Roda hidup terus bergulir. Satria seperti selalu ada di setiap detik waktu yang kujalani. Dia seperti bayang-bayang yang selalu hadir. Agak mengganggu sebenarnya, karena saat ini posisiku dan Satria adalah atasan dan bawahan. Seharusnya hubungan kami professional. Namun, sekuat apapun aku mencoba, semuanya sia-sia. Keberadaannya yang dekat denganku, justru semakin membuat perasaanku kepadanya semakin dalam. Entah hanya perasaanku atau aku yang hanya gede rasa, perhatian-perhatian Satria kepadaku terus belanjut sejak kunjungan dinas kami ke Bogor.
Kuluruskan kaki, bersandar dan merebahkan tubuh di sofa depan televisi. Ibu seperti biasa sedang sibuk menjahit pesanan pelanggan, padahal hari Sabtu. Saat sedang asyik berselancar di dunia maya, telepon genggamku berbunyi. Satria.
“Hallo, iya, Pak.”
“Hasna, nanti malam tolong temani saya, ya. Ada undangan.”
“Hah? Undangan, Pak?” reflek aku terkejut.
“Iya, kenapa? Kamu ada acara?”
“Eh, eng-enggak sih, Pak. Ta-tapi, saya nggak salah dengar kan, Pak?” Duh Hasna kenapa tanya begitu sih. Kutepuk bibirku menyesal telah mengucapkan pertanyaan tadi.
“Enggak. Saya jemput jam tujuh, ya. Ke rumah kamu.”
“Jangan, Pak. Di depan Indoapril saja, nanti saya yang menemui Bapak di depan sana. Jauh, Pak, jalannya ke dalam.”
“Enggak, lah. Saya ke rumah kamu, nggak apa-apa kok.”
“Eh, nggak usah, Pak, biar sa—"
Telepon mati. Satria! Apa-apan sih orang itu? Aku belum menjawab bisa atau tidak. Eh, tapi aku sudah menjawab tidak ada acara apa-apa tadi ya. Salahku.
*
Kupandangi diri ini di cermin. Aku beputar-putar melihat penampilanku yang berbalut kebaya modern berwarna hijau muda, kain batik kerut sebagai bawahan dengan warna gradasi coklat dominan emas, sepatu berwarna emas, tas tangan berwarna hitam, dengan rambut digelung belakang. Tak lupa kuoleskan lagi lipstick berwarna merah marun ke bibir dan menyemprot parfum beraroma cuddle sebagai pelengkap. Terus terang aku tak pandai berdandan, semoga penampilanku tidak terlalu memalukan.
“Aku siap!”
“Hasna, cantik banget. Mau kemana? Tumben?” tanya Ibu.
“Mau nemenin orang kondangan, Bu. Jalan dulu, ya.”
“Loh, kondangan dimana? Emang temennya nggak jemput?”
Aku hanya meringis mendengar pertanyaan Ibu. Aku memang sengaja tidak cerita sama Ibu kalau Satria mengajak pergi malam ini. Belum siap, nanti sajalah. Aku khawatir Ibu akan berpikir macam-macam dan menaruh harapan terlalu tinggi. Untuk sementara biar kujajagi dulu pertemananku dengan Satria. Ya, pertemanan. Karena aku pun tidak berani berspekulasi apapun atas sikap Satria selama ini kepadaku.
“Assalamualaikum.”
Terdengar suara seorang laki-laki di depan pintu. Aku belum bergerak, ibu telah mendahului membuka pintu. Saat pintu terbuka, harum aroma parfum maskulin menyeruak hidung. Elegan.
“Satria,” gumamku. Astaga, orang itu kenapa harus ke sini, padahal sudah kubilang tunggu saja di depan gang rumah.
“Waalaikumuussalam, masuk, Nak. Mari duduk.”
Satria terlihat menawan mala mini. Astaga! Padahal aku tidak mengatakan akan memakai pakaian apa, tetapi ternyata pakaian kami senada. Ia memakai batik tulis lengan panjang berwarna emas, bercelana coklat, dan sepatu pantovel coklat tua.
“Perkenalkan saya Satria, Bu, teman Hasna. Saya minta izin ingin mengajak Hasna kondangan.”
“Nak Satria ini, manajernya Hasna itu kan? Hasna pernah cerita tentang, Mas.”