"Alvez, Lo lagi deketin Adsila ya?" Saat Alvez hendak keluar kelas, Bunga menghalangi nya dengan senyuman antusias. Sejak kelas di mulai Bunga sudah mulai bersikap aneh. Dari yang tiba-tiba duduk di samping Alvez, memberikan kertas dengan tulisan aneh, sampai menyenggol sikut nya saat Dosen menjelaskan. Sekarang Bunga menghalangi jalan nya.
"Kepo Lo, minggir Gue mau keluar" Lagi-lagi Bunga menghalangi nya.
"Kapan Lo mulai deketin Adsila? Kok bisa? Udah ada kemajuan? Gue kepo banget nih!" Seru Bunga, Alvez pun berhenti. Ia menarik napas dalam lalu menghembuskan nya, lalu melirik sini ke arah Bunga.
"Kenapa Lo nggak tanya sendiri sama Adsila nya si?!"
"Dia nggak akan mau jawab" Ujar Bunga.
"Sama Gue juga, jadi bye!" Alvez mendorong Bunga kesamping agar tak menghalangi jalan nya.
"Awas ya Lo, nggak akan Gue restuin!" Alvez mengangkat tangan nya membuat Bunga semakin kesal.
Di lain sisi, Adsila telah menyelesaikan latihan nya.
"Lo belum ngundurin diri?" Tanya Dinda yang di ikuti teman-teman nya.
"Gue nggak per-pernah setuju untuk ngundurin di-diri" Jawab Adsila terbata-bata. Dinda mengeluarkan senyuman jahat nya.
"Kunci pintu nya" Perintah Dinda kepada salah satu teman nya. Adsila seketika langsung panik.
"Pegang dia!"
"Please Din. Jangan, Jangan kayak gini. Lepas! Lepas!... AW sakit" Adsila mencoba memberontak. Tapi cengkraman dari kedua teman Dinda terlalu kuat.
"Lo udah bikin Gue muak!" Dinda melancarkan beberapa aksinya. Bermain tangan, menumpahkan minuman, dan memakinya. Dinda juga merobek dan merusak baju serta sepatu ballet Adsila.
"Jangan salahin Gue, karena Gue udah ngasih peringatan. Cabut!" Dinda pergi dengan kepuasan nya. Amarah yang ia tahan akhirnya ia keluarkan.
"cupu" Batinya.
Adsila melihat peralatan nya yang rusak, pasti Mama nya akan lebih murka di rumah nanti. Ia memeluk dirinya sendiri, Adsila mulai mengeluarkan air mata nya.
"Adsila, pergi makan yuk!" Alvez memasuki ruangan itu, seketika raut wajah yang penuh senyuman langsung berubah begitu melihat perempuan yang duduk di pojok ruangan memeluk dirinya, dengan keadaan berantakan.
"Sil! Lo kenapa? Aish!" Alvez menutupi tubuh Adsila dengan jaket nya. Karena Adsila masih memakai pakaian ballerina nya.
"Ka-kali ini Gue udah berusaha ngelawan Al, me-mereka terlalu kuat. Maaf" Ucap Adsila di selingi tangis nya.
"Lo bodoh banget si! Kenapa minta maaf" Alvez memeluk tubuh Adsila. Ia tau siapa pelaku nya. Tapi Adsila lebih penting.
"Sil! Minggir!" Ya Daniel datang. Daniel langsung menarik Adsila dari pelukan Alvez. Daniel menatap tajam Alvez, ia tak suka.
"Apa yang Lo lakuin ke Adsila brengsek!" Bentak Daniel.
"Nggak Dan, bukan Alvez"
"Lo tanya dia kenapa? Lo sahabat nya bukan! Gila Lo nyalahin Gue. Sil Gue pergi duluan" Alvez meninggalkan tempat itu dengan amarah yang masih memuncak.
"Lo tunggu sini, Gue bawain baju di mobil Gue sebentar" Daniel segera berlari keluar.
_____
Alvez berjalan dengan amarah nya. Ia tadi bertanya kepada beberapa perempuan yang sempat berpapasan dengan Dinda. Dan akhirnya ia menemukan wanita itu.
"Masih sempat-sempat nya ia tertawa" batinya.
Brak!
Alvez menendang tempat sampah yang ada di dekatnya membuat mereka terkejut termasuk Dinda. Tapi perempuan itu dengan cepat merubah mimik wajah nya dengan senyuman menantang.
"Lo lakuin apa sama Adsila sampe dia kayak gitu!" Bentak Alvez. Ia menendang tempat sampah lagi hinga beberapa bagian hancur. Alvez tidak suka bila ada seseorang yang melakukan penindasan terlebih orang itu lebih lemah dari mereka, pengecut menurut nya.
