Kedatangan Williamdan Hitoshi melahirkan sensasi. Informasi yang datang bersama mereka mengguncang seisi ruangan. Setelah William menyebut-nyebut mengenai perencanaan bom yang dijatuhkan di kawah Krakatau, kini seisi markas tak bisa tenang.
Aku dan Andrew berjalan menyusuri lorong, mencari Marthin atau siapa saja atau apa saja yang bisa kami kerjakan. Kami berdua telah terlantarkan selama beberapa jam, tanpa ada yang peduli- bahkan ayah dan ibu. Mereka lebih tertarik pada William dan Hitoshi, meninggalkan ruang utama tadi dan mendiskusikan sesuatu di ruang tertutup- tentu saja, tanpa mengundang kami.
Samar-samar suara ayah, William dan beberapa orang lain yang tengah berbicara terdengar. Semakin kami berjalan, semakin nyata suara itu menggapai telinga kami.
Tanpa ragu, kami mengikuti kemana suara itu menuntun kami, hingga berhenti di sebuah pintu putih besar.
Andrew yang pertama menempelkan telinganya di pintu.
"....melepaskan bom yang mereka rakit di kawah Krakatau." Suara William terdengar.
"Darimana kalian tahu tentang ini?" terdengar suara Paman San.
"Sebenarnya saat kalian ada di Siwa, aku dan Hito juga pas sedang disana," terdengar suara William menjelaskan, "Sayangnya, kita tak sempat bertemu."
"Tapi sebenarnya gadis kecilmu itu sangat membantu." Terdengar suara William yang terus bicara.
Lalu ruangan mendadak sunyi, terlalu hening. Saking anehnya, baik Andrew atau diriku tak mendengar suara gumaman apapun dari dalam. Aku menempelkan telinga lebih erat, sebelum pintu tersebut membuka dan tubuhku nyaris jatuh ke atas sepasang sepatu buts besar nan kotor.
William tengah memegang kenop pintu, menangkap basah diriku dan Andrew.
Kini pandangan seisi ruangan jatuh pada kami berdua. Andrew menggosok kepalanya sambil terkekeh malu, memperlihatkan senyum polos tak bersalah. Dibanding dengannya yang tak tahu malu, wajahku sudah memerah sepenuhnya.
"Halo Rebecca," sapa William datar, "dan Andrew."
Kini aku menundukkan kepala sedalam-dalamnya, setelah sempat melihat ekspresi ibu yang melotot menatapi kami.
"Aku sempat menemukannya terpisah saat kalian kejar-kejaran dalam desa," William meneruskan penjelasannya, seolah tidak menyalahkan kami yang tengah menguping pembicaraan sama sekali, "Mereka hampir menangkapnya, tapi entah mengapa mereka saat itu pula mereka mendadak terburu-buru kembali ke markas."
Kini tatapan semua orang kembali terpusat pada William, tak menghakimi kedua bocah nakal yang ingin mengetahui rahasia mereka.
"Aku dan Will selalu melacak keberadaan pasukan itu, tapi mereka tak kunjung muncul, hanya ada jejak-jejak tak jelas, sampai mereka muncul dan mengejar kalian." Kini Hitoshi menambahkan.
"Akhirnya setelah menemukan anak ini, aku memutuskan untuk mengikuti mereka dan tak sempat menyisihkan waktu untuk menemui kalian. Tapi hasilnya setimpal, tahu siapa pemimpin mereka? Barabab. Ia mengumpulkan mereka untuk menyampaikan misi mereka yang baru, meledakkan Krakatau." Kata-kata William jatuh bergema di udara.
Untuk sesaat semua orang menyimak kata-katanya, dan beberapa dari tim kami mengenang kembali peristiwa di gurun sebelumnya. Kini, setidaknya Marthin dan yang lainnya tahu bahwa William sempat menyelamatkanku di Siwa. Andrew yang berdiri di samping bahkan berbisik, "Kenapa kau tak bilang-bilang sebelumnya?"
Aku tak meladeninya.
"Tunggu, siapa katamu? Barabab? " Marthin melotot menatapi William, seolah dirinya salah dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rescued [Edisi Revisi]
Ciencia FicciónMungkin, kau tak benar-benar mengenal orangtuamu.... Mungkin, kau tak tahu apa yang benar-benar terjadi di dunia ini... I was saying maybe. MAYBE.