15 ~ Give Up!

464 80 2
                                    

Ada batas yang rupanya tidak bisa ditembus.
Ada sekat kasat mata yang nyatanya menghalangi.
Saat semua sampai pada titik tertentu, bolehkah menyerah?
Boleh! Toh menyerah bukan berarti kalah.
Kita hanya perlu menyadari,
bahwa ada yang tidak bisa dipaksakan.

(L.K)

🍁🍁🍁

Tubuh yang bergelung dalam selimut sejak selesai salat Isya itu bergerak dan membuka kasar benda yang menutupi tubuhnya. Biru sebenarnya tidak begitu suka selimut, tetapi sore ini terasa lebih dingin dari biasanya.

Lelaki itu bangun dan bersandar pada kepala ranjang. Suasana pencahayaan yang redup dari lampu tidur memenuhi ruangan bercat biru langit. Biru beranjak dan mencuci wajahnya supaya lebih segar.

Begitu selesai, dia menuruni anak tangga dan menuju teras rumahnya. Jam sudah saja menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi tidak satu pun keluarganya ada yang pulang.

"Maaf, Dek, Ibu ada jadwal operasi mendadak menggantikan salah satu dokter yang berhalangan hadir," ujarnya tadi saat Biru menelepon begitu tahu Ayah, Ibu dan kakaknya belum pulang.

"Sebentar, Ayah segera pulang setelah ketemu dengan pihak penerbit. Ada beberapa hal yang harus dipastikan sebelum buku non-fiksi Ayah naik cetak." Ayah Awan menjawab telepon dengan tergesa-gesa bahkan menutupnya sebelum Biru berucap satu kata pun.

Mereka menjawab saat matahari sudah kembali ke peraduannya. Namun, sampai bintang-bintang bermunculan keduanya belum juga datang. Berbeda dengan kedua orang tuanya, Bang Lano yang mengantar pulang Biru kembali lagi ke kafe setelah memastikan adiknya tidak kelaparan.

Biru sudah telanjur nyaman, semilir angin membuat kepalanya yang panas dan penuh dengan masalah anak didik terasa sedikit ringan. Lelaki itu memejamkan mata dan menikmati nyanyian jangkrik yang berasal dari halaman rumahnya.

"Kalau sudah ngantuk kenapa nggak tidur saja, Dek!"

Biru tersentak, matanya membola begitu melihat sang ayah sudah berdiri di hadapannya. "Ayah kapan datang? Nggak bawa mobil?"

Ayahnya menggeleng, "Si seksi lagi rewel, masih dalam perawatan. Ayah pulang dianter sama anak kantor. Masuk, yuk!"

Ayah Awan menarik Biru dan menggandengnya masuk ke rumah. Lelaki itu membuka sebuah bungkusan. Aromanya menggelitik dan membuat air liur Biru mulai berkumpul di mulutnya.

"Ambi saja! Bang Lano yang nyuruh Ayah buat belikan wedang ronde itu buat kamu biar badannya lebih hangat."

Biru menyandarkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Ronde hangat dalam bungkus plastik itu hanya dipegang sambil sesekali ditempelkan ke pipinya. Kebiasaan si bungsu ketika mendapat wedang ronde kesukaannya. Begitu melihat sang ayah kembali dan membawakan dua mangkuk, barulah Biru bergegas menuangkannya.

"Itu ronde bakal dingin kalau nggak langsung diminum, Dek. Dari tadi tangannya gerak, tapi matanya nggak tahu fokus lihat ke mana. Ada apa?"

"Kalau Adek nyerah jadi guru BK, Ayah marah?"

"Alasannya?"

"Capek, nggak sanggup, anak-anaknya super semua. Adek berasa nikmati karma karena dulu pas SMP sama SMA sering bolos."

"Adek kan sakit! Jadi bukan bolos."

Biru terdiam dan menunduk. Tatapannya berpusat pada semangkuk wedang ronde yang sudah dingin. Si bungsu menghela napas untuk kesekian kalinya. Sang ayah mendadak khawatir saat melihat wajah putra bungsunya seperti tertekan.

Memiliki Kehilangan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang