Part 02 [Simpang Versi Santri]

240 27 1
                                    

Adiba menatap lekat pada seorang pemuda yang terasa asing di matanya. Pemuda itu terlihat manis dengan senyuman yang menghias di bibirnya. Dia tengah berbicara dengan tukang sayur langganan pesantren. Sepertinya dia orang asing di pesantren ini, pikir Adiba.

Namun, dalam benak gadis berhidung mancung tersebut masih bertanya-tanya, sebenarnya siapa pemuda di sana? Kenapa baru melihat sekarang? Seketika dia sadar akan pandangannya itu, lalu mengalihkan ke arah santriwati yang tengah menghafal kitab Imriti karena hampir mendekati ujian pondok.

ﺍَﻟﺤْـَــﻤْﺪُﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّــــــــﺬِﻯ ﻗَــــﺪْ ﻭَﻓَﻖَ  ***  ﻟِﻠْﻌِﻠْﻢِ ﺧَﻴْﺮَ ﺧَــــــــﻠْﻘِﻪِ ﻭَﻟﻠِﺘُّﻘَﻰ
ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﺤَﺖْ ﻗُﻠُـــــــﻮْﺑــُﻬُﻢْ ﻟِﻨَـــﺤْﻮِﻩِ  ***  ﻓَﻤِﻦْ ﻋَﻈِﻴْﻢِ ﺷَﺄْﻧِﻪِ ﻟَﻢْ ﺗَــــــﺤْﻮِﻩِ
ﻓَﺎُﺷْﺮِﺑَﺖْ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﺿَﻤِﻴْﺮِ ﺍﻟﺸَّﺎﻥِ  ***  ﻓَﺄُﻋْﺮِﺑَﺖْ ﻓِﻰ ﺍْﻟﺤَﺎﻥِ ﺑِﺎْﻻَﻟْﺤَﺎﻥِ
ﺛُﻢَ ﺍﻟــﺼَّﻼ َ ﺓُ ﻣَﻊْ ﺳَـــﻼَﻡٍ ﻻَﺋِـــــﻖِ  ***  ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺍَﻓْﺼَـــــــﺢِ ﺍْﻟﺨَﻼَﺋِﻖِ

Terjemahan :
"Segala puji bagi Allah yang maha *** Penolong makhluk dengan ilmu dan takwa
Hingga hatinya menuju kepada-Nya *** Tanpa dapat memuat kebesaran-Nya
Kalimat tauhid dimasukkan hatinya *** Lalu hati bergembira sepenuhnya
Sholawat salam tercurah pada Nabi *** Yang berpredikat Afshohil kholaiqi"

Mereka membaca itu dengan nyanyian merdu yang dilantunkan bersama-sama. Kebersamaan itulah khas santri yang membuat mereka nyaman berada di penjara suci itu. Meniti jalan menuju surga dengan berjuang di jalan yang benar.

Kegiatan mereka terhenti di kala Adiba ikut duduk di kerumunan itu. Mereka tersenyum dan menunduk pertanda menghormati. Gadis berbulu mata lentik tersebut membalasnya dengan senyuman cantik menghiasi wajahnya.

"Shobahul kherr, Ukhti."

"Shobahunnur, Ning Diba."

"Mangga, dilanjutkan," ujar Adiba.

Mereka kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti itu. Sesekali Adiba membenarkan mereka yang salah sedikit. Dalam hatinya, ingin mengulang sekali lagi masa-masa menjadi santri di Pesantren Lirboyo, Kediri.

Di Pesantren Lirboyo, metode pengajarannya memakai cara tradisional. Puluhan ribu santri menetap di sana untuk menuntut ilmu.

Banyak pengalaman yang dia dapatkan dari semua itu, dari teman sampai pembelajaran baru. Di sana, Adiba terkenal dengan gadis yang hangat, santun, serta murah senyum. Bahkan, banyak prestasi yang diraih oleh gadis berhati lembut tersebut.

"Ana pamit dulu, yah, Ukhti. Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Ning."

Mereka menatap kagum punggung Adiba yang semakin menjauh. Sungguh, kecantikannya itu bak bidadari yang jatuh dari kayangan. Berhati mulia serta sikapnya yang tawadhu membuat Adiba menjadi motivator bagi santriwati. Layaknya seorang wanita yang selalu menjaga mahkota serta kehormatan.

Saat di perjalanan, Adiba bersimpangan dengan seorang pemuda yang memenuhi pikirannya sedari tadi. Pemuda yang berbicara dengan tukang sayur. Sekarang penampilannya pun berbeda, memakai pakaian casual dengan topi yang terdampar di kepalanya.

Adiba mempercepat derap langkah kakinya, tetapi ketika sudah cukup jauh, namanya terpanggil oleh seseorang. Dia menoleh, ternyata pemuda gaul tersebut.

Adiba menunduk dan menghampirinya. "Naam, Khi. Ada perlu apa, yah?" tanyanya.

Pemuda itu tersenyum lalu berkata, "Nama anti, siapa?"

"Adiba Syakila Dinata," ujarnya sambil berlalu begitu saja, menurut Adiba itu semua hanyalah membuang-buang waktu. Namun, hal itu mampu membuat jantung pemuda tampan itu berdegup kencang. "Benar-benar idaman," gumamnya.

***

Di rumah utama terlihat tengah menerima tamu, Adiba yang tidak menyadari pun langsung menerobos ruang tamu tanpa menoleh. Dia masih kesal kepada pemuda tadi, bagaimana bisa hanya menanyakan hal tidak penting seperti itu. Tahu gitu, Adiba tidak menanggapinya.

Pemilik mata tajam itu berjalan dengan menggerutu, itu semua tidak luput dari pandangan semua orang yang berada di sana. Sungguh menggemaskan!

"Diba," panggil Hisyam yang menyadarkan gadis berhijab ungu tersebut akan tingkahnya.

Seketika matanya melotot malu melihat tamu yang duduk di sana. Matanya yang lebar disertai hiasan celak membuat semua yang melihatnya pun terpesona.

"Eh, afwan, semuanya." Adiba tampak kaku dan ikut serta duduk di samping Hisyam. Dia mengalihkan pandangan di kala tatapannya bertubrukan dengan Ibnu.

"Jadi?"

"Keputusan kami tidak ingin memaksa Adiba untuk menerima ataupun menolak. Jadi, yang mengambil keputusan ini hanyalah Adiba," sahut Hisyam.

"Bagaimana keputusanmu?" tanya Kiai As'ad.

Manusia cantik itu mendongakkan kepala, tetapi dalam hatinya berdoa agar keputusan ini adalah yang terbaik. Dia menggeleng. "Ana ingin membatalkan pernikahan ini," lirihnya.

Orang tua Ibnu—Haris dan Wardhana—terkejut dengan keputusan Adiba. Mengapa terburu-buru memutuskan, padahal Adiba adalah menantu idaman bagi mereka. Tak terkecuali Ibnu, dia juga terkejut, tetapi dalam hati bersorak bahagia.

"Mengapa?" tanya Haris yang disahuti oleh Hisyam dengan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Cinta itu bisa datang karena terbiasa," pungkas Wardhana menatap wajah teduh milik Adiba.

Sontak dia menggeleng dan berkata, "Tidak, cinta itu tidak bisa dipaksakan. Jika salah satunya sakit, apa peduli dia? Apalagi soal hati, hidup memang pilihan, tapi hati tidak untuk dipilih. Mengapa? Karena cinta tumbuh karena hati yang ikhlas, percuma jika nantinya juga cinta, tapi terbagi dua. Keputusan ana sudah bulat, tolong hargai keputusan ana!" Dia beranjak dengan mata berkaca-kaca meninggalkan mereka yang mematung karena ucapan Adiba menohok hati Ibnu dan orang tuanya.

"Afwan semuanya, hargai keputusan Diba, yah! Namun, jangan sampai dari kalian merasa menyesal dengan perubahan sikap Adiba," sahut Hisyam karena tidak tega melihat adiknya yang begitu.

Kiai As'ad tersenyum, ternyata putra-putrinya sudah bisa mengambil keputusan dengan tepat. Meski tidak membuatnya bahagia, tentu tidak memaksa pihak kedua untuk turut mencintai.

Di dalam hati Ibnu, dia merasa sesak mendengar penuturan Adiba tadi. Apa dirinya berharap? Akan tetapi, mengapa dia bilang kalau tidak mencintai gadis itu? Atau malu akan mengakui perasaan yang tertutupi oleh ego? Entahlah.

Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang