Tulisan "WELCOME TO ONGOR" perlahan makin jauh tertinggal di belakang, mengecil hingga akhirnya menjadi satu titik putih yang tak lagi tertangkap mata. Kami berada di jalur asing yang kendaraannya semakin jarang. Entah kemana ia membawa kami, yang pasti semakin menjauh dari kota.
Perjalanan memakan waktu hampir satu setengah jam, hingga ia kanan dan kiri jalan sepenuhnya jadi penuh dengan pohon rimba nan lebat, dan ia berbelok ke sebuah jalan bertanah merah yang nyaris tak mencuri perhatian sama sekali.
"Memang mobil ini muat lewat jalan ini?"
Pertanyaan Andrew terjawab dengan mulusnya jeep hitam satu ini melesat, melompat dan mengocok seluruh isi lambung kami di atas jalan berlubang. Setelah kurasa aku bisa muntah meski belum makan, akhirnya Paman Marthin menghentikan mobil di sebuah lapangan kosong yang dipagari kawat tinggi dan terdapat papan peringatan "!!!DILARANG MASUK!" di atasnya.
"Tempat apa ini?" And tak tahan untuk bertanya.
"Untuk apa kami kesini?" Tambahku.
Paman Marthin melompat turun dari tempat kemudi, lalu melambaikan tangan mengisyaratkan agar kami mengikutinya.
And turun tanpa berkomentar, sementara aku enggan. Dibanding hendak membawa kami mencari orang tua, Paman Marthin lebih terlihat seperti hendak menyelundupkan kami ke antah berantah.
Atau, ia bisa saja membunuh kami disini dan takkan ada yang tahu.
"Ikuti aku, Becky!" Desak Paman Marthin tak sabaran.
Menepis semua kemungkinan itu, akhirnya aku melompat turun. Paman Marthin berjalan memimpin di depan tanpa ragu menuju pagar kawat, memasuki area terlarang itu melalui bagian bawah pagar yang berlubang besar. Aku dan And mengikutinya dalam diam, menyusuri tanah berpasir dalam diam.
Saking heningnya tempat ini, selain suara gesekan sepatu kami dengan pasir, samar-samar terdengar suara kodok, jangkrik, dan kadang detak jantungmu sendiri terdengar. Hutan ini bisu, dan aku sama sekali tak punya firasat baik kemana ia membawa kami.
Ia memang teman orang tuaku, satu-satunya orang yang dapat kami percayai untuk mencari ayah dan ibu. Tapi jangan lupa satu hal, kami baru mengenalnya semalam. Mengikutinya lebih dalam sama dengan menggantungkan nyawa sepenuhnya di tangannya.
Kami mengikutinya berjalan menerobos semak-semak, melewati seekor python yang menggulung di salah satu dahan beringin, bangkai seekor anak burung yang mulai membusuk.
Hingga aku hampir memprotes, semak dan lebatnya pepohonan ini berakhir, sebuah titik terang membawa kami pada sebuah tanah kosong seluas lapangan sepak bola. Di titik tengah, terparkir sebuah helikopter.
Sebuah helikopter, aku tak salah lihat.
Aku dan And pasti melongo bodoh, karena Paman Marthin terkekeh sendiri begitu membalikkan badannya menghadap kami.
"Bagaimana, suka?"
Baik aku maupun And kebingungan, tapi kemudian And samar-samar menganggukkan kepalanya.
Paman Marthin puas, lalu melangkah besar-besar ke mendekati helikopter tersebut, kemudian melemparkan ransel bawaan milikku dan And yang telah dibawanya sebelumnya ke dalam.
Aku dan And tak punya pilihan lain selain mengikutinya, namun pikiran dan tubuhku terasa tak menyatu.
Menaiki sebuah helikopter di tanah asing? Kami lebih mirip penyelundup. Atau Paman Marthin memang ingin menyelundupkan kami?
"Gerakan kalian jangan lelet begitu," Paman Marthin menjulurkan kepalanya keluar dari jendela pilot, melambai pertanda agar kami mempercepat langkah kaki.
"Bagaimana kalau dia bohong?" gumamku sepelan mungkin pada And.
Ia terlihat tak seragu diriku, namun And tetap terdiam sesaat sebelum menjawab, "Ikut saja dulu."
Baling-baling sudah berputar kencang ketika akhirnya kami naik. Kecil dan sempit, itu kesan pertama. Berbeda dengan naik pesawat di setiap liburan semester, duduk di dalam helikopter terasa lebih serius. Sejak kami mengudara, Paman Marthin tak henti-hentinya berbicara dengan speaker. Ia terus sibuk dengan saluran radio, melapor tiap beberapa menit sekali.
Entah kemana arah tujuan kami, namun aku yakin kami telah meninggalkan kota tempat tinggal kami, menuju pulau lain.
Pertama kalinya melihat kota tempat tinggalmu sendiri dari udara, seolah menguak salah satu sisi yang tak pernah kukenal sebelumnya. Tanpa sadar, kami telah meninggalkan Ongor dan bahkan meninggalkan Pulau Bonju, daratan yang telah kami kenal seumur hidup ini.
Jauh, asing dan rindu.
Aku meliriki And, dan yang mengejutkan adalah, raut wajahnya berbanding terbalik denganku.
"Keren, aku jadi seperti James Bond dengan misi rahasia."
Aku memutar bola mata, membuang muka ke luar jendela. Tidakkah anak satu ini memperkirakan bahwa kami mungkin saja sedang diculik?
Setelah terbang seberapa lama, Paman Marthin mulai menurunkan ketinggian kami, dan perlahan kami mendarat di sebuah pulau kecil. Pulau ini berupa hutan tropis, dengan pepohonan nan eksotis yang belum tersentuh manusia.
Mudah saja bagi Paman Marthin untuk meninggalkan kami disni dan membiarkan kami digigit ular berbisa atau dimakan harimau. Semakin sering kemungkinan ini terngiang di pikiran, aku semakin tak tenang. Beda jauh dengan adik bodoh satu itu yang malah semakin bergairah.
"Paman, ayah dan ibu ada disini?"
"Tentu tidak. Kita hanya singgah sebentar untuk berganti transportasi yang lebih canggih," jawab Marthin bangga.
Semakin banyak yang diperlihatkan Paman Marthin, And semakin berbinar-binar. Semakin And tertarik, semakin bangga Paman Marthin.
Rasanya aku mulai memahami pola pikir laki-laki. Keluarkan saja transportasi keren, dan lihat ekspresi mereka.
Tanpa basa-basi, Paman Marthin membawa kami turun lagi, masuk dan menyusuri hutan yang ada di depan. Berbeda dengan sebelumnya, rasanya hutan ini mampu menelan kami di dalamnya dan takkan mampu menemukan jalan keluar selama sepuluh tahun kedepan. Pohon-pohon disini punya batang raksasa, akar menjulur luar biasa, dan bahkan dedaunan di atas dahan terlihat tak tercapai oleh manusia.
Berjalan di dalamnya, tempat ini terasa terlalu tidak nyata. Bahkan dalam pelajaran geografi sekali pun, aku tak pernah membaca tentang keberadaan pulau seperti ini. Tak mirip dunia tempat tinggal manusia.
Setelah mesin helikopter dimatikan, suara hutan ini terdengar semakin jelas. Suaranya berupa gema-gema kodok raksasa, desiran dedaunan yang berisik, serta erangan mesin raksasa lain yang tersembunyi dibaliknya.
"Anak-anak, selamat datang di Base Camp rahasia militer persatuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rescued [Edisi Revisi]
Ficção CientíficaMungkin, kau tak benar-benar mengenal orangtuamu.... Mungkin, kau tak tahu apa yang benar-benar terjadi di dunia ini... I was saying maybe. MAYBE.