22 ~ Undur Diri

577 80 10
                                    

Berapa kali aku berkata bahwa ada temu yang harus terpisah?
Sering! Berulang kali aku mengatakannya.
Mereka yang bersama tidak selamanya bisa bersama.
Mereka yang pernah menetap, bahkan bisa memilih untuk pergi.
Karena setiap temu akan berujung pisah,
Karena setelah berpisah akan menjalin temu yang baru,
maka janganlah takut pada perpisahan.
Sebab Tuhan sudah mempersiapkan kisah baru untukmu.

(L.K)

🍁🍁🍁

Rencana tetap berlangsung, mereka berangkat dan menuju rumah Arina. Pertemuan pertama setelah kejadian hilangnya Arina itu mengharu biru. Nila memeluk erat sahabatnya. Sementara Rajasa menyalami satu persatu teman semasa sekolah.

Meski tidak terlalu akrab, rupanya Rajasa mengenali nama teman-temannya itu. Terakhir, dia menyapa dan menyalami Pak Biru. Keluarga muda itu tenggelam dalam keriuhan selama beberapa jam.

Biru yang sejak awal tampak tidak sehat akhirnya memilih untuk pamit. "Rin, Pak Biru pamit pulang, biarkan mereka yang merusuh sampai kamu dan Rajasa bosan."

Nila yang sedari tadi sibuk mengelus perut Arina membelalak begitu melihat wajah Biru yang jauh lebih pucat dari saat berangkat. Begitu juga dengan Rajasa, dia berpindah posisi supaya lebih dekat dengan sang guru.

"Saya antar saja, Pak. Biar motornya anak-anak yang bawa," pinta Rajasa.

"Nggak perlu, Ja, Pak Biru masih kuat."

"Pak Biru mau pulang boleh, Arina kasih izin, tapi biarkan Raja yang anterin."

"Pak Biru pulang ke rumah. Nggak sampai 20 menit perjalanan sudah sampai."

"Si Bapak mah, nggak usah ngeyel dah. Tadi mau berangkat sudah oleng, ini wajah udah seputih tembok masih mau berdebat," ujar Randy dengan nada kesalnya.

Biru tersenyum tipis. Dia mengambil botol mineral pemberian Nila untuk menghilangkan haus di tenggorokannya. Belum juga terminum, botol dalam genggamannya terjatuh.

"Duh, ma-maaf, Ja, lantainya jadi basah gini," ujar Biru sambil memijat tangannya yang terasa kebas.

Nila memungut botol yang jatuh di sebelah kakinya dan mengambil beberapa lembar tisu dan menyapukannya ke lantai berair tersebut.

"Pak, kalau sakit bilang saja sakit, kami khawatir, atau kita antar ke rumah sakit saja?" Andre bersuara mewakili teman-temannya.

"Nggak, deh! Pulang saja." Biru akhirnya mengalah dan menuruti permintaan anak didiknya.

Rajasa dan Yuda mengantar Biru dengan mobil, sementara Dito membawa motor biru kesayangan Pak Biru. Selama perjalanan pulang, suasana hening di dalam mobil membuat suasana canggung.

Begitu mobil berjalan, Biru memilih menurunkan kursi yang diduduki supaya posisinya setengah berbaring. Rasa mual di perutnya membuat keringat semakin bercucuran.

"Pak Biru butuh sesuatu? Kalau ada bilang saja, Pak," tawar Rajasa.

"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup, Ja. Malah merepotkan yang punya rumah. Padahal bisa pulang sendiri."

"Pak Biru share lokasi rumahnya, setelah itu tidur biar nggak makin puyeng." Yuda yang biasanya kalem dan pendiam ternyata bisa bersuara ketus karena sang guru yang ngeyel.

Sepi, begitu yang Dito lihat dari rumah tempat tinggal sang guru. Dia sampai lebih awal karena Yuda yang memberitahu lokasi rumah Pak Biru. Beberapa kali salam ternyata tidak ada yang membuka pintu rumah. Sepertinya keluarga Anggara sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Memiliki Kehilangan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang