Adsila Tamana, mahasiswa jurusan tari modern semester 5. Ia adalah kebanggan bagi para dosen, karena selalu membanggakan universitas di bidang nya. Adsila mempunyai tiga sahabat yang selalu mendukung nya, dan hanya mereka teman yang Adsila punya. Karena Adsila termasuk gadis pemalu dan pendiam yang selalu menundukkan kepalanya.
Setelah dua jam menghabiskan waktunya di ruang latihan, Adsila merapikan peralatan nya lalu mengganti baju yang basah karena keringat akibat latihan nya.
"Sil, udah selesai latihan?" Saat selesai mengunci pintu ruang latihan, kedua sahabatnya ternyata sudah menunggu di luar gedung. Begitu melihat Adsila keluar mereka melambaikan tangan dengan senyuman hangat.
Perkenalkan ini Daniel dan Bunga. Mereka adalah sahabat Adsila semenjak SMA, jangan lupakan ada Gavin juga. Sebenarnya, mereka yang mengajak Adsila untuk berteman hingga bersahabat seperti sekarang. Mengingat Adsila tidak pandai bergaul dan lebih suka sendiri, itu menjadi alasan yang tepat bagi mereka mengajak nya berteman.
"Udah, kalian mau kemana?" Tanya Adsila kepada kedua sahabatnya itu.
"Mau ke Cafe yang ada di depan halte kampus. Gavin sama Dinda udah disana" Ucap Bunga lalu merangkul Adsila.
Sebenarnya Adsila enggan ikut, ia cukup lelah berlatih hari ini, dan alasan lainnya Ibu yang overprotektif, tapi Adsila tidak bisa menolak ajakan sahabat nya.
"Yaudah yuk, kasian mereka nunggu kelamaan" Mereka bertiga langsung beranjak dari sana dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang cukup dekat.
Setelah sampai di cafe tersebut, Adsila menawarkan diri untuk memesankan mereka makanan dan minuman. Yang pasti langsung di setujui. Daniel dan Bunga, menuju tempat duduk Gavin dan Dinda berada.
"Mas dua jus alpukat, satu matcha, tiga pancake pake topping ice cream coklat" Adsila memberikan beberapa lembar uang nya. setelah itu ia langsung beranjak ke tempat duduk dimana teman-temannya berada, karena pesanan nya akan di antar.
"Sil tadi Lo latihan sendirian lagi?" Tanya Gavin saat Adsila sudah duduk di kursinya.
"Kapan-kapan Gue temenin jangan latihan sendirian gitu, entar gue ajak temen-temen yang lain" Sambung Dinda pacar Gavin. Gavin pun menepuk kepala pacar nya dengan kasih.
Adsila hanya tersenyum kikuk. Gavin dan Dinda berpacaran sejak masa orientasi mereka menjadi mahasiswa, sebenarnya Gavin sudah menyukai Dinda semenjak SMA, tapi saat itu Dinda sudah berpacaran dengan laki-laki lain, jadilah Gavin mundur. Tapi pada saat ia tau Dinda sudah sendiri Gavin langsung menembak nya tanpa ada persiapan apapun, singkat nya seperti itu.
Setelah habis menyantap makanan nya, Adsila pamit untuk ke toilet. Adsila melihat pantulan nya di cermin lalu tersenyum bersamaan Dinda yang masuk. Dinda mengunci rapat pintu kamar mandi tersebut setelah memastikan tidak ada orang yang akan masuk lagi. Adsila yang takut kembali menenggelamkan kepalanya.
"Lo nggak bilang aneh-aneh sama Gavin?" Tanya Dinda yang masih sibuk mencuci tangan nya, lalu melihat pantulan dirinya di cermin.
"Gue rasa untuk pertandingan bulan depan Lo harus ngundurin diri" Adsila langsung mengangkat kepalanya. Ia akan menyetujui apapun itu asal tidak dalam konteks ballet.
"Kenapa? Nggak mau? Jadi orang tuh nggak usah serakah deh. Selama ini Gue selalu ngalah sama Lo, Gue benci banget kalau Madam Lina udah muji-muji Lo" Dinda menyelesaikan kegiatannya. Lalu beralih ke Adsila, ia mendorong Adsila hingga mundur beberapa langkah.
"Jangan melakukan hal aneh dibelakang Gue apalagi bersangkutan sama Gavin, konsekuensi nya, jangan harap Lo bisa ballet lagi!" Dinda langsung pergi dengan seringai nya.
Adsila menyeka air mata yang entah kapan sudah turun, ia mencoba menenangkan dengan mengatur napasnya, lalu segera keluar dari toilet seraya menguncir rambutnya tapi ia menabrak seseorang karena ketakutannya.
"Ah maaf, saya nggak liat" Adsila menundukkan badannya lalu segera pergi.
"Kuncir rambutnya" Ucap laki-laki itu tapi Adsila tidak mendengar nya.
"Gue duluan ya, have fun" Adsila segera mengambil tas yang digantung di sisi kuris, lalu berlari keluar secepat mungkin. Ia tak mau teman-teman nya melihat dirinya menangis.
"Adsila kenapa Din?" Tanya Daniel.
"Kok Lo tanya gue? Mungkin dia ada latihan lagi kali" Balas Dinda santai.
Adsila menyeka air mata nya berkali-kali. Sedikit flashback saat masa SMA nya, Adsila tidak tau mulai dari mana. Saat itu ia pulang memenangkan kompetisi Ballerina untuk sekolah nya, tapi sebelum kompetisi itu mereka harus menjalankan seleksi. Yaa kalian bisa menebak nya, Dinda kalah saat seleksi melawan Adsila, lebih tepatnya selalu kalah. setelah itu Dinda mulai menganggu Adsila. Terlebih ada saat dimana, Bunga, Daniel, dan Gavin mereka mengikuti kejuaraan yang mengharuskan meninggalkan sekolah beberapa hari.
Di mulai hari itu Dinda yang tadinya menganggu hanya saat latihan Ballet menjadi setiap saat, saat di kelas, kantin, kadang di luar sekolah. Adsila tidak bisa membalas nya ataupun memberi tau siapapun, ia terlalu takut.
Tin!tin!tin
Suara Klakson mobil itu menyadarkan dari lamunan nya. Pemilik mobil itu berhenti lalu segera keluar dari mobil nya.
"Ini kuncir rambut nya, tadi Gue panggil di toko itu Lo nggak denger" Pria itu memberikan kuncir rambut berwarna hitam itu, Adsila segera mengambil tanpa melihat pria itu sedikitpun lalu segera pergi.
"Nggak mau bilang makasih?" Teriaknya, Adsila segera berbalik.
"Ah maaf-maaf, makasih yaa, maaf sekali lagi. Harusnya langsung buang aja, nggak perlu repot begini" Laki-laki itu tersenyum melihat tingkah gugup Adsila, lalu ia memberikan sapu tangan nya. Adsila yang bingung mengangkat kepalanya.
"Buat seka air mata Lo" Adsila menundukkan kepalanya lagi.
"Ma-makasih, saya duluan" Adsila segera berlari meninggalkan laki-laki tersebut.
"Nggak mau kenalan?" Adsila tidak mengindahkan ucapan laki-laki tersebut.
"Gue Alvez! Salam kenal" garis tipis tersenyum dibibir laki-laki itu. Ia melihat semuanya, dari perlakuan perempuan yang keluar pertama dari toilet sampai melihat Adsila menangis di tepi jalan.
.
.
.
Huhuhu, satu part selesai! Vote and coment jangan lupa bebs
KAMU SEDANG MEMBACA
Desistir
Teen FictionAdsila Tamana, seorang gadis yang tidak pernah menyuarakan isi hati nya. Adsila selalu setuju dengan semua keputusan orang-orang di dekatnya, ia takut bila menolak akan terjadi keributan atau masalah karena keputusan dari diri nya. Sampai Alvez lak...