Part 6 [Merasa Bersalah]

167 19 0
                                    

Seharian penuh Adiba masih belum tampak batang hidungnya membuat keluarga kelimpungan khawatir. Berkali-kali mereka menggedor pintu kamar gadis itu, tetapi tidak ada sahutan. Meskipun begitu, keadaan di rumah utama tetaplah ramai karena persiapan pernikahan yang akan digelar lusa.

"Apa sebaiknya kita diskusikan terlebih dahulu dengan Adiba?" tawar Hisyam.

Kini, Kiai As'ad, Fatimah, serta Hisyam tengah duduk di ruang tamu untuk mencatat keperluan yang akan dibutuhkan. Mendengar perkataan putranya itu, mereka berdua menghentikan aktivitas kemudian menatap pemuda itu dengan ragu.

Hisyam yang ditatap seperti itu pun refleks menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sungguh, ini semua lebih menegangkan dibanding menunggu hasil skripsi saat kuliah, hatinya berbicara.

Sebenarnya niat awal pemuda berambut basah itu karena dia tidak tega melihat kondisi adiknya saat ini dan rencana yang disusun dari awal hasilnya gagal total. Di dalam hati, dia ingin mencari tahu kebenaran yang terjadi saat kejadian di taman belakang antara Adiba dengan Ibnu.

"Hehe, ana salah ngomong, ya?" Hisyam tersenyum memperlihatkan gigi putih rapi miliknya.

Fatima tersenyum seraya menggeleng. "Enggak, Sayang. Kita melakukan semua ini demi kebahagiaan Adiba," ujarnya.

"Kebahagiaan?" beo Hisyam dengan senyum miring terbit di bibirnya. "Lihatlah Adiba sekarang, dia terlalu memikirkan semua ini malah membuat kondisinya drop," ujarnya pelan.

Kiai As'ad dan Fatimah saling memandang lalu terdiam. Memang, mereka berdua belum melihat keadaan putrinya itu. Bagaimana bisa mereka berdua melihat jika kamarnya selalu terkunci? Kedua pasangan itu mengerti bahwa Adiba menginginkan kesendirian terlebih dahulu karena keputusan mendadak tersebut.

Kiai As'ad menghela napasnya panjang. "Nanti kita bicarakan dengan Adiba terlebih dahulu." Finally, Hisyam yang mendengar itu pun tersenyum puas.

Di sisi lain, perasaan seorang pemuda tengah dilanda kegembiraan tersendiri. Senyum pun tak henti-hentinya pudar di bibirnya. Di dalam pikirannya telah membayangkan bagaimana yang akan terjadi saat pernikahannya bersama gadis yang ia cintai.

"Ibnu ...."

"Eh, iya, Bu?" Pemuda itu gelagapan sendiri karena kepergok oleh Wardhana.

"Sebenarnya apa yang kamu lakukan itu salah, Nak."

Tatapan Ibnu yang hangat, kini mulai memudar. Mengingat apa yang dia lakukan kemarin membuatnya merasa tidak tenang. Bukan cinta yang pemuda tampan itu rasakan, tetapi rasa obsesi untuk menggenggam lagi. Mungkin hanya karena kesepian tanpa hadirnya cinta yang membuat Ibnu seperti itu.

Ibnu menatap sekali lagi wajah teduh milik Wardhana, cinta pertama baginya. Mendengar penuturan sang ibu membuat Ibnu cukup ragu dengan tindakan yang dia lakukan saat ini. Salah, pemuda bermata tajam itu juga menyadari bahwa apa yang dia lakukan itu salah, kelewatan bataslah semestinya.

"Cinta itu tidak dapat dipaksa, Nak. Cobalah mencintai dengan ikhlas tanpa menuntut dan jangan lupa bermuhasabah diri."

Ibnu mengangguk seraya berkata, "Semuanya susah ketika dijalani, Bu."

"Tidak ada yang susah sebelum dicoba," ujar Wardhana seraya pergi meninggalkan Ibnu yang termenung menatap suasana dari jendela kamarnya.

