Part 9

155 14 0
                                    

Hidup di masa ketika harta dan tahta menjadi acuan pertama kehidupan seseorang itu membuat insan yang berpangkat sederhana kehabisan sebuah kata-kata untuk membela. Namun, berpangkat tinggi di dunia entah apa artinya di mata Tuhan.

Seorang pria berjubah putih tengah dilanda kegundahan hati, resah, dan bimbang. Memutuskan perkara yang sulit, antara kebahagiaan dan keterpurukan seorang anak, itulah konsekuensinya. Tangannya menengadah mengharapkan sebuah petunjuk dari Sang Pengatur Kehidupan.

Saat ini menunjukkan pukul 02.00. Meski telah bersimpuh selama tiga jam lebih, dia tidak merasa lelah sekalipun. Pria itu adalah Kiai As'ad. Mengingat kejadian kemarin sore yang membuat hatinya tidak tenang.

.

.

.

"Keputusan saya tetap bulat, tetap melangsungkan acara resepsi." Haris memutuskan perkara itu yang hanya memikirkan kebahagiaan anaknya—Ibnu.

"Jika kalian memutuskan tanpa melibatkan saya, bisa saja kalian saya tuntut ke jalur hukum karena mempermainkan ritual suci ini," sambungnya.

Mereka yang berada di sana pun hanya terdiam karena bingung akan menjawab apa. Jelas-jelas di dalam hati mereka bertiga menolak keputusan Haris yang tidak mau diganggu gugat. Entah apa yang berada di pikiran Haris, yang jelas dirinya tidak setuju karena akan merusak reputasi serta membuang-buang uang yang telah digunakan untuk persiapan.

Haris menarik lengan Wardhana, sebelum beranjak dia berucap, "Saya tidak memedulikan apa pun atau siapa pun yang menjadi penghalang pernikahan ini."

Kiai As'ad dan Fatimah mengembuskan napas beratnya. Di dalam hati, mereka berdua merasa bersalah karena keputusannya yang mendadak inilah yang membuat semuanya menjadi kacau. Jika saja mereka masih mendengar penjelasan Adiba, pasti semuanya tidak akan pernah terjadi.

.

.

.

Pria paruh baya itu masih setia dengan lantunan zikir yang dia ucapkan meski lirih. Dia memejamkan mata seraya berdoa, "Bismillahirrahmanirrahim ... Ya Allah. Berilah ketenangan dalam hati untuk memutuskan suatu perkara, berilah sebuah petunjuk untukku sang fakir ilmu ini. Tanpa bantuan dari-Mu, apadaya hidupku menjadi seperti saat ini."

Setelah itu dia bangkit menuju ke istrinya yang telah larut dalam mimpi. Kiai As'ad menatap wajah damai Fatimah yang terlelap, seketika pula hatinya ikut damai.

***

Keesokan harinya, Adiba melakukan aktivitas seperti hari-hari biasa, yakni membantu para ustaz-ustazah di pesantren untuk mengajar. Beberapa hari ke belakang dia meminta ayahnya agar diizinkan untuk ikut mengajar, pada awalnya Kiai As'ad menolak keras. Namun, berkat bujukan Adiba yang memelas itu membuat hatinya merasa tidak tega.

Gadis bergamis motif bunga itu bersenandung kecil sembari berjalan menuju ruangan para pengajar. Gamis yang dia pakai menggambarkan suasana hatinya saat ini, berbunga-bunga. Adiba menyapa semua yang melewatinya.

"Assalamualaikum," ujarnya setelah sampai di depan pintu ruangan.

Semua yang berada di sana pun menoleh seraya menjawab salam yang diucapkan Adiba. Melihat wajah gadis di depan mereka yang berseri-seri itu, tentu membuat para ustaz-ustazah terheran-heran. Namun, berbeda dengan Atha, dia yang sedari tadi memerhatikan Adiba dengan jarak cukup jauh itu hatinya ikut menghangat melihat senyuman gadis yang berhasil memikat hatinya.

Ketika tatapannya bertubrukan dengan Adiba, Atha segera mengalihkan pandangannya. Hal itu membuat keduanya salah tingkah.

"Apa yang membuat wajahmu terlihat berseri-seri, Ning?" celetuk seorang ustazah yang bernama Fauziah.

Adiba tersenyum tipis seraya berkata, "Umar bin Khattab pernah berkata, sesungguhnya kebajikan yang paling ringan adalah menunjukkan wajah berseri-seri dan mengucapkan kata-kata lemah lembut."

"Masyaallah, manjiw, Ning," sahut Atha tanpa sadar.

"Manjiw?"

"Mantap jiwa, haha," jawab seseorang yang duduk di samping Atha—Fauzan.

Adiba tertawa lebar yang membuat mereka memandanginya karena jarang sekali Adiba tertawa seperti itu. Di dalam hati mereka turut bahagia. Gadis yang tertawa itu seketika menghentikan tawanya karena sadar dirinya tengah diperhatikan.

"Assalamualaikum," ujar seseorang membuat semuanya menoleh ke arah pintu terdapat Kiai As'ad dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak.

Mereka semua pun menjawab salam dan memberi hormat untuknya. Tanpa sepatah kata pun, Kiai As'ad menarik lengan Adiba untuk keluar. Di lain sisi, ekor matanya menyuruh Atha untuk mengikutinya.

Atha yang masih bingung pun memilih mengikuti perintah Kiai As'ad, tepatnya calon mertua meski belum diberi sebuah kepastian.

Mereka bertiga mengendarai mobil dengan keheningan melanda. Adiba yang duduk di jok belakang mobil itu pun hanya menunduk, entah masalah apa yang akan melandanya lagi. Tiba-tiba, Kiai As'ad menyuruh Atha untuk memberhentikan mobilnya di sebuah rumah. Dengan langkah gontai Adiba mengikuti dari belakang, firasat yang dirasakan gadis itu sangat tidak mengenakkan ketika menyadari bahwa yang dia datangi adalah rumah Ibnu.

"Assalamualaikum." Suara Kiai As'ad terdengar lumayan remang di telinga Adiba dan Atha. Memang, mereka berdua menunggunya di luar rumah sesuai permintaan Kiai As'ad.

"Ini ... rumah siapa?" tanya Atha dengan ragu.

Adiba menoleh dengan tatapan kosong. "Ibnu," lirihnya.

Pemuda berkoko putih itu beranjak menuju mobil untuk mengambil air mineral yang tidak sengaja dia lihat tadi. Setelah itu dia tersenyum kecil dan akhirnya memberikannya kepada Adiba. Dia tahu, gadis di depannya itu tengah linglung dengan apa yang terjadi.

Gadis cantik itu berdiri terpaku di tempatnya beberapa saat. Dahi Adiba membentuk kerutan, tetapi di dalam tubuhnya seakan terpenuhi kupu-kupu beterbangan.

"Minum," ujar Atha yang menyadarkan gadis berhijab itu.

Adiba mengangguk seraya menerima botol mineral dan segera meneguknya. Aktivitas mereka terhenti di kala mendengar suara pecahan gelas dari dalam rumah Ibnu. Perasaan Adiba sangat khawatir, dia berlari ke dalam rumah itu tanpa memedulikan Atha yang berteriak memanggilnya.

"Lantas, apa bedanya dengan anda, Tuan Haris yang terhormat? Di dalam hukum Islam, tidak dilarang membatalkan pernikahan yang berujung paksa bukan bahagia."

Langkah gadis bermata tajam itu terhenti di kala melihat tubuh Kiai As'ad terkapar lemah dengan jubah yang dikenakan terdapat darah yang merembes keluar. Tatapannya tertuju pada ayah Ibnu yang berdiri tegak penuh kesombongan. Tanpa mengambil kesimpulan, Adiba telah mengetahui bahwa yang menyebabkan ayahnya seperti itu adalah Haris.

"B—berapa pun anda meminta ganti rugi, saya siap menggantinya!" Setelah mengatakan itu, Kiai As'ad berdiri dan melangkah dengan terseok-seok.

"Abi ...."

Adiba mendudukkan kembali Kiai As'ad dan berjalan menuju Haris. Dia berkata, "Perbuatanmu tidak patut dicontoh untuk siapa pun, Tuan Haris. Perbuatan keji yang kau lakukan akan mendapat balasan dari yang di atas."

Gadis itu beranjak memanggil Atha untuk membantu ayahnya untuk berjalan. Setelah itu, dia berjalan sendiri tanpa memakai alas kaki. Adiba tidak sanggup ketika harus melihat Kiai As'ad yang terluka seperti tadi.

Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang