Hidup itu tentang pilihan.
Jika ingin yang satu, bisa melepaskan lainnya.
Namun, jika keduanya bisa berjalan bersama,
kenapa tidak mencobanya?(Sabiru Anggara)
🍁🍁🍁
Matahari sudah mulai merangkak dan sinar hangatnya pun menembus kamar yang berada di lantai dua. Sang pemilik kamar rupanya tidak terganggu dengan silau sinar yang menerpa wajahnya. Dia masih saja terbungkus selimut dan melanjutkan tidurnya.
"Dek, masa belum bangun, sih? Ini hari pertama kerja, loh!" suara lembut wanita berusia hampir setengah abad itu mengganggu si pemilik kamar.
"Bentar lagi, Bu!" Si pemilik suara menarik memiringkan badan dan membenahi selimutnya supaya naik hingga sebatas dada.
"Ayah sama Bang Lano sudah nungguin di meja makan. Lagian ngapain juga abis Subuh tidur lagi? Nolak rejeki itu namanya, Dek!"
Ketika disinggung soal rezeki, Sabiru Anggara yang sejak tadi bergelung di bawah selimut lantas terduduk dan memajukan bibirnya. Baju koko dan sarung yang masih melekat di tubuhnya mulai dilepaskan satu persatu.
"Ibu ngapain masih di sini? Mau lihat Biru ganti baju?"
"Kalau iya kenapa? Malu sama ibu?"
"Wahai Ibunda Dewi Jelita, maafkan Ananda Biru yang lancang, bisakah tunggu di bawah saja? Ini bisa-bisa lama kalau ditungguin, Biru nggak tahan sama Ibu kalau dah ngomel panjang!"
"Dasar bocah labil! Ingat, kamu itu sudah diterima jadi guru, jaga sikapnya! Ibu tunggu, nggak pakai lama!"
Biru tidak menjawab dan memilih merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu. Lelaki itu meniupkan napasnya kasar dan menerbangkan beberapa helai rambut yang menghalangi pandangan matanya.
Beberapa barang yang berserak di lantai dan di mejar dibiarkan begitu saja. Bungsu dari dua bersaudara itu masih saja kesal dengan keputusan ayah dan ibu yang menempatkannya di sekolah milik salah satu teman sang ayah.
"Nggak mau jadi sarjana malah dipaksa masuk psikologi. Kirain setelah lulus bakal dicarikan tempat praktek untuk jadi psikolog ternama, ternyata malah dilempar ke sekolah yang siswanya panen kasus. Tuhan apa dosa hamba?" gerutu Biru sembari memasukkan beberapa laptop dan beberapa barang lain ke dalam tas ranselnya.
"Biru!" teriak ibunya dengan keras.
Biru berlari menuruni tangga, dia tidak ingin mendengar teriakan sang ibu untuk kedua kalinya. Karena jika itu terjadi biasanya hal buruk akan menghampirinya sepanjang hari. Percaya atau tidak, begitulah yang sering terjadi padanya dan kakaknya, Delano.
"Ibu jangan teriak lagi, Adek sudah di sini. Nggak mau 'kan anak kesayangannya ini kena sial sepanjang hari?"
Belum juga membalas ucapan si bungsu, Ibu Negara keluarga Anggara itu melirik tajam pada dua laki-laki yang tampak sibuk menyembunyikan tangan di bawah meja.
"Ayah? Abang? Kalian taruhan lagi? Uang haram loh itu! Kebiasaan banget kalau udah Ibu debat sama Biru kalian pasti begitu. Kualat baru nyaho kalian!"
"Yah, Bu. Jangan didoakan kualat dong, ini Ayah yang mulai, bukan Abang," kilah Lano.
"Bang Lano yang mulai, Bu. Ayah biasanya mah nurut-nurut saja sama Bang Lano," cibir Biru pada Delano
Persekongkolan ayah dan anak yang sangat sering terjadi. Memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan sesuatu. Namun, sepertinya itu hanya akal-akalan Bang Lano saja untuk mendapatkan uang jajan tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan. Untuk apa pemilik kafe terlaris di kota masih butuh uang jajan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Memiliki Kehilangan ✔
Ficción GeneralAku seorang Biru, berharap meneduhkan setiap yang melihatku. Jika kalian hitam, berhentilah sekarang. Apakah kalian tahu? Dasar hitam itu adalah putih. Maka kembalilah pada putihmu. Namun bagiku, kalian adalah jinggaku. Pemberi warna dalam hidup, pe...