***

Suara azan menyadarkan kesadaran Adiba yang sedari tadi terdiam. Senandung yang terlantun indah di telinga. Gadis berwajah cantik itu segera mengambil air wudu untuk menunaikan salat di musala.

Sebelum keluar dari kamar, dia menghirup napasnya panjang. Kemudian Adiba melangkah keluar tanpa menatap siapa pun yang berada di sana, termasuk Kiai As'ad dan Fatimah. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya paling dalam, gadis itu merasa bersalah dengan sikapnya yang egois.

Seperti biasa, gadis cantik itu memasang topeng dengan senyuman manis terbit di wajahnya ketika para santri menyapanya. Adiba mengernyitkan dahi ketika mendengar lantunan pujian indah setelah azan, dia merasa asing dengan suara yang terlantun. Biasanya Adiba sangat hafal dengan suara santri-santri di Pesantren Ar-Roudhah.

"Assalamualaikum, Ning Diba," ujar seseorang yang membuatnya menoleh.

Gadis cantik itu tersenyum di kala melihat siapa yang memanggilnya, Ustazah Kia—pengajar ilmu nahwu. "Waalaikumussalam, Ustazah," ujarnya santun.

"Bagaimana kabarnya, Ning? Ana mendengar kabar katanya Ning Diba akan menikah, ya?"

Adiba terdiam saat itu, lalu dia membuang napasnya kasar dan tersenyum. "Alhamdulillah, khair."

Kia yang melihat itu pun tersenyum kecil, wanita bergamis hitam itu mengerti apa yang dirasakan Adiba. Terlihat dari sorot mata dan hati yang berbicara, Kia memang memiliki kemampuan mendengar ungkapan hati seseorang hanya dengan melihat wajah.

"Ungkapkan semuanya sebelum benar-benar terjadi, Ning."

Gadis yang menunduk itu mengangguk ragu. Sungguh, jika berhadapan dengan seseorang seperti Ustazah Kia, Adiba sangat takut.

"Allahu Akbar Allahu Akbar ...." Suara ikamah terdengar, para jamaah pun berdiri segera mengikuti gerakan imam.

Musala di pesantren itu digunakan untuk siapa pun meski bukan santri, banyak yang berdatangan. Terkadang mereka berebut barisan salat terdepan untuk mendapat barokah dari imam salat—Kiai As'ad.

***

"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah yang Maha membolak-balikkan hati, betapa lemah diriku ini hanya untuk memutuskan sebuah perkara. Berilah diri ini petunjuk yang indah sebelum hari itu benar-benar terjadi ...."

Gadis bermukena putih itu masih setia bersimpuh di gelaran sajadah. Padahal sudah lama dia berada di posisinya, tetapi menurut Adiba tidak ada kata lelah untuk berzikir mengingat Tuhan.

Air matanya kembali menetes saat mengadukan segala keluh kesah kepada Allah. Meski tanpa suara, hatinya terus berbicara tanpa henti. Pemilik mata tajam itu menutup mulutnya ketika tangisnya mulai terdengar sesenggukan. Beruntung saat ini kondisi musala telah sepi.

"Ning Diba ...."

"Ning ...."

"Assalamualaikum, Ning Diba."

Seseorang itu memanggil berkali-kali gadis yang menghadap ke arah kiblat itu, tetapi tidak ada sahutan. Sebenarnya gadis cantik itu ingin menoleh, melihat kondisi matanya yang bengkak, dia menjadi malu.

Perlahan Adiba menoleh mendapati pemuda yang duduk sedikit jauh darinya. Pemuda berpeci itu tersenyum manis membuat Adiba terhipnotis akan senyumannya.

"Perkenalkan nama ana Atha Hafizh Al-Farezi, bisa dipanggil Atha."

Tidak ada sahutan dari gadis yang menunduk itu membuatnya bersuara lagi, "Kenapa, Ning? Ada masalah?"

Adiba menggeleng seraya tersenyum tipis. "Tidak ada, kok."

"Jangan terlalu terpuruk dengan nasib karena pengatur hidup manusia telah merencanakan alur yang indah di hari esok."

Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang