Ternyata ini rasanya jadi gelandangan.
Asing, tak punya tempat berlindung tetap, kesepian. Bahkan kami hanya dapat mi instan sebagai makan malam. Rasanya tak ada yang pasti dengan kehidupan sekarang ini.
Pindah dalam kurun dua hari berturut-turut, aku sama sekali tak perlu berkemas.
Sampai larut malam, semua orang tak beristirahat. Ruang utama masih sesibuk saat sore tadi, seolah tengah mengejar waktu. Lewat tengah malam, aku menyelinap diam-diam ke dalam kamar dan merebahkan tubuh.
Kasur sekeras papan pun terasa nyaman ketika keletihan bertumpuk. Empat jam kemudian aku bangun dengan kepala pening berputar, kantung mata menghitam dan otak yang tersendat. Aku kacau balau.
Ibu datang untuk membantuku mempersiapkan segala macam hal. Aku ragu apakah ia tidur malam itu.
Semua anggota tim sudah menunggu ketika aku dan Andrew turun. Begitu melihat kami, mereka semua langsung berjalan keluar dengan hening, lalu menaiki sebuah pesawat kecil yang terparkir di luar gedung.
Ayah muncul ketika di samping pesawat, menunggu kemunculanku dan Andrew. Ia menyematkan sebuah kotak hitam kecil di punggung kami, sebuah radar GPS. Jadi katanya, ia bisa melacak keberadaan kami sewaktu-waktu.
Sebuah pelukan singkat dan keras kami lontarkan satu per satu, sebelum akhirnya mesin pintu pesawat menutup dan sosoknya semakin mengecil hingga hilang menjadi titik dalam sekejap.
***
Perjalanan dengan pesawat militer jauh berbeda dengan duduk di pesawat komersial pada biasanya.Sayangnya, aku tak henti-hentinya menguap.
Masing-masing sibuk dengan kegiatan sendiri, tak ada yang berbicara. Marthin yang lagi-lagi duduk di kursi co-pilot duduk bersandar sambil memejamkan matanya. Ia sama sekali bukan co-pilot, hanya tengah menyia-nyiakan tempat duduk depan itu dengan tidur. Paman San sendiri duduk santai sambil membaca-baca majalah, seolah ia sedang liburan.
Venessa sedang sibuk dengan laptopnya, sementara Yena sibuk memberi tanda pada selembar peta besar di atas meja.
Hanya suara halus mesin yang menghiasi perjalanan kami, dan sesekali laporan via radio sang pilot- Paman Sam. Suasana seperti ini terlalu mendukung untuk tidur, bahkan ketika kau tak ingin. Kulirik sekilas pada Andrew, ternyata putri tidur itu telah tengah mendengkur. Setelah memerhatikan suasana yang terlalu hening selama beberapa lama, maka aku pun tak segan-segan lagi memejamkan mataku.
Aku bangun ketika sebuah goncangan pelan menggoyang kedua bahuku. Untuk sesaat, aku tak tahu aku sedang ada dimana dan siapa wajah asing yang muncul di hadapanku ini. Namun sedetik kemudian, seluruh memori melesat kembali masuk ke dalam pikiranku.
"Yena," sapaku lemah.
"Nah nah, bangun, Becky. Kita sudah hampir sampai," sela Marthin ketika berjalan melewatiku.
"He-eh," jawabku sambil mengangguk-angguk.
Diluar jendela, langit masih juga gelap gulita. Memangnya sudah berapa lama kami terbang?
"Becky, ke sini," panggil Paman Marthin.
Aku baru sadar kalau semua orang telah berkumpul mengelilingi meja di tengah pesawat. Aku bangkit dari kursi dan berjalan terburu-buru ke arah mereka.
"Sebelum turun, aku mau ulang sekali lagi tentang rencana kita. Begitu turun, kita akan naik jeep dan sampai ke oase dalam waktu dua setengah jam. Kusarankan kita semua berhati-hati karena kita tak tahu ada apa sebenarnya disana." Pesan Paman Marthin.
Aku tak tahu apa yang kulewatkan, namun semua orang mengangguk-angguk setuju, lalu mengambil ransel masing-masing dan menunggu hingga pesawat benar-benar berhenti.
Ketika pintu membuka, pemandangan di luar jauh lebih gelap dibanding yang terlihat dari jendela. Penerangan hanya berasal dari lampu pesawat dan sinar lampu dua buah jeep di bawah yang sudah menunggu.
Begitu melangkah keluar dari pesawat, udara dingin langsung menusuk ke tulang-tulang.
Paman Marthin naik ke jeep pertama yang diikutiku dan Andrew. Sementara Yena, Venessa dan Paman San naik jeep kedua.
Paman Sam- sopir setia UNS, langsung melesat kembali ke markas begitu kami semua turun.
"Thanks bro. Kalian sudah menunggu lama?" kata Paman Marthin pada sang supir yang telah mengantarkan jeep. Para sopir kedua jeep kali ini merupakan pria dari ras negroid. Sekitar masih terlalu gelap untuk mengenali wajah mereka, namun dari penerangan sekadarnya, sosok mereka terlihat kurus yang dilapisi kain tebal-tebal dan berusia hampir mencapai pertengahan abad.
"Tak perlu berterima kasih begitu. Kami tak menunggu lama, bahkan ketika pesawat kalian sudah melandas, kami baru sampai. Hah, aku masih mengira kami yang akan terlambat." Jawab sang sopir dengan gigi-gigi besarnya.
"Sekarang disini jam berapa, Pak ?" Tanya Andrew penuh penasaran.
"Ha? Disini...sekarang hampir jam 4 pagi."
"Apa? Sekarang disini hari Rabu kan?" Lanjut Andrew.
"Yes, sekarang hari Rabu hampir jam 4 dini hari." Tegas sang supir.
"Tadi kami berangkat jam 4.30, sampai disini baru jam 4!" Andrew mulai heboh, "Ini sih jetlag namanya."
"Masa begitu saja jetlag." Canda si sopir.
"Kalau begitu kami berangkat dulu," sela Marthin, menyudahi percakapan dengan terburu-buru.
"Oke, semoga sukses."
Mobil kami pun melaju meninggalkan dua orang supir di tengah kegelapan.
"Hah, pak supir itu tak ikut? Ditinggal disana begitu saja?" Tanya And.
"Mereka masih punya caranya sendiri." Jawab Marthin santai, "Becky mana? Sedari tadi aku tak dengar suaranya?" Tanya Paman Marthin mendadak.
"Di-disinii" Jawabku dengan suara yang kutahan-tahan.
"Ah, apa kau oke?"
"Oke-h." Jawabku lagi sesingkat mungkin.
Marthin membalikkan badannya dan menangkap basah kalau aku tengah menggigil.
"Ddi-nginn." akhirnya aku mengakui.
Marthin menyetir sambil meraba-raba sesuatu di bawah kursinya, yang kemudian ia tarik dan lemparkan padaku.
"Bisa kau pakai."
Benda itu ternyata karpet berbulu khas Afrika. Aku menerimanya tanpa berkomentar apapun. Suhu menggigil seperti ini mirip suhu bulan November di kota lamaku. Orang-orang mengenakan sweater, kaos kaki bulu kambing, topi dan syal.
Kenapa Andrew dan Marthin diam saja? Apa ada yang salah dengan kulitku? Atau kulit mereka dibuat dari tembok?
Sekali kuingat-ingat, pagi ini Marthin mengenakan jaket kulit besar miliknya yang agak kotor- khas habis perang dari hutan Amazon. Jelas saja ia tak kedinginan.
"Mau juga?" kubisikkan tawaran karpet ini pada Andrew.
"Lemah." Ledeknya dengan sok, lalu cepat-cepat menarik karpet ini sehingga terlentang menutupinya juga.
Mobil kedua berada beberapa meter di belakang sebelah kiri mobil kami. Dalam kesunyian, mobil kami meninggalkan pasir debu yang berterbangan terkena roda mobil di belakang kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rescued [Edisi Revisi]
Bilim KurguMungkin, kau tak benar-benar mengenal orangtuamu.... Mungkin, kau tak tahu apa yang benar-benar terjadi di dunia ini... I was saying maybe. MAYBE.