Naluri

54 10 3
                                    

Kehadiran Amanina menjadi cahaya bagiku, bagi kami. Rumah menjadi riuh dengan suara tangis, tawa, riang bayi kecil. Setidaknya Amanina menjadi penghibur lara, manakala sampai saat ini Mama Satria masih belum bisa merangkulku sebagai menantunya. Bersama kehadiran Amanina, waktu bergulir tak terasa. Kini, usianya mendekati tiga tahun sudah.

“Mas, minggu depan Amanina ulang tahun yang ketiga loh, aku mau bikin pesta kecil di rumah, ya.”

Satria bergeming, ia masih saja menatap laptopnya dengan serius. Sampai beberapa kali kuutarakan rencanaku, ia tetap tidak merespon.

“Mas! Dengar nggak sih?” Aku merajuk.

“Eh, de-dengar, Hasna. Iya, nggak apa-apa, pestain saja.”

“Mau nasi uduk atau nasi biasa, atau kue-kue saja, eh atau lengkap?”

Satria tetap tidak memperhatikan yang aku ucapkan.

“Maaas.”

“Iya, Hasna. Duh, aku sedang menyelesaikan pekerjaan penting. Kamu urus saja, apapun aku dukung,” ucap Satria memutus percakapan kami.

Akhir-akhir ini kurasakan Satria begitu sibuk dengan pekerjaan kantornya. Ia sering pulang malam dan menerima telpon di malam hari. Akhir minggu yang biasa kami jalani dengan bepergian keluar, juga menjadi jarang. Kadang ia tetap ke kantor, atau dengan alasan lelah ia memilih untuk tetap di rumah saja.

Satu hari menjelang ulang tahun ketiga Amanina, Ibu berkunjung ke rumah. Rindu sekali, karena sekarang Satria pun sudah jarang mengantarku pergi ke rumah Ibu.

“Sabar, Na. Mungkin memang Satria sedang sibuk.”
“Entah, Bu. Perasaanku tidak enak.” Aku mengutarakan semua kepada Ibu, sambil mebgusao-usap bagian bawah leherku.

“Ini apa, Na. Kok ada ruam-ruam di lehermu?”

“Alergi sepertinya, Bu.”

“Alergi apa?”

“Nggak tahu. Apa hormon mungkin, soalnya suka muncul kalau Hasna sedang banyak pikiran.”

“Ke dokter dong, Na.”

“Iya, Bu. Nanti.”

Ibu terlihat bahagia bermain bersama Amanina. Seperti biasa jika menginap di rumah, Amanina senang sekali dekat dengan Ibu. Tak lama kemudian, terdengat deru suara mobil dari luar rumah. Kuintip sedikit dari jendela, tampak mobil Mama Satria yang datang. Seperti biasa, ia datang bersama Kak Winda.

Ia melemparkan pandangan ke seluruh ruang tamu. Menilai dekorasi yang telah kurancang. Sebuah backdrop bergambar oara princess disney kesukaan Amanina, balon yang didominasi warna biru kesukaanya berisi gas sehingga menutupi langit-langit ruang tamu. Origami dari kertas berkelap-kelip membentuk kristal salju, dan perdani biru terhampar di lantai. Mama Satria hanya mengangguk-angguk melihat semua itu.

“Mama, masuk, Ma. Alhamdulillah ada Ibu di dalam.”

“Mama dan Winda Cuma sebentar, kok.”

Kak Winda mengeluarkan beberapa kotak dus yang isinya banyak bingkisan.

“Mama, repot-repot, terima kasih.”

Ucapan terima kasihku hanya dibalas dengan aedikit anggukan, kemudian ia berucap, “Sekali-sekali ke salon, Na, atau dokter kecantikan. Baru punya anak satu, wajahmu terlihat kusam begitu.”

Aku dan Ibu hanya saling pandang mendengar ucapan Mama Satria. Hal itu membuatku berpikir, apakah benar sudah separah itu penampilanku sekarang. Aku akui, sejak Amanina hadir aku memang sudah jarang merawat wajah dan tubuh. Kesibukanku mengajar dan mengurus Amanina sungguh telah menyita banyak waktuku.

Keesokan harinya secara tak disangka pagi-pagi betul Satria izin untuk ke kantor. Ia bilang ada urusan mendesak yang tidak bisa tidak harus diselesaikan hari itu olehnya.

“Memang nggak ada orang lain, Mas? Aku tahu betul seurgent apapun, masih bisa kok ditahan sehari dua hari. Aku pernah di sana kan dulu. Ini hari Sabtu loh.” Aku memprotes keputusan Satria.

“Kamu sok tahu, ah. Keadaan sekarang sudah berbeda dengan saat kamu ada dulu. Sudah aku jalan, ya. Aku janji, maksimal setelah makan siang aku pulang. Acara Amanina sore, kan. Sudah jangan ngambek terus.”

“Papaaa.” Amanina menghambur ke pelukan Satria. Setelah memberikan kecupan di dahi, Satria beranjak pergi ke kantornya.

Ingin rasanya kulampiaskan kekesalan ini sejadi-jadinya, tetapi semua itu luruh saat Amanina memegang kedua pipiku dengan tangan mungilnya.

“Mama, kenapa? Kok mata Mama ada airnya? Udah gede nggak boleh nangis. Amanina aja nggak boleh nangis kalau jatuj sendiri kata Mama.”

“Enggak, Mama nggak menangis.”

Menjelang Ashar, tak terlihat tanda-tanda keberadaan Satria sama sekali. Beberapa kali kukirimkan pesan juga belum dibacanya. Aku cemas. Ada apa dengan Satria?
Sampai kemudian, acara dimulai, ia tetap belum tiba.

“Mama, Papa mana?” Amanina bertanya.

“Sebentar, ya, Nak.”
Nyanyian, tawa, dan riuh suara anak-anak ramai di rumahku sore itu. Semua anak bergembira, kecuali Amanina yang tetap menanti kedatangan papanya. Tak kusangka, menjelang acara hampir berakhir Satria baru datang.

“Papaaa.” Amanna terlonjak ceria dan memeluk Satria dengan mata berbinar-binar.

Aku bersyukur, akhirnya acara berlangsung lancar, karena hampir saja menjadi kenangan buruk bagi Amanina jika Satria tidak datang.

Kelelahan membuatku enggan mencecar Satria kenapa ia terlambat pulang, tetapi hati memberontak untuk mengetahuinya. Geram, terlebih ia seperti tidak memiliki rasa bersalah sama sekali.

“Kamu kenapa sih, Mas? Aku merasa belakangan ini kamu berubah!” bentakku tiba-tiba.

Satria mengernyit, “Apaan sih, Na? Kamu tiba-tiba marah begitu. Aku capek, jangan mengada-ada deh.”

Deg! Ada rasa terkejut dalam hati. Selama ini Satria sama sekali tidak pernah membentakku, seperti apapun rajukan yang kulakukan.

“Amanina menunggu kamu, Mas. Dia hampir menangis. Kamu kemana saja?”

“Hasna, aku beneran kerja. Jangan seperti ini, aku sedang capek. Please.”

“Kamu berubah, Mas.”

“Apanya?”

“Entahlah. Aku … merasakan akhir-akhir ini kamu berbeda.”

“Sudah, Na. Itu perasaan kamu aja. Ayuk istirahat.”

“Apa karena … aku sudah tidak cantik? Aku kegendutan, ya?”

“Enggak. Kamu tetap cantik.” Satria menjawab makin lirih, kemudian jatuh tertidur.

Aku bangun dan bercermin di depan kaca. Mungkin yang dikatakan Mama benar. Aku tak pandai merawat diri. Apakah Satria mulai bosan dengan penampilanku?

Meski malam terus beranjak naik, aku tak dapat memejamkan mata. Perasaan kesal bercampur was-was terus menghantui. Kulangkajkan kaki menuju dapur. Saat kubuka pintu kulkas, kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku. Spontan aku terlonjak kaget.

“Ibu!” pekikku.

“Sudah lewat tengah malam, kenapa belum tidur, Na?”

“Aku haus, Bu. Loh, Ibu kok belum todud?”

“Ibu habis dari toilet.”

Ibu memandang wajahku lekat dan menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Keteduhan wajahnya bagai oasis di padang gurun, begitu menyejukkan dan sumber kehidupan bagi jiwaku. Tak tetasa air mataku meleleh.

“Satria?”
Aku mengangguk.

“Bicarakan baik-baik, Na. Tetapi jika itu belum meredakan rasa was-wasmu, cobalah kau cari tahu tentangnya. Ibu hanya berharap yang terbaik untukmu dan keluargamu.”

“Bu, tetap di sini. Jangan tinggalin Hasna.” Dengan memeluk Ibu, gundahku bisa terobati.

Satria, benarkah apa yang kurasa? Adakah sesuatu yang kau lakukan yang tidak baik sehingga memicu naluri kewanitaanku?

*

Bersambung …

Harapan HasnaWhere stories live. Discover now