Part 12 - Dia yang Sederhana

237 21 0
                                    

Sepasang netra memandang sayu objek di depan matanya yang tengah tertidur pulas. Dalam hati, dia tidak pernah menyangka bahwa takdirnya sungguh di luar dugaan serta dirinya sendirilah yang menjemput takdir itu.

Tangan berotot itu terulur menyentuh pipi yang basah karena peluh. Diucapkannya doa dengan lirih seraya mengecup dahi istrinya seraya bersyukur di dalam hati.

Pagi itu cuaca yang begitu dingin membuat kedua insan itu kembali menjemput alam mimpi. Sebelum tidur kembali, sepasang suami istri tersebut melaksanakan ibadah wajib, yakni salat Subuh. Entah apa yang membuat mereka kelelahan.

"Syukron katsir, Zaujati," bisik pria itu seraya menarik istrinya ke dalam dekapan.

Mereka berdua adalah Adiba dan Atha, sepasang suami istri yang telah menunaikan kewajiban sebagai seorang pasangan halal. Tak lama kemudian, Atha ikut terlelap dengan kepala yang disandarkan pada kepala Adiba.

***

Waktu berjalan begitu cepat menunjukkan pukul 11.00 artinya matahari berada tepat di atas kepala. Suasana yang cukup sejuk membuat rindangnya pepohonan yang bergesekan karena terpaan angin.

Kicauan burung di balkon kamar membuat seorang wanita sadar dari alam mimpinya. Dia menggeliat pelan seraya membuka mata, disambut dengan pemandangan sangat indah yang membuat rona merah pada pipi wanita itu.

Wanita itu adalah Adiba, dia bangkit untuk merapikan semuanya yang berantakan, termasuk dirinya. Tanpa dia sadari, suaminya yang telah sadar dari tidurnya. Senyuman merekah di sela-sela selimut yang menutupi tubuh Atha ketika melihat sang istri yang begitu cantik dan sederhana itu.

Kisah mereka bukan tentang pernikahan mut'ah, bukan pula pernikahan paksa. Melainkan pernikahan atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Wanita itu tak henti-hentinya melempar senyum di depan cermin.

Adiba menahan napas di kala suaminya memeluk dari belakang, mencoba mengatur debaran jantung yang tiba-tiba berubah menjadi kencang. Dalam hati berharap semoga Atha tidak merasakan debarannya itu. Dia tidak tahu harus berbuat seperti apa. Nampak jelas wajahnya yang memerah padam karena malu.

"Lepaskan, Mas!" lirih Adiba dengan wajah yang menunduk.

Pria beristri itu malah meletakkan dagunya di bahu kiri milik Adiba seraya menggeleng. Dia memejamkan mata sekejap menikmati kenyamanan bersandar di bahu istrinya. Setelah itu, Atha memberanikan diri untuk mengusap rambut Adiba. Awalnya dia ragu untuk melakukan itu.

"Cantiknya istriku," puji pria itu.

Adiba yang tidak tahan lagi dengan panas di wajahnya pun segera membalikkan diri dan menyembunyikannya di dada bidang milik suaminya. Namun, dalam sekejap, dia memekik tertahan karena Atha menggendongnya menuju sofa.

Kesederhanaan dalam sikap dan tampilan Adiba membuat suaminya merasa bahagia, serta cara mencintai ala mereka pun juga sederhana, perantara untaian doa.

"Aku melangkah menuju penjuru dunia untuk menemukan jalan takdir. Rasa tidak menyangka masih terbekas dalam hati dengan takdirku saat ini, yaitu kamu, kamulah takdirku yang Allah atur di lauhul mahfuz." Atha berujar sembari mendudukkan istrinya di sampingnya.

"Hm, terima kasih untuk segalanya, Zaujii," balas Adiba.

Atha tersenyum seraya mengucapkan doa di atas ubun-ubun istrinya, sedangkan Adiba memejamkan mata ikut berdoa.

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....

Aktivitas keduanya terhenti di kala mendengar suara azan Zuhur yang merdu. Mereka menjawab jawaban azan yang seharusnya diucapkan ketika mendengarnya.

Setelah azan berkumandang, mereka berdua dapat Zuhur berjamaah di rumah. Awalnya, Adiba mengajak untuk berjamaah di musala, tetapi Atha menolaknya karena alasan tertentu. Wanita itu hanya diam dan menurut, dia mencoba menjadi istri yang baik dan tidak membangkang apa yang diucapkan suaminya.

Hakikatnya seorang istri adalah menurut kepada suami yang akan mendapatkan surga, sedangkan hakikat seorang suami adalah yang membimbing istri untuk menuntunnya menuju jalan yang benar.

Beruntung rasa cinta di antara mereka tumbuh seiring berjalannya waktu. Memang, awalnya Adiba masih ragu dengan perasaannya sendiri, ragu dengan pemilik hatinya saat itu. Berkat jawaban dari istikharahnya, dia yakin bahwa Atha-lah yang membuatnya jatuh cinta lagi. Wanita itu bersyukur akan indahnya nikmat pacaran setelah menikah.

"Robbanna hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a'yun, waajalnaa lilmuttaqiina imaama. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai kebahagiaan hati (kami) dan jadikan lah kami imam bagi orang-orang (anggota keluarga) yang bertaqwa."

Atha membalikkan badannya dan mencondongkan tangan, Adiba pun langsung mengecup tangan suaminya itu dengan cukup lama seraya berkata, "Mohon bimbingannya, Mas. Ridhoi Adiba dengan ridhomu."

"Aamiin, insyaallah akan Mas bimbing menuju jalan yang benar. Tegur Mas jika caranya salah, Sayang."

"Ayo keluar, udah siang, nih," ajak Adiba yang diangguki oleh Atha.

Setelah melipat mukena dan sajadah, wanita itu menyusul langkah Atha yang telah mendahuluinya sebab dia yang menyuruh. Terlihat Kiai As'ad dan Fatimah saling melempar tawa di depan televisi, entah menonton film apa.

Adiba berhenti sejenak di pertengahan jalan, memandang wajah keduanya yang mulai berkeriput itu tersenyum, membuat hatinya menghangat. Dalam hati dia bersyukur memiliki kedua orang tua seperti mereka. Orang tua yang membimbing dengan penuh kesabaran dan ikhlas, tidak menuntut kepada anaknya atas segala capaiannya.

'Ya Allah, bukakan pintu surga untuk mereka.' Dalam hati dia berdoa sembari melanjutkan perjalanannya menuju Atha yang ikut bergabung dengan kedua orang tuanya.

Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang