Amanina Mahendra

62 12 3
                                    

Mulutku terkatup, napasku tersengal, tak terasa setetes air mata jatuh. Kupandang lekat-lekat benda kecil di tanganku. Garis dua. Segera kubersihkan diri dan bersujud syukur kepada Tuhan. Tiba-tiba aku kehilangan akal, tak tahu apa yang harus dilakukan. Sejenak  kuambil napas dan kuhembuskan perlahan. Aku ingin memberi kejutan pada Satria.

“Dia pulang,” gumamku sambil mengintip dari balik gorden.

Susah payah kusembunyikan perasaan bahagia ini. Satria kulayani seperti biasa. Menyiapkan makan malam, kemudian handuk dan pakaian gantinya. Saat kami berdua dalam keadaan bersantai di depan televisi, kuberikan sebuah kotak persegi panjang kecil berpita hijau toska kepadanya.

“Eh, apa ini? Aku nggak lagi ulang tahun, kan.”

“Buka aja,” jawabku menunduk malu.

Dilepas dengan perlahan pita hijau toska yang mengikat, kemudian saat kotak tersibak, terlihat ekspresi penuh tanda tanya di wajahnya.

“Hasna, i-ini? Ka-kamu, hamil?”

Aku berlinang air mata dan mengangguk mantap. Seketika tangan Satria bergetar. Ia memeluk, mengecup keningku bertubi-tubi, dan segera bangkit kemudian melakukan sujud syukur. Kami berdua berlinang air mata karena bahagia.

“Ya Allah, Mas. Alhamdulillah.”

Satria mengecup perut, membelainya lembut, dan tak henti memelukku. Tuhan, terima kasih atas anugerahMu. Izinkan ia sehat dan tidak kekurangan suatu apapun hingga ia dewasa nanti.

*


“Hasna, jangan naik-naik seperti itu. Bahay nanti kamu terjatuh,” larang Satria saat aku hendak menjemur pakaian seperti biasa ke lantai dua.

“Loh, terus aku harus menjemur dimana?”

“Sudah sini aku yang menjemur. Kamu duduk saja.”

“Terima kasih, Mas,” godaku.

Sabtu pagi itu Satria menjadi upik abu membantuku melakukan sebagian pekerjaan rumah. Keesokan harinya, ia sudah menyediakan tempat penjemur baju di teras rumah, sehingga aku tidak perlu lagi menjemur ke atas. Menjadi wanita hamil memang menakjubkan, selalu diperlakukan secara istimewa. Satria seringkali mengabulkan apa yang aku inginkan.

Sayangnya, sepertinya apapun yang kulakukan dan kupersembahkan sepertinya tetap tak pernah cukup di mata Mama Satria dan Kakaknya. Saat kami berdua sedang bersantai di depan televisi, kulihat mobil Mama tiba.

Satria bangkit dan menyambut mereka. Sementara setelah aku mengecup punggung tangan Mama, gegas menyiapkan air minum.

“Sudah kelihatan anakmu laki-laki atau perempuan, Sat?”

“Belum kami cek, Ma.”

“Loh, sudah usia empat bulan, kan? Sudah bisa kelihatan seharusnya.”

“Iya, Ma. Kami tidak terburu-buru ingin tahu, kok.”

“Mama mau cucu pertamaku laki-laki.”

“Ma, laki-laki atau bukan, kami tidak bisa menentukan,” sanggajku mendengar percakapan mereka.

“Iya, Ma. Laki-laki atau perempuan sama saja,” ujar Satria.

“Aku ini belum punya keturunan, Hasna. Jadi kelak suatu saat, Satria dan anaknya yang akan meneruskan usaha restoran papa.” Winanda–kakak Satria–menimpali.

Tanganku mengepal, ada sesak yang kutahan di dada ini, tetapi aku berusaha menahan sambil mengelus-ngelus perut dan mengatur napas. Tak pernah sekali pun kedatangan Mama Satria dan Winanda mendatangkan kedamaian, selalu saja berujung cibiran.

*

Seperti biasa kami melakukan pemeriksaan bulanan si jabang bayi. Mengantri di dokter kandungan sambil melihat ibu-ibu lain dengan berbagai usia kehamilan, membuatku tersenyum-senyum sendiri. Ada yang belum terlihat, ada yang besarnya sama dengan kandunganku, dan ada yang sepertinya sudah mendekati hari lahirnya.