Orang-orang sudah mulai menggerubungi mereka. Teman-teman Dinda pun bungkam, mereka tak mau menjadi sasaran amarah Alvez.
"Lo mau jadi pangeran, atau jadi dokter? Atau mau jadi hakim?" Tanya Dinda dengan nada mengejek.
"Untung Lo apa sih kayak gitu? Perlakuan Lo kayak bocah SMP tau gak, berani nya nindas yang terlihat lemah. Asal Lo tau, Lo lebih lemah dan muna! Kalau Lo nggak mau kalah dari Adsila Lo lakuin yang terbaik bukan dengan cara kayak gini" Bentak Alvez dengan gemuruh yang masih mengitari nya.
"Dengan kayak gini Lo sama aja mengumumkan kalau Lo ngakuin. Lo nggak akan bisa menang dari Adsila" Ucapan Alvez berhasil membuat Dinda membeku. Dinda berusaha menahan air matanya sebisa mungkin.
"Lo tau apa?! Nggak usah jadi sok pahlawan kalau diri Lo sendiri aja nggak benar!" Dinda berusaha melawan karena semakin banyak orang yang mengerubungi mereka. Ia tidak mau terlihat lemah.
"Gue nggak pernah jadi pahlawan, apalagi penjahat kayak Lo" Setelah itu Alvez pergi. Ia berusaha menahan amarahnya supaya tidak memuncak, ia masih sadar Dinda juga perempuan.
"ARGHHH! BRENGSEK LO!" Teriak Dinda dengan frustasi. Alvez tidak menghiraukan nya, ia terus berjalan sambil mengatur napasnya.
_____
"Kamu kemana lagi seharian ini? Mama telpon kamu nggak angkat. Kamu bolos latihan lagi?" Tanya Melinda begitu Adsila masuk.
"Ak-aku tadi jalan sebentar sama Daniel. Aku juga udah minta maaf sama Madam Lina" Jawab Adsila gugup. Ia berharap Mama nya msih bekerja, sungguh hari yang melelahkan.
"Liat muka Mama" Ucap Melinda dengan tegas. Tapi Adsila takut, karena ada memar di wajah nya berkat pukulan dari Dinda dan teman-teman nya.
"Liat muka Mama Adsila!" Akhirnya Adsila mengangkat kepalanya.
"Astaga! Kamu berantem sama siapa?! Kamu akhir-akhir ini kenapa sih! Bolos latihan, pulang telat, sekarang berantem? Kamu mau jadi kriminal?!" Bentak Melinda. Ia memijat pelipis nya dengan frustasi.
"Kamu ini bergaul sama siapa si?! Mama kayak nya udah cukup ngasih kebebasan selama ini sama kamu!"
"Nggak Ma, nggak. Adsila janji nggak akan kayak gitu lagi" Adsila memohon kepada Melinda. Karena Adsila tau, inti dari semua permasalahan ini Melinda akan mengirim nya ke luar negeri.
"Ma, aku rasa cukup. Adsila baru pulang kasian" Adsila segera memalingkan wajah nya ke sumber suara itu. Suara yang hampir tiga tahun ia tak dengar.
"Kamu itu selalu memanjakan adik Mu tau" Jawab Melinda.
"Hehehe, Mama juga istirahat. Udah malem besok harus kerja. Aku yang nasihatin Adsila ok?" Melinda akhirnya setuju lalu beranjak ke kamarnya.
"Abang!" Adsila segera berlari untuk memeluk Abang nya.
Raska Tamana. Laki-laki yang selalu mendukung nya, setelah Papa nya meninggal, hanya ia yang selalu mendukung Adsila. Hanya ia penolong Adsila saat ibu nya murka pada nya. Tapi tiga tahun lalu, Raska harus meninggalkan rumah karena pekerjaan nya.
"Abang kapan pulang? Kenapa nggak kabarin Sila?" Adsila menumpahkan air matanya.
"Hehehe, nanti kamu nggak fokus latihannya. Coba Abang liat luka nya" Raska menangkup wajah Adsila.
"Ini kenapa? Jangan bohong sama Abang"
"Jatuh waktu latihan, Sila nggak bohong kok" Raska mengacak rambut Adik nya, lalu tersenyum. Ia tau Adsila berbohong tapi biarkan, pasti berat bagi Adsila.
"Yaudah, Abang obatin yaa. Yuk" Kakak-beradik itu menuju kamar Adsila. Raska yang mengobati Adsila, sekaligus mereka bercerita tentang apa yang terjadi selama ini, temu kangen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desistir
Teen FictionAdsila Tamana, seorang gadis yang tidak pernah menyuarakan isi hati nya. Adsila selalu setuju dengan semua keputusan orang-orang di dekatnya, ia takut bila menolak akan terjadi keributan atau masalah karena keputusan dari diri nya. Sampai Alvez lak...