Sore berikutnya, Andrew menarikku ketika orang-orang berkumpul di aula utama. Kami tidak turun, tidak ikut membaur di dalamnya, namun memerhatikan setiap gerak-gerik dari lantai atas sini. Kini, tak ada yang menyadari keberadaan kami berdua.
Termasuk ayah maupun ibu.
Mereka berdua merupakan salah satu bagian dari keramaian, bolak-balik memastikan sesuatu dengan Marthin maupun William. Semua orang terlalu sibuk untuk memerhatikan kami, maupun suara mesin yang samar-samar terdengar semakin jelas dari luar sana.
Sepertinya Paman Sam baru tiba dengan pesawat jetnya. Tak ada yang aneh, siapapun akan terbiasa mendengar suara mesin monster disini.
Tanpa menoleh, aku hanya terus memerhatikan keramaian di lantai bawah. Ibu mengambil sebuah gulungan peta di tangannya, kemudian diberikannya pada Paman Sam.
Paman Sam.
Tunggu dulu, Paman Sam berada di antara kerumunan yang sibuk dan ribut. Itu artinya, seluruh anggota UNS tengah berada di bawah sana.
Aku menoleh ke luar jendela, dan pemandangan sebuah pesawat putih raksasa mendarat tak jauh dari gedung tertangkap di mata. Pesawat yang besar dan berwarna putih sepenuhnya, namun bukan milik UNS.
Andrew juga telah melihat sosok monster putih yang mendarat sebelum aku sempat mengatakan apapun. Meski mesin pesawat yang saking halusnya hanya bagai pusaran angin, namun ketika bobot berpuluh-puluh ton tersebut mendarat, tetap mengeluarkan suara bedebum yang mengejutkan.
Kini, perhatian seluruh isi markas tersita oleh suara tersebut. Orang-orang mulai menoleh ke arah jendela, beberapa diantaranya langsung melihat melalui rekaman kamera di layar raksasa.
Dari pesawat yang terdiam itu, barisan berseragam hitam lengkap dengan helm yang menutupi kepala mereka keluar dengan senapan di tangan.
Aku dan Andrew terperangah.
"Bersiap!"
Marthin berteriak, lalu berpaling dan berlari menyusuri koridor lantai bawah.Dalam sesaat, orang-orang sibuk berlarian, bagai anak semut yang kehilangan sistem jaringan mereka, menuju ke segala arah.
Marthin keluar dengan sebuah senapan panjang di tangannya, kembali ke ruangan dengan langkah pasti. Kini semua orang memegang senjata api di tangan mereka, lalu berdiam dan menunggu.
Kini setiap tarikan nafas dalam ruangan terdengar jelas. Waktu terasa membeku.
"Haruskah kita mencari pistol juga untuk masing-masing?" Bisik Andrew, kini tangannya berkeringat dingin, terus mengusap kaos bajunya.
Aku mengangguk. Tapi meskipun jika kami punya, memang kami bisa menggunakannya? Kami tak pernah melihat benda hitam itu selain di layar televisi sebelumnya.
Hingga Marthin menengadah dan melihat kami berdua, ia sempat menahan nafas. Seolah baru ingat akan dua kucing peliharaannya yang masih tertinggal, ia melotot.
"Andrew! Becky!" Dirinya nyaris meneriakkan nama kami.
Setelahnya, kini semua pasang mata jatuh pada kami, melotot begitu mendapati kami nyaris dilupakan. Marthin melambaikan tangannya, memberi tanda agar kami turun ke arahnya sesegera mungkin.
Kami menurut.
Hanya saja dengan suasana membeku dan sosok-sosok putih tersebut semakin mendekat di luar jendela, jantungku berdetak kencang tak terkendali.
Aku menggenggam tangan Andrew- untuk pertama kalinya, setelah kami bertengkar setiap harinya sebelum dan sepulang sekolah. Namun detik ini berbeda, seolah kapan saja kami dapat berubah menjadi anak rusa di tengah hutan yang diburu kapan saja. Peluru mana pun dapat melesat dan menembus daging kami ketika berlari menuruni tangga detik ini.
Andrew menggandengku erat, takut-takut kalau aku terlepas. Tentu saja langkahnya besar, larinya lebih cepat, dan aku bisa saja sudah ditinggalnya sedari tadi jika ia tak menarikku.
Suara langkah kaki diluar yang berat dan berirama terdengar semakin jelas, bagai jarum jam yang tengah menghitung waktu.
Seisi ruangan hening, mengawasi langkah kami sambil menahan nafas. Wajah ibu putih pucat, namun ia tetap tak bersuara.
Diam-diam ayah melangkah maju, hendak menyambut kami.
Kami tak lagi jauh. Berhasil menuruni setiap anak tangga, kini hanya tersisa beberapa meter yang perlu kami seberangi sebelum mencapai yang lainnya.
Hanya saja suara langkah kaki di luar terlalu dekat.
Pintu terbanting terbuka ketika Andrew menarikku melesat dari depan tangga.
Hanya sedetik setelah suara bantingan berdebum itu, aku bisa melihat titik merah yang jatuh di punggung Andrew, kemudian satu lagi di lengan kaosku.
Laser tembak.
"Jangan bergerak!" salah satu dari pasukan tersebut berteriak.
Sontak langkah kami berdua terhenti.
Di depan, setiap pasukan tengah dalam posisi menengadahkan senapan mereka ke dalam ruangan. Dua diantaranya mengarahkannya tepat ke kepala kami.
"Sialan," umpat Andrew diam-diam.
"Andrew! Becky!"
Terdengar suara ayah dari belakang, namun tak ada salah satu pun dari kami yang berani menoleh. Hal berikutnya yang kutahu adalah, ayah munculi tepat di samping kami, menodongkan senapan kembali ke arah mereka.
Lalu, ia maju selangkah ke depan kami,
Kini kedua titik merah tersebut berpindah ke tubuhnya. Keadaan tak berubah jadi lebih baik.
Baik laser itu tertuju ke tubuh kami berdua atau ke atas tubuhnya, aku tak memilih keduanya. Melirik sekilas, di belakang semua anggota UNS tengah menodongkan senjata api mereka ke pintu depan, sementara pasukan di depan juga seolah siap menembak kapan saja.
Dan kami bertiga yang berdiri di tengah akan menjadi sasaran empuk jika satu saja peluru meluncur.
Mendadak dari antara pasukan itu muncul sesosok yang berperawakan tinggi besar. Para pasukan tersebut membuka jalan untuknya, dan ia memasuki markas dengan gagah.
"Kalian ditahan atas nama UN." Suaranya terdengar lantang.
"Kami tak bersalah." Jawab Ayah.
Orang besar itu menatapi Ayah, untuk sesaat ia terlihat kaget. Ia menatapi Ayah lama sekali, sementara Ayah juga melihat lurus ke matanya.
"Tangkap mereka."Para pasukan menaati perintahnya, berlari memasuki ruangan mengepung setiap sosok kami. Mendadak- entah sejak kapan, William dan Hito melompat turun dan melayangkan tinju pada beberapa diantara pasukan berpakain putih-putih tersebut, memulai keributan di ruangan. Kekerasan tersebut menular, beberapa pasukan berpakaian putih tersebut turun tangan menghajar William- yang meski kesulitan menghajar sosok keras itu. Dalam sekejap, suasana benar-benar kacau. Bahkan terdengar beberapa kali suara tembakan.
Beberapa pasukan yang berusaha menarikku atau Andrew dihalangi ayah. Kini, bahkan Andrew mendorongku ke belakang tubuhnya.
Sosok pria bertubuh besar itu berjalan mendekat, lalu berhenti sebelum mencapai kami.
"Jangan menembak!"
Beberapa peluru sudah sempat dilancarkan sebelumnya.
"Hentikan!"
Kini seluruh pasukannya benar-benar berhenti. Dan bersamaan dengan itu, keributan perlahan berkurang, hingga akhirnya benar-benar hening.
Hingga tak ada yang bergerak sedikit pun, barulah ia melanjutkan perkataannya: "Kalian benar-benar harus rela ikut dengan kami. Atau UN bisa mengirimkan lebih banyak pasukan datang, dan mungkin saja menghancurkan gedung rongsok ini hingga ke sisa-sisanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rescued [Edisi Revisi]
Fiksi IlmiahMungkin, kau tak benar-benar mengenal orangtuamu.... Mungkin, kau tak tahu apa yang benar-benar terjadi di dunia ini... I was saying maybe. MAYBE.