6

25 4 0
                                    

Alvez berjalan menyusuri koridor sekolah nya. Beberapa pasang mata melihat ke arahnya, yaa dia mulai terbiasa dengan itu, karena ini bukan pertamana kali nya ia pindah sekolah. Bukan, bukan tatapan kagum karena ketampanannya atau aura good boy. Tapi karena ia terlalu aneh.

Rambut yang sedikit panjang, memakai topi hingga menutup sebagian wajah, kaca mata kotak yang tebal, baju dan celana oversize, serta aura yang seolah mengatakan "Jangan mendekat".

Bel pertanda masuk sudah berbunyi, laki-laki itu segera bergegas memasuki kelas baru nya itu. Walaupun sesekali ia terdorong oleh beberapa orang karena berlari.

"Baik anak-anak perkenalkan ada anak baru di sekolah kita, saya harap kalian bisa berteman dengan baik. Untuk perkenalan silahkan lakukan sewaktu istirahat karena hari ini saya akan mengadakan ulangan. Alvez kamu bisa duduk" Alvez pun melihat sekitar mencari tempat duduk kosong, ya dia menemukan tempat yang bagus. Paling belakang dekat jendela, sangat cocok untuk dirinya.

Selagi wali kelasnya menjelaskan beberapa hal sebelum ulangan lagi-lagi Alvez melihat sekeliling nya, tapi pandangan nya terpaku kepada seorang gadis yang duduk di bangku paling depan, tatapan nya kosong. Seperti memperhatikan tapi pikiran nya tidak disini.

Kringg!

Beberapa temannya sudah pergi ke kantin. Tenang diantara mereka ada yang mengajak Alvez, tapi Alvez lebih suka sendiri. Saat akan beranjak dari kursi nya ia melihat gadis itu masih duduk termenung. Sampai akhirnya ada beberapa gadis dari kelas lain menghampirinya lalu menarik paksa keluar.

Alvez mengikuti para gadis itu, dan akhirnya sampai di belakang sekolah.

"Gue udah berapa kali bilang sama Lo buat berhenti ikut ekskul ballet! Lo mau nantangin Gue atau gimana si?! Di sekolah ini pelindung Lo lagi pergi jadi jangan berharap ada yang nolongin Lo!" Para gadis itu menuangkan beberapa cairan ke atas kepala perempuan yang di tarik nya keluar, ia hanya bisa pasrah, ia menangis meminta ampun. Tapi tak di dengarkan malah makin menjadi. Yang lain hanya menertawakan puas dengan tindakan mereka.

Alvez yang tak tahan ingin keluar dari persembunyiannya, ia ingin menolong gadis itu. Tapi saat ingin keluar dari tempat persembunyiannya ia merasa seperti ada yang menahannya, ia tidak bisa melangkah. Alvez mengumpat dirinya sendiri lalu berlari menjauhi tempat itu.

Alvez mengatur napas nya lagi, pengecut sekali dirinya. Alvez menangis, kejadian itu terulang di kepalanya, mengapa ia tidak bisa membantu gadis itu? Alvez memukul dirinya sendiri dengan segala umpatan kebencian pada dirinya sendiri.

"Berhenti mukul diri sendiri"

"Kalau Lo takut, Gue rasa itu nggak akan mengubah apa yang udah terjadi. Kecuali Lo penjelajah waktu, mungkin bisa" Seorang perempuan duduk disamping nya. Ini lebih memalukan sepertinya, menangis di depan seorang gadis yang bahkan ia tak tau nama nya.

"Nih buat Lo, tadi ada yang ngasih buat Gue, sayang nya Gue benci matcha. Daripada dibuang kasian dia udah ngeluarin uang, Gue harap Lo suka matcha, ah satu lagi Gue harap Lo suka dengan diri Lo sendiri. Bye"

_____

"Woy lagi ngapain bengong aja!" Bunga membuyarkan lamunannya.

"Gimana kemarin kencan sama Adsila? Berhasil nggak?" Tanya Bunga sok akrab. Alvez hanya diam, ia masih memikirkan masa lalu nya.

"Kayak nya nggak... Nih Gue kasih tau beberapa hal tentang Adsila. Ehem, Dia itu lebih suka hal sederhana, anak nya nggak aneh-aneh. Adsila itu gampang tersentuh sama hal kecil, dia pemalu buat menyatakan perasaan nya, Gue rasa Lo tau itu, ah! dia suka banget sama matcha nggak ngerti kenapa dan Gue pikir lo juga udah tau itu...yaa gitu lah kira-kira" Saat Bunga selesai berbicara ia tak mendapati Alvez di sampingnya. Laki-laki itu sudah pergi meninggalkan nya entah kapan.

"ISH! Hobi banget ngilang kayak setan" Kesal nya.

Alvez berjalan menuju fakultas seni tari modern. Ia tidak akan menjadi pengecut lagi, ia tidak akan bersembunyi lagi. Tapi...

Bugh!

Gavin datang dari belakang menarik tangan nya, lalu memukul nya secara habis-habisan. Alvez tak sempat mengelak nya, karena gerakan Gavin yang begitu cepat dan ia pun dalam posisi tak siap.

"Lo apain cewek Gue bangsat!"

Bugh!

Orang-orang mulai berkerumun menyaksikan kedua orang ini berkelahi tanpa ada niatan memisahkan keduanya. Alvez berada dibawa Gavin yang masih menghajarnya secara membabi buta. Tapi tak lama, Alvez membalikan keadaan. Gavin dalam sekejap berada dibawah Alvez, Alvez langsung membalasnya, tapi tak seperti Gavin, Alvez masih menahan agar tak tersulut emosi. Alvez akhirnya mengerti permasalahannya, berita itu cukup lambat menyebarnya.

"Harus nya Lo tanya sama cewek Lo yang sok suci itu! Apa yang dia lakuin ke Adsila!" Mereka berdua sama-sama babak belur, Alvez sudah mengeluarkan darah dari hidung nya. Tapi ia tak perduli.

"Kalian ngapain sih! Alvez, Gavin!" Teriak Adsila mencoba memisahkan mereka. Adsila menarik tangan Alvez yang akan menonjok Gavin, dan Alvez berhenti lalu ia berdiri. Bersamaan Dinda yang datang dan segera membantu Gavin bangkit.

"Maksud Lo tadi apa?" Tanya Gavin heran.

"Lo tanya sama cewek Lo!" Jawa Alvez sengit. Adsila tidak mengerti maksud dari Alvez dan Gavin, ia hanya memegang legan Alvez takut pria ini kehilangan kendali.

"Kamu ngelakuin apa sama Adsila?" Tanya Gavin kepada Dinda selembut mungkin. Raut wajah Dinda menjadi khawatir. Ia takut Gavin akan memutuskan hubungan mereka terlebih ada orang banyak di sini. Gavin sadar itu, akhirnya ia membawa Dinda ke tempat yang lebih sepi.

"Ikut Gue" Ucap nya pada Adsila dan Alvez.

Mereka berada di sebuah kelas yang sedang tidak ada kegiatan. Sesampainya disana Gavin tak ingin berbasa-basi. "Sekarang jawab pertanyaan aku tadi. Kamu ngelakuin apa sama Adsila?" Tanya nya.

"Vin, nggak usah. Kita obatin luka nya dulu" Ucap Adsila sedikit takut. Gavin melirik Adsila.

"Kalau nggak di selesai'in sekarang Gue yang akan merasa bersalah sama Lo" Adsila menundukkan kepalanya. Sedangkan Alvez, ia menatap dingin Dinda.

"Ak-aku, aku nggak pernah ngapa-ngapain Adsila. Kita temenan kok" Bohong Dinda mencoba meyakinkan Gavin. Alvez mendengar itu benar-benar muak.

"Jujur Din sebelum aku kasar" Jawab Gavin setenang mungkin. Sekarang Gavin berada di posisi serba salah. Ia takut menyakiti perasaan kedua perempuan di hadapan nya. Gavin sayang dengan Dinda, tapi ia tak mungkin membenarkan bila Dinda berlaku salah. Terlebih korban adalah sahabatnya sendiri.

"Sumpah Vin, aku nggak bohong, Itu cuman rumor aja kok, yakan Sil? Aku bener-bener nggak tau Vin. Atau bisa aja Adsila yang nyebarin rumor nya karena nggak suka sama Aku." Dinda mengeluarkan air matanya.

Brak!

Alvez mengebrak meja. Ia benar-benar kesal. Dalam keadaan seperti ini bisa-bisa nya Dinda masih membela diri membawa orang yang ia bully, menyalahkah korban nya. Alvez benar-benar tak habis pikir "Lo kalau mau bohong nggak usah ajak-ajak Adsila. Mana ke angkuhan Lo itu? Pengecut tau nggak Lo! Lo bisa dengan lancar dan mulus nya bully Adsila tapi giliran ketahuan Lo lempar batu. Munafik!"

"Apa sih mau Lo! Nggak puas bikin Gue malu! Iya Gue nge bully dia. Semenjak SMA! Gue benci ngeliat jalang ini selalu menang dari Gue! Gue benci disaat orang mulai naruh perhatian dan muji dia! Gue benci Lo!" Dinda mendorong Adsila, untung Alvez berhasil menahan nya supaya tak jatuh.

"Din apa-apaan sih Lo! Udah gila ya? Minta maaf, bukan nya Lo nyalahin Adsila kayak gini. Gue nggak bisa kalau ternyata Lo kayak gini terus. Kita putus aja" Ucap Gavin sinis. Tapi, Dinda tertawa.

"Puas Lo?! Puas bikin Gue malu, puas bikin Gue putus?! Dasar nggak tau diri!" Dinda langsung berlari, ia benar-benar benci dengan situasi itu.

Gavin menghembuskan napas nya. Ia melihat Adsila ketakutan, apa yang selama ini Gavin lakukan pada sahabatnya. Berpua-pura seolah melindunginya, tapi ternyata bahaya itu sendiri yang ia bawa. Apa masih pantas dirinya disebut sebagai sahabat.

"Jangan kasih tau siapapun permasalahan hari ini" Lirih Adsila.




DesistirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang