12 ~ Sedikit Memaksa

423 76 0
                                    

Jangan merasa keras kepala,
kenyataannya kepalamu tidak sekeras aspal.
Jangan merasa hebat,
kenyataannya mereka yang terhebat tidak merasa begitu.
Jangan merasa melangit,
kalau kenyataannya kau masih memijak bumi.

(L.K)

🍁🍁🍁

Biru membuka matanya, tetapi cahaya redup di kamarnya membuat pandangannya sedikit memburam. Beberapa kali mengerjapkan mata barulah dia bisa melihat dengan jelas.

Badannya terasa tidak enak, lengket dan sedikit gerah. Dia menoleh ke kanan dan mendapati sang ibu tengah terlelap dengan tangan kanan melingkari di perutnya.

Sementara itu di sudut kamarnya, dia melihat gundukan berselimut putih tengah terlelap di atas sofa. Jika benar perkiraannya, itu adalah tubuh sang ayah. Biru paham betul dengan tabiat keluarganya jika dia sedang sakit.

Si guru BK itu meraih ponsel di nakas sebelah kiri ranjang. Membuka grup SMAPSAFAM dan mengetikkan sebait pesan untuk keluarga keduanya itu

Me:
Alhamdulillah, saya sudah sampai di rumah dengan selamat
Mohon maaf atas keterlambatan pemberitahuan ini

SMAPSA Pak Jo
Alhamdulillah, anak bujang sudah ngabarin.
Bapak bisa tidur tenang.

SMAPSA Pak Aris
Alhamdulillah, selamat beristirahat, teman!

SMAPSA Pak Mad
Selamat malam, pak-bapak!
Selamat beristirahat

Me:
Selamat beristirahat ....

"Ada yang sakit, Dek?" Seseorang di samping Biru bergerak dan duduk bersandar di kepala ranjang.

"Nggak ada, Bu. Ibu lanjut istirahat saja. Adek sudah baikan." Biru beranjak dari tempat tidurnya.

"Mau ke mana?"

"Kamar mandi, sekalian wudu. Kan salatnya sudah ketinggalan banyak, Bu. Mau minta maaf dulu sama Allah."

Ibu Dewi tidak melanjutkan perdebatan dengan putra bungsunya itu. Dia memilih memejamkan mata sejenak sambil menunggu si bungsu kembali ke kamar. Bukannya terpejam sebentar, tetapi mata itu terpejam hingga azan subuh berkumandang.

Pagi hari di kelurga Anggara diramaikan dengan perdebatan antara ibu dan anak. Si bontot yang memaksa untuk ke sekolah dan sang ibu yang memintanya untuk tetap beristirahat karena suhu tubuhnya masih tergolong tinggi.

"Bu, Adek ada urusan. Tadi pagi Regan sudah telepon bersedia mau bantu salah satu siswa yang bermasalah."

"Nggak bisa, dari sore demamnya sampai ngigau nggak jelas gitu."

"Kasih izin saja, Bu. Anaknya juga sudah pecicilan kayak ulat nangka gitu berarti dia sudah setrong."

"Biar Abang yang anterin Adek ke sekolah. Nanti sore pulangnya juga sama abang, gimana?"

Biru mengangguk berkali-kali tanda setuju dengan ucapan sang kakak.

"Oke, Ibu kasih izin, tapi selama seminggu ini pulangnya ke sini. Bukan ke indekos! Nggak ada penawaran apa-apa lagi."

Biru terpaksa mengangguk dengan berat hati dari pada tidak mendapat izin, lebih baik diizinkan meski sedikit terkekang. Kakak-beradik itu akhirnya berpamitan dan menuju sekolah.

"Kalau ngerasa nggak enak segera telepon Bang Lano, Dek!"

Si bungsu keluarga Anggara itu mengacungkan jempol tanda setuju. Begitu mobil berhenti, dia langsung keluar, mengucap salam dan berlalu begitu saja. Bahkan Bang Lano saja belum membalas salamnya.

Memiliki Kehilangan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang