Part 3 [ Atha Hafizh Al-Farezi ]

186 17 0
                                    

"Uhibbuki mitsla maa anti ... uhibbuki kaifa maa kunti, wa mahmaa kaana mahmaa shooro ... anti habibati anti, zaujati ... anti habibati."

Seorang pemuda bersenandung kecil sembari menyiram tanaman yang berada di pelataran rumah. Lagu itu adalah lagu favorit yang selalu dinyanyikan, meski belum beristri. Dia menggunakan pakaian santai dan sarung yang membelit di pinggangnya.

Lelaki berkumis tipis itu menyeka keringat pada keningnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia mengalami kelelahan walau hanya melakukan kegiatan kecil. Dia mengucap istigfar dan bersandar di pembatas antara rumah dan pesantren. Rumahnya memang berada tepat di samping pesantren.

Terkadang ketika dia berada di luar rumah, banyak santriwati yang mencuri pandangan manusia tampan tersebut, meski pemuda itu tampak tidak memedulikan mereka. Namun, di dalam pikirannya tertuju pada seorang gadis yang beberapa hari lalu di pesantren. Mungkin pemilik gigi gingsul itu masih terasa asing dengan kondisi baru di sana.

"Gus Atha ...."

Dia menoleh mendapati pria paruh baya yang selalu menjadi motivasi bagi dirinya, yakni Kiai As'ad. Awalnya pemilik senyum manis itu dan Kiai As'ad hanya berkomunikasi secara online dikarenakan dia kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung. Pemilik mata tajam itu mendapat jalur beasiswa di sana karena itulah dia masih merasa asing di Kota Malang.

Manusia tampan itu adalah Atha Hafizh Al-Farezi, dia berusia dua puluh dua tahun dengan memiliki tingkat ketampanan yang membuat para wanita terpesona. Pemilik hidung mancung itu mempersilakan Kiai As'ad untuk duduk di teras rumahnya untuk berbincang-bincang.

Entah apa yang membuat Atha mengagumi sosok di depannya itu. Dia selalu mengamalkan ajaran yang disampaikan oleh beliau. Tiba-tiba, Farhan-ayah Atha-terkejut dengan kehadiran temannya itu. Tak lupa disambut dengan senyuman dan teh manis.

"Ada perlu apa, Kok repot-repot ke sini?" tanya Farhan.

Kiai As'ad berkata, "Aku ke sini mau nyuruh putramu untuk ngajar di pesantren."

Atha yang berada di dalam rumah pun tergelak dan keluar menuju teras. "Astaghfirullah, afwan, Kiai. Ana belum berpengalaman," sahutnya.

"Nggak papa, lagi pula anta 'kan lulusan Ushuluddin. Untuk apa ilmu jika tidak dimanfaatkan?"

Atha menunduk, dia juga sempat berpikir, untuk apa ilmu jika tidak dimanfaatkan? Namun, bukan hanya itu, dia merasa tidak pantas menjadi pengajar di pesantren. Ilmu yang masih rendah dan sering dikuasai oleh penyakit hati, itulah yang mengganjal di pikiran pemuda berkulit putih tersebut.

Sayup-sayup terdengar suara azan Zuhur di musala, hal itu menghentikan semua aktivitas yang dilakukan oleh beberapa santri. Begitupula dengan mereka bertiga yang menjawab suara azan dengan jawaban lirih.

Diriwayatkan dari sebuah hadis: "Hendaklah kamu mendiamkan diri ketika azan, jika tidak Allah akan kelukan lidah ketika maut menghampirinya." Kiai As'ad pun pernah berceramah dengan isi seperti itu agar semua orang bisa mengamalkan isi dari hadis tersebut.

"Alhamdulillah, kita lanjutkan nanti, mari salat terlebih dahulu!" ajak Kiai As'ad yang diangguki oleh Atha dan Farhan.

"Istikharahlah terlebih dahulu, sebelum memutuskan apa pun!" anjurnya pada Atha sambil menepuk pundak pemuda tersebut.

Atha menatap punggung pria paruh baya itu dengan tatapan sendu, kini dirinya telah dilanda kebingungan. Farhan yang melihat itu pun langsung menepuk pundak anaknya dengan kasih sayang dan berkata, "Benar kata Kiai As'ad, istikharahlah! Ayah selalu mendukung keputusanmu."

Farhan selalu mendukung apa pun keputusan anaknya selagi itu baik dan tidak melenceng dari syariat Islam. Meski hampir berkepala empat, pria itu masih terlihat cukup muda. Dia selalu memberikan kasih sayang yang cukup sebagai seorang ayah dan ibu bagi Atha.

Sebagai seorang ayah, dia memberi nafkah untuknya, sedangkan sebagai seorang ibu, dia memberi kasih sayang dan dudukkan yang cukup untuk Atha. Dikarenakan ibu dari pemuda itu telah meninggal ketika usia Atha masih enam tahun. Meski dia tidak pernah membiayai di kala kuliah karena semuanya telah ditanggung oleh pemerintah, tetapi sebulan sekali Farhan menyempatkan diri untuk mengunjungi Kota Bandung untuk menjenguk sang anak.

Pemuda tampan itu bersyukur memiliki seorang ayah seperti Farhan yang selalu mendukung keputusannya dan tidak mengekang agar menuruti keinginan ayahnya. Namun, di dalam lubuk hati Atha, dia masih bingung. Apa yang menyebabkan ibunya meninggal? Farhan pun tidak pernah memberitahu tentang penyebab kematian Refa-ibunya. Entahlah, intinya tidak mengurangi rasa syukur dalam kehidupan manusia tampan tersebut.

Atha mengangguk dan tersenyum. "Syukron, Yah, atas semuanya."

"Ya sudah, ke musala, gih! Udah ditunggu sama calon mertua," canda Farhan yang membuat jantung Atha berdegup kencang.

Mendengar kata calon mertua membuat dirinya kepikiran dengan putri bungsu Kiai As'ad. Sejak awal pertemuan dengan gadis salehah itu, di dalam sujudnya selalu menyebut nama gadis tersebut.

Farhan yang melihat Atha terdiam pun segera menegurnya karena terdengar suara iqamah di musala. Pemuda bersarung itu tergopoh-gopoh mencari koko serta peci di dalam rumahnya.

"Adiba Syakila Dinata ...," gumamnya dengan setengah berlari menuju mushala.

Catatan :

Terjemah lagu di atas :
"Aku mencintaimu apa pun dirimu ... aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu. Apapun yang terjadi dan kapanpun ... engkaulah cintaku. Duhai istriku ... kaulah kekasihku."

Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang