05 ~ Bermunculan

401 79 2
                                    

Ketika satu persatu semua tabir tersingkap,
percayalah bahwa tanggung jawabmu semakin berat.
Jangan menunggu siap sebab semua yang tiba-tiba
adalah cara Tuhan untuk menguji kesanggupanmu

(Sabiru Anggara)

🍁🍁🍁

Pemandangan yang amat langka di mata Biru. Dia adalah lelaki yang paling anti dengan kekerasan, tetapi yang ada di hadapannya sekarang bukan lagi masalah kekerasan, melainkan penganiayaan kelas berat.

Biru ikut meringis saat melihat anak didiknya ini menahan sakit. Luka di sekujur tubuh, dengan pelipis berdarah-darah sampai menutupi sebelah wajah Erza membuatnya menahan mual ditambah dengan bau anyir yang menusuk hidung.

"Pak Biru, bisa ikut nemenin Erza ke rumah sakit? Lukanya harus dijahit, petugas jaga UKS belum datang." Ardan menyimpan kekhawatirannya sendiri begitu melihat kondisi Erza.

"Bisa, Mas! Saya minta Pak Juhari untuk siapin mobil sekolah dulu." Biru berlari menyeberangi jalan dan menuju ke tempat sopir sekolah berada.

Sementara itu, sebelum menjauh Biru juga sempat mendengar Ardan berteriak menyuruh beberapa siswa yang bergerombol itu untuk bubar dan segera masuk ke area sekolah. Sedangkan sisanya lagi dia minta untuk membantu membawa Erza ke tempat yang lebih teduh.

Biru membuka pintu mobil dengan terburu-buru bahkan saat mobil tersebut belum benar-benar berhenti. Lelaki itu menggulung lengan kemejanya dan membantu Ardan memapah Erza untuk masuk ke mobil.

"Mas Dan, itu telepon diangkat dulu. Mungkin penting, soalnya tadi di sekolah sudah rame soal ini anak."

"Pak, saya punya nama!" sahut Erza sambil melirik ke arah Biru.

"Diem, ini kepalamu udah macem keran bocor. Ada kain bersih nggak? Ini habis tisu segepok masih juga rembes."

"Di tas saya ada baju olahraga, Pak." Ardan yang berada dekat dengan tas Erza langsung merogohnya dan menyodorkan pada Biru setelah menerima telepon dan menjawab pertanyaan si penelepon dengan detail.

"Bisa pelan nggak, Pak? Ini rasanya udah nyut-nyutan, ditekan begitu terasa mau lepas kepala saya."

"Diem aja, bentar lagi nyampe rumah sakit. Setelah itu ada banyak pertanyaan Pak Ardan untuk kamu."

Sesampainya di rumah sakit, Ardan sibuk mengurus beberapa administrasi saat Erza menerima penanganan dari tenaga medis. Biru yang menunggui Erza harus bergulat dengan ketidaknyamanan yang menyelimuti perasaannya.

Keringat sudah membasahi kemeja bermotif garis dan membuatnya menempel ke tubuhnya. Beberapa kali lelaki itu menggelengkan kepala saat pening mulai menyapa. Suara derap langkah mengalihkan perhatian Biru yang sedari tadi hanya menatap lantai.

"Adek nggak apa-apa? Ini kenapa kemejanya ada darahnya? Mana yang luka?"

"Bu, Adek nggak apa-apa, cuma nganter siswa korban keroyokan. Pelipisnya bocor, dan ini darah dia."

"Alhamdulillah, Ibu sudah khawatir banget. Soalnya Mbak Tanti di bagian UGD bilang kalau Adek masuk UGD, Ibu kira Adek yang kenapa-kenapa. Ikut Ibu ke taman cari udara segar," ujar sang ibu sembari menarik tangan Biru.

Biru menggeleng dan menunjuk ke arah ruang penanganan. "Erza sendirian, Mas Ardan masih di bagian administrasi."

Ibu Dewi Jelita bergegas masuk dan menitipkan Erza pada petugas juga sebuah pesan untuk Ardan. Setelah itu beliau menarik si bungsu untuk segera pergi dan menjauh dari aroma alkohol yang menusuk dan hiruk pikuk di ruang penanganan.

Memiliki Kehilangan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang