Ketika ketenangan hanya menjadi bayangan.
Ketika kedamaian hanya semu belaka.
Ingatlah, tenang dan damai itu tidak dibuat,
tetapi datang dari penerimaan dan kelapangan hati.(L.K)
🍁🍁🍁
Melapangkan hati dan menerima itu tidak mudah. Namun, saat semua bisa terlepas tanpa beban mungkin itulah yang bisa membawa damai. Sabiru Anggara berusaha menenangkan gemuruh di dadanya.
Belum selesai urusan dengan anak didik Pak Ardan, dia harus dihadapkan dengan anak pemilik yayasan yang sering menjadi sumber masalah. Beberapa laporan sudah masuk dan catatan kenakalannya pun sudah memenuhi buku tindakan.
Hanya ada satu pertanyaan, apakah catatan itu berguna dan para guru terdahulu berhasil menindak tegas Rajasa Adiguna? Jawabannya, tidak. Karena mereka lebih takut Rajasa melapor pada sang ayah dan mengancam kesejahteraan dalam mengajar.
Guru yang bertugas memilih untuk menunggu di luar kelas. Beberapa siswi juga mengekor mencari tempat aman. Sementara itu, seseorang di dalam sana masih saja berteriak dan menendang beberapa kursi di hadapannya.
"Bacot semua! Sini kalau berani, jangan beraninya main belakang!"
Baru sepersekian detik teriakan dari dalam kelas itu terdengar, semua dikejutkan dengan suara kaca yang pecah berkeping dihantam kursi. Biru yang sudah dekat semakin mempercepat langkahnya.
"Rajasa! Apa yang kamu lakukan?" teriak Biru pada Rajasa.
Anak didiknya itu tampak kacau, seragam sekolahnya berantakan. Beberapa kancing bajunya sudah terlepas membuat pakaiannya morat-marit tak karuan. Belum lagi dengan mata merah dan rambutnya yang basah dengan keringat.
Napasnya tersengal, tangannya terkepal hingga membuat urat dan buku di tangannya tampak menonjol. Biru berusaha mendekat dan merangkul untuk menenangkan, tetapi penolakan yang dia dapat.
"Bapak nggak usah ikut campur! Biarkan saya temukan siapa yang sudah berani-beraninya mengganggu pacar saya."
Urusan hati anak muda yang rumit, dia keras kepala sekaligus peduli sama pacar 'kan ambyar! batin Biru.
"Kita bicara di kantor saja. Biarkan teman-teman mengikuti pembelajaran dan kamu selesaikan amarahmu di ruang konseling." Biru mencoba berbicara dengan nada pelan sambil menarik Rajasa dengan perlahan.
"Saya masih nunggu mereka ngaku, Pak! Nggak usah paksa saya untuk ikut!" Rajasa berteriak dan berusa melepaskan cekalan tangan Biru
"Kamu mengganggu kegiatan belajar mengajar! Bisa nggak biarkan mereka mendapat hak belajar?" Biru akhirnya lepas kendali dan membalas teriakan Rajasa dengan nada tinggi.
Penghuni kelas XI IPS 3 yang menjadi tempat amukan Rajasa bahkan tersentak kaget mendengar Biru membentak Rajasa. Berdasarkan sejarah SMAPSA, baru kali ini ada yag berani membentak dan menarik Rajasa Adiguna seperti itu.
"Bapak berani sama saya?" Rajasa masih dalam usaha untuk melepas cekalan erat di lengannya.
"Buat ngadepin bocah ingusan seperti kamu untuk apa saya takut?" ujar Biru sambil menarik Rajasa untuk menjauhi kelas tersebut.
Guru yang bertugas meminta beberapa siswa untuk membersihkan sisa-sisa kekacauan yang diperbuat oleh Rajasa. Suara-suara di kelas masih ramai terdengar. Beberapa masih kaget dan tidak tahu apa alasan yang membuat anak si pemilik sekolah marah besar.
Sementara itu, Biru mulai kehilangan kesabaran menghadapi ocehan dan cacian dari mulut Rajasa. Beberapa kali dia menjawab dan semakin membuat Rajasa naik pitam.
"Bapak sengaja mau bikin saya marah? Mau tahu apa yang akan terjadi setelah ini sama Bapak?"
"Nggak, saya nggak mau bikin kamu marah, tapi memang kamunya lagi marah!"
"Sekali lagi ikut campur sama urusan saya, Bapak selesai kerja di sini!" Rajasa menghempas tangan Biru lalu kabur menuju lapangan basket dan melompati dinding setinggi bahu orang dewasa.
Biru kehilangan mangsa, dia menghela napas kesal. Amarah yang sudah sampai di ubun-ubun tiba-tiba saja menyusut melihat anak didiknya berlalu dan menghilang di balik dinding.
🍁🍁🍁
Perasaan senasib biasanya memang menjadi pemicu sebuah ikatan itu menjadi lebih kuat lagi. Merasa berada di posisi yang sama, kemudian membangun sebuah kelompok untuk saling mendukung.
The Fantastic Four memang ada, tetapi sebelumnya tanpa nama. Julukan itu justru berasal dari guru-guru yang gemas dengan tingkah kompak mereka dalam keburukan.
Beberapa guru bahkan melabeli mereka dengan the most trouble maker di peringkat pertama dan Rajasa berada di peringkat kedua. Jika kebanyakan teman-temannya bermasalah di kelas XI, mereka justru mengawalinya sejak kelas X.
"Ris, ntar beneran dapat skorsing? Boleh nawar nggak?" tanya Randy yang memang terkenal paling lama tingkat berpikirnya.
"Entahlah, semoga saja dapat kortingan!" balas Faris.
"Ris, Kalau misalnya sekalian kita bikin rame gimana? Biar skorsingnya nggak nanggung-nanggung, dan jadi skorsing berfaedah nantinya."
"Heh! Kau pikir skorsing berfaedah itu macem gimana?" Faris menoleh dan menatap Randy dengan wajah sangarnya.
"Sekalian mulusin buat tawuran dengan anak STM. Kayaknya lumayan itu."
"Lumayan, sanksinya nggak bakal main-main. Bikin panjang umur tinggal di rumah terus. Makan, tidur, game, makan lagi, tidur lagi, game lagi, gitu terus sampai nanti impostor di antara kita ketemu!" Erza menimpalinya dengan tawa sumbang dan tak enak.
"Aku nggak bisa ikut, maaf! Sudah telanjur janji sama Bapak untuk nggak cari-cari masalah lagi!" Dito beranjak dan meninggalkan kerumunan di warung Mbak Rodiyah.
"Eh, mau kemana?" teriak Faris saat melihat salah satu temannya itu berlalu begitu saja.
Bukannya menjawab, Dito hanya melambaikan tangan dan tetap berjalan meninggalkan teman-temannya.
"Woi, Dit! Nggak usah belagak jadi anak manis dan penurut! Bobrok mah bobrok aja sekalian, nggak usah nanggung-nanggung mau berubah haluan pas udah sampe tengah jalan!" teriak Randy begitu melihat keseriusan Dito untuk pulang.
Meski ada kekecewaan, mereka tetaplah teman. Saat satu membutuhkan, yang lain akan segera hadir membantu. Harapannya, Dito hanya memutuskan ini secara terburu-buru kemudian akan kembali lagi di kemudian hari.
Sayangnya, Dito yang memang sudah berjanji pada sang ayah, apalagi setelah Biru mendatangi dan menjamin masa depannya sudah membulatkan tekad untuk berubah dan menjadi lebih baik lagi.
Dia ingat pada kata-kata sang ayah yang menginginkan putra tunggalnya itu sukses dan berhenti melakukan hal yang membahayakan diri.
Perlahan Dito mencoba untuk mengurangi kegiatan di luar rumah. Dia memilih untuk menemani ayahnya, merawat pekarangan, mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan perempuan, dan mencoba dunia baru yang diarahkan oleh Regan--sahabat dari Pak Biru.
Anak itu memilih untuk memulainya karena sang ayah memberi dukungan penuh. Meski akhirnya ada yang harus dikorbankan, setidaknya Dito tidak mengecewakan sang ayah untuk kedua kalinya.
Dia juga masih menerima jika teman-temannya menjauhi. Sebab, untuk sukses harus ada yang dikorbankan. Karena hidup itu pilihan, maka pilihan yang manapun tentunya yang dinilai baik dan membawa kebaikan untuk semuanya.
🍁🍁🍁
ANFIGHT BATCH 6
#DAY 14Bondowoso, 14 Januari 2021
Na_NarayaAlina
KAMU SEDANG MEMBACA
Memiliki Kehilangan ✔
General FictionAku seorang Biru, berharap meneduhkan setiap yang melihatku. Jika kalian hitam, berhentilah sekarang. Apakah kalian tahu? Dasar hitam itu adalah putih. Maka kembalilah pada putihmu. Namun bagiku, kalian adalah jinggaku. Pemberi warna dalam hidup, pe...