"And then I think that maybe I was designed to be alone..." – unknown.
***
"Serius lo mau turun di sini?"
Jeffrey menoleh ke arah Rosie yang duduk di samping kirinya saat menanyakan hal itu, tepat setelah mobil yang dikemudikan oleh Jeffrey berhenti di depan sebuah kompleks perumahan yang masih satu kota dengannya. Rosie melepas sabuk pengamannya, balas menoleh namun hanya untuk sepersekian detik saja.
"Iya. Ntar gue tinggal jalan lima menitan udah nyampe." Rosie menjelaskan, sebelah tangannya hendak membuka pintu namun tertahan karena ucapan Jeffrey.
"Tapi ini udah jam dua belas lewat, Ci. Jalannya juga gelap, sepi lagi." Ujar Jeffrey sesaat setelah melihat jalan beraspal tak jauh di depannya.
"Ada satpam. Kalo itu yang lo khawatirin." Ketus Rosie, sedikit kesal karena Jeffrey menahannya untuk turun.
Padahal niat Rosie setelah diantar oleh Jeffrey, tanpa mengatakan apapun ia akan langsung turun. Bahkan ia sengaja meminta diturunkan di depan kompleks alih-alih di depan rumahnya langsung karena tak ingin Jeffrey tahu dimana rumahnya. Sebenarnya ia juga tidak mau diantar oleh Jeffrey. Sialnya ia bertemu dengan lelaki ini di cafe pada saat dirinya tidak membawa kendaraan. Alhasil Jeffrey bersikeras mengantarnya meskipun Rosie sudah berusaha untuk menolak. Apalah daya, Jeffrey dan keras kepalanya masih tetap sama.
"O-oke." Jeffrey mengerti. Walaupun perasaan khawatir itu masih begitu besar, namun Jeffrey mencoba mempercayakan semuanya pada Rosie. "Btw, thanks ya, Ci."
Rosie menoleh, sebelah alisnya terangkat. Ia tidak merasa melakukan apapun yang bisa dibalas dengan kata terimakasih. "Buat?"
"Karena udah mau dengerin gue cerita." Jeffrey menundukkan kepala saat mengatakan itu, tak berani menatap Rosie. Entah kenapa baru sekarang ia merasa malu setelah apa yang ia lakukan di cafe tadi.
"Ck," Rosie berdecak, merasa bahwa apa yang Jeffrey katakan itu tak berarti apapun. "sebenernya gue males, tapi kata almarhum Mama nggak boleh mengabaikan orang yang lagi bicara. Nggak sopan katanya. Anggep aja itu bentuk kesopanan gue." Ujarnya dengan ketus.
"Lo bener." Jeffrey membenarkan, agaknya ia merasa bersalah karena telah membuat Rosie mendengarkan keluh kesahnya. Kalau begini Jeffrey jadi teringat dulu saat ia sering menceritakan apapun pada Rosie. Dan tiba-tiba saja Jeffrey terpikirkan sesuatu. Iamengeluarkan ponselnya lalu menyodorkannya pada Rosie. "Gue boleh minta nomor lo?"
Rosie menatap ponsel Jeffrey sambil berpikir. Beberapa detik setelahnya ia mendorong ponsel Jeffrey menjauh. "Kita nggak ada alesan buat ketemu lagi. Gue juga nggak berniat jadi temen lo lagi." Tolaknya kasar.
Mengangguk mengerti, Jeffrey meletakkan ponselnya ke atas dashboard. Tanpa banyak bicara, Rosie keluar dari mobil dan segera menjauh. Jeffrey melihat Rosie yang sudah berjalan di kegelapan dari dalam mobilnya. Makin lama siluet tubuh Rosie semakin jauh hingga Jeffrey kehilangan gadis itu dari pandangannya.
"Kalo kita ketemu lagi, gue pastiin dapet nomor lo, Ci." Gumamnya. Ia lantas menjalankan mobilnya menjauh dari area itu.
Sekitar lima belas menit kemudian Jeffrey sudah tiba di depan rumahnya. Gerbang depan rumahnya tertutup rapat, mengharuskannya untuk turun dan membukanya. Namun rasanya Jeffrey sangat lelah sekali untuk sekadar melakukannya. Ia menghela nafas panjang dan jarinya tidak sengaja menyentuh layar ponselnya hingga menyala. Jeffrey melihat ada banyak pesan dan panggilan tidak terjawab yang belum ia lihat. Lantas ia segera mengeceknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jeffrey | Jaerose
FanfictionHanya sepenggal kisah Jeffrey dan Rosie yang terjebak dalam takdir yang membingungkan. Di satu sisi ingin mengejar namun tertampar keadaan. Di sisi lain ingin bersama namun takut berakhir sia-sia. Intinya, ribet! a jaerose fanfiction Start : 13/10...