"The more you love a memory, the stronger and stranger it becomes." - Vladimir Nabokov.
***
TINGG TINGG
Bel pertanda jam awal pelajaran pagi dimulai telah berbunyi. Semua siswa bergegas masuk ke dalam kelas sebelum guru yang akan mengajar pagi itu masuk ke kelas masing-masing. Dalam sekejap suasana di dalam sekolah hening, hanya ada segelintir guru-guru yang mulai melangkah memasuki kelasnya, bersiap untuk mengajar.
Pemandangan seperti itu sangat berbeda dengan kondisi di gerbang sekolah yang penuh dengan beberapa siswa yang terlambat hingga berakhir dikunci dari dalam dan tidak bisa masuk. Di balik gerbang, berdiri seorang lelaki muda yang begitu rapi dengan seragam gurunya. Rambut hitamnya yang kaku disisir rapi, begitu kontras dengan senyum yang terkembang di wajahnya yang cukup tampan.
"Pak, bukain gerbangnya dong!!"
"Aduh, Pak. Saya ada kuis pagi ini."
"Please, Pak. Bukain gerbangnya."
"Pak Jeffrey ganteng deh. Bukain dong gerbangnya."
Dan ucapan-ucapan seperti sudah menjadi makanan sehari-harinya sebagai guru yang ditugaskan untuk menjaga gerbang sekolah di pagi hari. Ia hanya geleng-geleng kepala. Saat dirasa sudah tidak ada lagi siswa yang datang, ia akhirnya membuka gerbang, membiarkan semua siswa yang terlambat itu masuk.
"Cepet bikin barisan di tengah lapangan. Nggak pake lama!" Ujarnya tegas, membuat siswa-siswa itu bergegas lari menuju lapangan.
Begitu barisan yang berisi siswa-siswa terlambat terbentuk rapi, lelaki itu melangkah ke depan. Ia menatap anak-anak didiknya dengan wajah yang masih dihiasi senyum, namun terkesan serius.
"Kenapa hari ini banyak yang terlambat? Di rumah kalian nggak ada jam?!" Tanyanya setengah membentak, nadanya begitu tegas.
"Kesiangan, Pak."
Koor seluruh siswa yang terlambat sambil menundukkan kepalanya. Lelaki muda yang berprofesi sebagai guru selama dua tahun di sekolah ini hanya geleng-geleng kepala.
"Kerjaan kalian cuma belajar. Masa bangun aja sampe kesiangan?"
"Ngerjain tugas sampe malem, Pak."
"Belajar sampe malem, Pak. Ada kuis hari ini."
"Maen game, Pak."
Dan seribu alasan lainnya, membuat guru yang akrab disapa Pak Jeffrey oleh siswanya itu tersenyum kecut.
"Kalian itu masih muda, harus semangat cari ilmu. Belajar itu udah jadi tanggungjawab kalian. Sekarang kalian udah SMA, harus bisa bagi waktu dengan baik. Saya aja yang udah punya anak dua bisa berangkat pagi, kenapa kalian yang masih ngurusin diri sendiri nggak bisa?" Ceramah Jeffrey panjang lebar, membuat seluruh siswanya hanya diam mendengarkan.
"Sekarang lari keliling lapangan sepuluh kali. Kalo udah selesai ngisi absen terus ke kelas. Sekarang!!"
Mendengar perintah itu seluruh siswa mengikutinya sambil menggerutu. Jeffrey berdiri agak ke pinggir lapangan, di samping para siswa meletakkan tasnya. Ia meniup peluitnya pertanda bahwa para siswa itu harus segera melaksakan hukumannya sambil ia menghitung sendiri dalam hati.
Beberapa menit kemudian, hukuman lari keliling lapangan selesai. Siswanya berebut menulis namanya di buku absen siswa yang terlambat, setelah itu mereka membubarkan diri dengan melangkah menuju kelas masing-masing.
Pandangan Jeffrey lalu beralih pada seorang siswi yang paling terakhir menulis namanya. Ia memandanginya cukup lama, merasa cukup familiar dengan wajah itu. Begitu siswi itu memberikan buku padanya, Pak Jeffrey tertegun untuk beberapa detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Jeffrey | Jaerose
FanfictionHanya sepenggal kisah Jeffrey dan Rosie yang terjebak dalam takdir yang membingungkan. Di satu sisi ingin mengejar namun tertampar keadaan. Di sisi lain ingin bersama namun takut berakhir sia-sia. Intinya, ribet! a jaerose fanfiction Start : 13/10...