Harapan yang Terwujud

131 11 4
                                    

Ya Tuhan, begitu banyak panggilan tak terjawab dari Mama dan Kak Winanda. Dengan hati was-was segera kutelpon balik Kak Winanda.

“Assalamualaikum, ya, Kak. Ada apa?”

“Dari mana saja? Kok tidak diangkat.”

“Saya sedang di ruang dokter tadi.”

“Oooh, Mama … sangat mengkhawatirkan kamu. Ditelpon sekali, tidak diangkat. Dua kali, juga tidak diangkat. Tiga kali juga. Mama panik.”

“I-iya, Kak, aku segera menghubungi Mama.”

Setelah mendapat kabar baik bahwa kondisiku tidak mengkhawatirkan, kini hatiku makin berbunga-bunga dengan kabar bahwa Mama memikirkan kondisiku.

“Assalamualaikum, Ma.”

“Hasna! Kamu ditelpon berkali-kali nggak diangkat. Kamu itu sakit atau dendam sama Mama?”

Kalau tadi aku belum mendapat bocoran dari Kak Winanda, pasti rasanya sakit sekali. Namun, aku tahu di balik bentakan Mama barusan, sebenarnya ia menutupi rasa khawatirnya kepadaku karena gengsi.

“Maaf, Ma. Tadi Hasna sedang di dokter. Alhamdulillah Hasna nggak apa-apa. Mama jangan terlalu stres ya, nanti kesehatannya menurun,” kataku dengan nada selembut-lembutnya.

“Ya sudah. Syukur kalau kamu tidak apa-apa.”

Telepon ditutup.

Aku tersenyum kepada Ibu, menyandarkan kepala ke bahunya. Ibu pun terlihat bahagia debgan perkembangan hubunganku dengan Mama. Ia menggenggam tanganku. Erat.

“Terima kasih, Bu.”

“Buat?”

“Buat selalu ada untuk Hasna.”

Ibu mengecup kening dan membelai kepalaku. Ia terus mengusap-usap pubggungku sampai tiba di rumah.

*

Saat pagi menjelang, herannya aku lagi-lagi merasa tidak enak badan dan mual. Kepala berat sekali, bahkan Amanina yang sekedar minta disuapi tak mampu kulayani. Satria kembali mengkhawatirkan keadaanku.

“Kemarin dokternya bilang apa?”

“Nggak apa-apa, keadaanku baik-baik saja. Lupusku terkendali.”

“Ya udah, kita lihat beberapa hari, ya. Kalau masih begini kita ke dokter lagi.”

Ibu membuatkanku teh hangat, membuatkan bubur, dan memijit kepalaku. Saat aku sudah selesai makan dan kami bertiga berada di ruang tamu, Ibu mengutarakan kecurigaannya akan kondisiku.

“Hasna, kapan kami terakhir datang bulan?”

“Hah?” Aku tersentak kaget. Benae juga kata Ibu, aku tidak ingat kapan terakhir kali datang bulan karena mengurusi Mama.

“Lupa, Bu. Sepertinya sudah terlambat sekitar dua minggu deh.”

Ibu tersenyum semringah, lalu berkata, “Hasna, kamu tes deh, firasat Ibu sepertinya kamu hamil.”

Ah. Aku mengatupkan tangan ke mulut. Hal itu sama sekali tidak terpikirkan olehku. Iya, mungkin aku harus melakukan tes untuk mengetahui apakah aku hamil. Ingin rasanya langsung ke apotik membeli test pack, tetapi … Ah, nanti saja. Aku ingin Satria menjadi orang yang pertama tahu kalau nanti benar aku hamil.

Malamnya, aku menunggu Satria dengan persediaan test pack.

“Mas, Ibu bilang, mungkin saja aku hamil. Aku tes ya? Siapa tahu benar.”

Satria mengernyit. Entah, apakah hanya perasaanku saja, tetapi aku tidak melihat aura kebahagiaan di wajahnya. Dia hanya mengangguk sekedarnya dan menyuruh aku segera melakukan tes.
Kutunggu sekian detik, cairan terus merembes ke atas, hingga membentuk satu garis merah. Kutahan napas, waktu seakan berjalan lambat, hingga batas waktu sesuai petunjuk penggunaan terlampaui, tak juga terlihat garis merah selanjutnya.

Kecewa. Tak terasa setitik air mataku menetes.

Aku keluar dari kamar mandi dengan wajah menunduk. Kutunjukkan hasil tesku pada Satria, herannya aku seperti melihat kelegaan di wajahnya. Kuhempaskan tubuh ke kasur, merajuk.

