Bab 8 OASE

27 9 8
                                    


Kami sampai di sebuah daratan cekung yang menjorok ke bawah dua jam kemudian- setengah jam lebih cepat dibanding perkiraan.

Oase kering.

Sebetulnya ada beberapa batang pohon palem yang tumbuh di sekitarnya, namun sekarang semuanya mati kekeringan dengan mengenaskan.

Kami semua turun. Matahari baru saja muncul dari peraduannya saat kami tiba, dan pemandangan ini langka Berapa orang yang memiliki kesempatan untuk menonton matahari terbit di padang gurun sekali dalam seumur hidup mereka?

Aku tak pernah bermimpi bisa sampai di Sahara, melihat matahari terbit, sayangnya bukannya demi berlibur, namun melihat bencana kekeringan di oase ini.

Amat disayangkan.

Aku mengikuti langkah Paman San yang memimpin paling depan, lalu Yena, lalu Venessa, Andrew, aku dan yang terakhir Marthin.Ia bagai tameng yang menjaga kami berdua dari belakang- kalau saja ada kondisi mendadak.

Paman San berjalan sambil menekan-nekan tanah di depannya dengan kaki, seolah ia takut di langkah selanjutnya tanah akan ambruk sewaktu-waktu.

Setelah sampai di titik tepat tengah-tengah oase, Paman San barulah yakin kalau tanah ini aman untuk kami jelajahi.

"Hati-hati kalau ada binatang yang tersembunyi dalam pasir," pesannya.

Kemudian ia berjongkok, mengambil segenggam pasir di tangannya, mengamatinya pelan-pelan. Kulihat Yena malah mengelilingi lingkaran oasis ini, seolah sedang menghafal denah geografis daerah ini. Sedangkan Venessa ikut mengamati bagian tepi oasis ini, demikian juga dengan Marthin.

Sementara diriku dan And berdiri kebingungan di tempat semula, tak tahu harus bagaimana. Akhirnya, aku mengikuti Andrew yang memutuskan untuk berjalan ke tempat dimana Marthin sedang mengamati sesuatu.

Saking silaunya sinar matahari ketika masuk langsung ke dalam mata, fokus langsung terbuyarkan. Namun selain matahari yang terlalu terik, sebetulnya pemandangan di sekitar teramat menawan.

Terbitnya matahari di gurun nyatanya sangat indah. Ketika aku tengah bengong terpana dengan sunrise, hingga tiba-tiba Paman San bersiul dan menyita perhatian semua orang. Kami segera menuju ke tempatnya berdiri dengan tergesa-gesa. Marthin yang pertama tiba, kemudian membantunya menggali lubang. Yang lainnya berlari tergesa-gesa dan ikut menggali.

Ketika aku dan Andrew tiba, Paman San telah berlari ke arah mobil dan kembali sembari membawa cangkul. Marthin mengambil cangkulya dari tangan Paman San, lalu menggali lebih dalam.

"Venessa," Paman San memberi suatu isyarat pada Venessa.

"Oke." Jawab Venessa patuh.

Sementara Paman Marthin menggali lubang hampir sedalam kuburan, Venessa mengutak-atik laptopnya. Kami yang lain, berdiri dalam diam sambil memerhatikan.

"Ada sesuatu. Kedalamannya kurang lebih masih dua meter. Teruskan, Marthin."

Tanpa aba-aba Andrew berlari ke mobil, lalu kembali dengan sebuah cangkul di tangan. Ia melompat turun dan mulai membantu menggali.

Setelah mereka menggali lama sekali- ketika Andrew mulai berhenti beberapa kali dan mengelap keringatnya yang bercucuran di seluruh tubuh, akhirnya tampaklah sebuah dasar yang terbuat dari baja. Baja tersebut berwarna abu-kehitaman, namun di bawah matahari yang terus meninggi dan bersinar terik, pantulan cahaya baja mudah dibedakan dengan pasir.

"Ada lantai di bawah oasis?" tanyaku nyaris tak percaya.

"Bukan lantai, tapi atap." Paman San menjawab.

Aku menatapinya sambil mengangkat sebelah alis, namun Paman San hanya membalas dengan tatapan yang seolah berkata: lihat saja. Tanpa bermaksud mengganggu konsentrasi mereka, kuputuskan untuk melihat dalam diam.

"Masalahnya," kata Marthin, "Bagaimana caranya agar kita bisa masuk ke dalam."

"Pasti ada pintunya."

"Ya, masalahnya pintunya entah ada dimana, disuatu tempat di tengah Sahara." Jawab Marthin.

"Andrew, kau lihat di belakangmu ada batu," kata Paman San sambil menunjuk sebuah batu besar seukuran dua buah bola basket, "Keluarkan batunya."

"Untuk apa?" Tanya Andrew tak mengerti.

"Keluarkan saja."

Maka Andrew berusaha mengangkat kedua batu tersebut dengan susah payah. Sayangnya, batu tak bergeser sedikitpun. Ia menarik, menendang, dan mendorong, namun hasilnya tetap nihil.

Keringat semakin membanjiri tubuhnya ketika ia menyerah, nafasnya terengah-engah.

"Benda sialan i-ni keras sekali!" Ia memukulkan cangkulnya ke arah batu dengan frustasi.

Tak disangka, bebatuan itu samar-samar tergeser. Sedikit, sangat sedikit. Mungkin hanya dua senti.

Tapi, kami semua melihat sebuah harapan. Karena terdapat sebuah lubang di bawahnya!

"Coba pakai ini," Paman San mengeluarkan suatu benda bulat yang tak pernah kulihat dari tasnya, "Ini peledak. Bisa untuk memecahkan batunya."

Andrew menatapi bebola hitam di tangannya yang lebih mirip dengan gantungan kunci dengan mata berbinar, sekaligus gugup. Ia mengerjapkan matanya dengan nyaris tak percaya, kemudian menatapi Marthin dengan penuh kekaguman, seolah ia adalah pahlawan super yang ia tonton di TV.

"Ini asli? Wow, a-aku belum pernah...ini pertama kalinya untukku!"

"Karena ini pertama kali, sebaiknya aku mencontohkannya dulu untukmu," Marthin mengambil kembali granatnya, tak ingin mengambil resiko dengan seorang anak remaja tak berpengalaman.

Andrew tak menolak, ia tahu kata-kata Marthin ada benarnya. Marthin menjelaskan padanya dengan sabar, dan ketika akhirnya mereka berdua keluar dari lubang galian, kami semua sudah menjauh beberapa meter jauhnya.

Aku telah bersiap-siap menutup telinga rapat-rapat ketika itu. Ketika akhirnya Marthin melemparkan peledak dengan sepenuh tenaga ke dalam lubang, beberapa detik kemudian terdengar ledakan yang nyaris memekakkan telinga di sepenjuru area.

Batunya pecah, dan serpihannya terlempar kemana-mana. Marthin, Yena, bahkan Andrew langsung melompat turun ke bawah sana. Mereka berlutut mengamati lubang di bawah.

"Kelihatannya tak ada oran,." Andrew berkomentar.

"Aku turun dulu," kata Marthin sambil menatapi Paman San, seolah tengah meminta izin, "Mengecek keadaan bawah sana."

Paman San mengangguk sambil berpesan : "Hati-hati."

Rescued [Edisi Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang