Mama. Aku ingin membersihkan tubuhnya.
“Mama, sudah mandi?” Alih-alih menjawab, Mama memandangku dengan melotot.“Winanda nanti yang akan memandikanku!”
“Kak Winanda sudah berangkat, Ma. Ia ada urusan sebentar di restoran.” Aku menjelaskan secara perlahan kepada Mama.
“Tidak mungkin dia sudah pergi! Dia tidak bilang apa-apa kepada Mama.”
“Dia sudah pergi, Ma.”
“Ya sudah, biar Asih yang memandikanku. Aku tak sudi kamu pegang. Asih!”Mama berteriak lantang.
Asih, asisten rumah tangga Mama sudah muncul di kamar dengan tergesa. Mama memerintahkan Asih untuk memandikannya. Asih tertegun. Aku memahami jika Asih keberatan, karena rumah Mama yang sebesar ini hanya dia seorang diri yang membersihkan. Asih terlihat gugup untuk menolaknya, dan memandang iba kepadaku seakan meminta tolong. Aku mengangguk.
“Mama, Asih kan badannya kecil, pekerjaan dia masih banyak. Sama Hasna saja, ya.”
“Tidak mau! Kalau begitu, bilang Satria, aku mau seorang perawat di rumah ini.”
Ya Allah, sabarkan dan kuatkan hatiku. Aku mengelus dada. Aku memang sudah bisa menyangka sikap Mama seperti ini, tetapi ternyata saat benar-benar mengalaminya hatiku masih tetap bisa terluka.
“Mama, nanti kita cari perawat. Untuk sementara, Hasna saja ya, yang merawat Mama,” bujukku sekali lagi.
Matanya nyalang menatapku. Tak lama, perutnya berbunyi tanda ia sudah lapar. Rupanya Kak Winanda meninggalkan Mama tanpa terlebih dahulu memberikannya sarapan. Kupanggil Asih yang tadi sudah keluar kamar, untuk menyiapkan sarapan bubur. Setelah kubasuh seluruh tubuh Mama, membersihkan kotorannya, dan memandikannya, Mama kusuapi bubur untuk sarapan. Setelah terlihat lebih rileks, ia meminta majalah yang lain.
Di dapur, aku dan Asih sedikit berbincang-bincang tentang keadaan rumah ini. Lebih tepatnya, aku yang mendengar curhatan Asih.
“Nona Winanda itu memang sejak dulu cuek, Bu, sama apapun. Apalagi urusan rumah. Semua Nyoya besar yang mengurus. Saya sebenarnya capek, karena sendirian. Pernah ada sih yang masuk, jadi saya berdua. Tapi, ya itu. Nyonya besar dan Nona Winanda galaknya pol, jadi kebanyakan tidak ada yang betah lama-lama.”
Aku hanya tersenyum mendengar cerita Asih. Menepuk pundaknya dan memberikan semangat, “Sabar ya, Asih. Saya bantu urus Mama. Nanti mudah-mudahan kita segera dapat perawat. Tapi, ya itu saya bilang Mas Satria dulu.”
“Iya, Bu.”
Prang!
Terdengar suara benda porselen jatuh, arahnya dari kamar Mama. Aku dan Asih segera berlari ke kamar Mama. Pikiranku berkecamuk, khawatir terjadi yang tidak-tidak pada Mama. Ternyata, saat kami tiba Mama tampak segar dan biasa saja. Terlihat mangkuk sup pecah berderai di lantai kamar.
“Itu, tolong bersihkan! Nggak sengaja tersenggol.”perintah Mama acuh.
Asih dengan cekatan membersihkan seluruh kamar dari pecahan mangkuk. Aku mendekati Mama, dan duduk di samping ranjangnya.
“Kalau niat jagain saya, yang serius! Masak saya ditinggalkan sendirian.” Wajah Mama terlihat berbeda saat mengucapkan itu. Ia terlihat sedikit … ramah.
“Iya, Ma. Aku akan di sini terus, kok. Nggak kemana-mana.”
“Bagus!”sahut Mama.
“Jadi … masih perlu perawat nggak, Ma?”
“Nggak!”
*
Bersambung …