“Aku nggak salah lihat, kan? Kok kamu kelihatan seneng, sih, Mas?” tanyaku.

“Bukan begitu, Hasna. Aku Cuma mengkhawatirkan keadaanmu.”

“Kenapa? Aku baik-baik saja!”
“Hasna. Kamu masih dalam pengobatan. Setahu aku, butuh lerencanaan matang dalam kondisi lupus untuk bisa hamil.”

Ah, iya. Aku lupa akan kondisiku. Bodoh! Seandainya benar hamil, aku akan merasa bersalah jika terjadi apa-apa pada janinku akibat kondisiku sekarang. Aku memeluk Satria.

“Aku ingin hamil. Apakah, itu berarti aku tidak bisa hamil?”

“Bisa, Sayang. Yang aku baca, bisa. Tapi kita harus program dan berkonsuktasi dengan dokter kamu dulu.”

“Jadi, tidak enak badanku ini, memang benar-benar karena kelelahan seperti yang dokter bilang?”

Satria mengangguk.

Malam itu aku tertidur dengan perasaan penuh dengan beban. Ada sedikit rasa menyesal, kenapa aku melakukan tes kehamilan. Harapanku sudah terlampau tinggi, saat ternyata hasilnya negatif, hal itu aungguh memukulku.

Tak mampu memejamkan mata barang sedetikpun, aku membolak balikkan badan resah. Amanina sudah berusia empat tahun, apakah ia akan menjadi anak tunggal kami? Apakah Satria akan menerima bahwa mungkin aku tidak mampu memberi lagi?

“Hasna,” lirih suara Satria di telingaku.

“Jangan berpikir macam-macam. Ingat, aku mencintamu apa adanya. Jangan selalu berasumsi tentang diriku.”

“Kamu … sok tahu. Kayak tahu saja aku memikirkan apa.”

“Tahulah, I know you, better than yourself.”

Satria. Pipiku memanas mendengarnya. Benar, kamu memang sangat mengenalku, bahkan melebihi diriku sendiri.

*

Merasa sudah sehat, aku meminta Satria untuk diizinkan kembali merawat Mama. Seperti dugaanku, setelah beberapa hari tak bertemu, ada binar bahagia dalam matanya saat aku datang. Mama, mungkin bisa berkata benci, tetapi sorot kerinduan di matanya tak bisa diingkari.

“Sudah sehat kamu?”

“Sudah, Ma.”

“Aku mau sarapan!”

Rupanya, aku juga rindu dengan kata-kata ketus Mama. Setelah menyajikan sarapan, aku mulai memandikan Mama. Membasuh seluruh tubuhnya dengan perlahan, mengganti popoknya, membersihkan kotorannya, dan memakaikannya baju.

Aku bisa merasakannya. Tatapan Mama yang diam-diam melirikku. Menilai semua gerak-gerikku. Entah, mungkin masih terpengaruh kejadian semalam, hari ini moodku sedang tidak baik. Aku lebih banyak diam dan hanya bicara seperlunya kepada Mama.

Hingga lewat tengah hari, aku merasa lebih banyak tidak fokus. Sepertinya Mama menyadari hal itu, karena hari ini ia terlihat sungkan. Ia tidak tidak lagi mengeraskan suaranya saat memanggilku. Ia seperti, ingin berbicara kepadaku.

Ternyata dugaanku benar.

“Hasna.” Mama memanggilku, tanpa membentak.

“Ya, Ma.”

“Terima kasih!”

“Untuk?”

“Untuk terus membuktikan, bahwa kamu bersungguh-sungguh usahamu menjadi bagian dari keluarga ini. Menjadi wanita yang dipilih dengan tepat oleh Satria. Menjadi … menantuku.”

Bagaikan hujan di tengah kemarau. Bak oasis di pasang gurun. Ucapan Mama barusan adalah sebuah kalimat yang telah kunanti selama lima tahun kebersamaanku dengan Satria. Bahkan air mata tak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaan ini.

“Hasna. Mama … minta maaf.”

Aku tersungkur di sisi ranjang Mama, mengecup kedua tangannya. Air mata kami berdua tak terbendung. Tentu saja, mana mungkin aku tidak memaafkan Mama. Saat inilah yang telah aku tunggu sekian lama.

“Iya, Ma. Hasna juga minta maaf.”

Banyak yang bilang, Tuhan selalu mengabulkan doa dan harapan kita. Banyak yang bilang, Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuh, bukan apa yang mau. Pada satu titik, aku pernah tidak percaya. Namun, hari ini aku membuktikan perkataan banyak orang itu benar.


.

End







You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 06, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Harapan HasnaWhere stories live. Discover now