“Ibu Hasna,” panggil perawat. Tiba giliran kami untuk diperiksa.

Perawat mempersilahkan kami masuk. Setelah screening awal, aku dipersilahkan berbaring di atas ranjang periksa. Dokter mengoleskan gel dingin ke atas perutku dan memindainya menggunakan USG. Air mataku kembali menetes melihat sebuah gambar berwarna hitam putih pada layar yabg mebampilkan sesosok calon buah hati kami. Terlihat begitu murni, dan anggun. Saat sang dokter mengeraskan suara detak jantung calon bayi kami, saat itu aku dan Satria saling menggenggam erat tangan kami. Hanya air mataku saja yang terus menetes mengungkapkan kebahagian ini.

“Ingin tahu jenis kelamin bayinya, Pak, Bu?”

Aku dan Satria saling tatap dan tersenyum. Kami mengangguk beesama.

“Bayi Anda berdua perempuan.”

“Alhamdulillah,” ucap Satria.

“Bagaimana, Dok? Sehat dan sempurnakah bayi kami?” tanyaku.

“Sehat, Pak, Bu. Normal semua.”

Kami kembali ke rumah dengan hati berbunga-bunga dan bahagia. Sehat dan normal. Kata itu mampu melenyapkan segala kekhawatiran kami. Namun, tentu saja perjuangan belum berakhir, karena Mama Satria menjadi semakin menekanku atas kehadiran seorang calon bayi perempuan di rahimku.

“Semoga kamu lekas punya bayi lagi setelah melahirkan anak pertamamu, Hasna,” ucap Ibu saat mengetahui kabar itu.

“Ibu, sudah, Bu. Laki-laki atau perempuan sama saja. Buktinya Kak Winanda saat ini yang menjalankan usaha papa, kan? Bukan Satria.”

“Makanya, Mama mau setelahnya anak kamu yang meneruskan.”

“Tenang, Bu. Satria yakin, nanti Kak Winanda bisa memiliki suami dan anak laki-laki, kok.”

Ya, Satria selalu bisa membelaku di depan Mama dan Kak Winanda. Selalu mendukungku, hingga tiba masa persalinan.

Tepat menjelang tengah malam, aku mengalami kontraksi yang hebat. Kontraksi yang awalnya berjarak satu sampai dua jam sekali, hingga akhirnya berlangsung setiap lima menit sekali. Kubangunkan Satria yang terlelap di sampingku.

“Mas, Mas … sa-sakit,” kataku sambil mempraktekkan olah napas yang selama ini kupelajari.

“Hasna, sudah waktunya?”

Aku mengangguk lemah dan mengcengkeram lengannya, menahan denyut yang menghebat di rahim. Satria secepat kilat mengambil tas yang sudah kami persiapkan. Ia memapahku perlahan ke dalam mobil. Di perjalanan tak henti aku menahan nyeri, dengan menyebut nama Ilahi berulang kali.
Tiba di rumah sakit, kami langsung menuju ruang IGD. Ternyata ketubanku sudah merembes. Saat itu dokter sejenak memeriksa, dan membawaku ke ruang bersalin. Dokter memutuskan aku harus melakukan dengan jalan operasi sesar.

Gemetar, grogi, dan takut menyebabkan anastesiku sulit dilakukan. Bidan yang mendampingiku terus menenangkan dan menggantikan Satria yang tidak diperbolehkan mendampingi untuk menggenggam tanganku.

“Istigfar, Bu.  Semua akan baik-baik saja,” bisiknya.

Aku setengah tersadar, air mataku tak berhenti mengalir. Cemas melanda. Seperti apa dirinya? Apakah dia akan baik-baik saja, jantungku seakan berpacu lebih cepat. Was-was terus melanda. Hingga akhirnya, kesunyian dini hari itu pecah oleh suara tangis bayi.

Disodorkan bayi itu ke wajahku, kukecup keningnya. Tak terkira sudah air mata ini menganak sungai.

“Suster… lengkap sempurnakah bayi kami?” tanyaku.

“Alhamdulillah, lengkap dan  sehat,  Bu. Saya bawa keluar untuk diazankan, ya.”

Sang perawat membawa bayi itu untuk dikumandangkan azan oleh Satria. Lega hati ini. Kemudian, Satria dan aku memberikannya nama Amanina Mahendra, yang artinya anak dari Mahendra yang dinanti-nanti.


*

Bersambung …




Harapan HasnaWhere stories live. Discover now