"Kenapa kita sulit untuk bahagia?"
Sekalipun dengan mata terpejam, Adiba masih meracau tidak jelas. Suhu badannya tinggi dan perutnya tidak mau menerima makanan apa pun. Gadis berwajah pucat itu berada di kamar dalam keadaan terkunci, dia kecewa dengan semuanya. Mengapa mereka langsung memutuskan perkara, padahal belum mengetahui keterjelasannya? pikir gadis tersebut.
Tiba-tiba, ada sepucuk kertas yang terbang menuju ke wajahnya yang membuat si gadis mungil membuka matanya. Dia mengambil kertas itu dan membukanya.
"Karena tolak ukur kebahagiaan manusia itu berbeda, untuk saat ini ... terimalah semua apa yang terjadi, tetapi perantara Allah aku akan berusaha untuk membongkar kebenaran dari semuanya. Dariku, pengagum rahasiamu."
Adiba melirihkan suara ketika membaca isi surat itu. Pintu hatinya seakan terketuk dengan tulisan singkat yang dia baca. Di lain sisi, hatinya masih bingung siapa pengirim surat ini?
"Ya Allah Ya Rabb ... berikan kepadaku kesejahteraan hingga ujung maut kelak."
Jemari tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang terus menetes, pemilik mata indah itu mendongakkan kepala mencoba menghentikan laju air matanya yang semakin deras.
Lantas apa sekarang? Dia tidak tau harus menangis atau tertawa. Seakan ekspresi wajahnya terbelah menjadi dua, di satu sisi tertawa dengan keadaan yang terjadi dan di sisi lain menangis karena tidak mampu menahannya sendiri.
Gadis itu berdiri mengambil sajadah dan menghamparkannya. Dia berdoa seraya tangis yang tak kunjung berhenti. "Di saat aku terpuruk, datangkan sebuah keindahan setelahnya. Saat diriku ingin menyerah, datangkan sebuah keajaiban untukku, Ya Rabb."
Adiba bersujud cukup lama hingga membuatnya tertidur di hamparan sajadah mulia tersebut. Dia tersenyum dalam tidurnya seakan seorang pangeran datang ke dalam mimpi yang indah itu.
Di sisi lain, Atha memejamkan mata menahan sakit pada bagian kepala. Akhir-akhir ini imun pada tubuhnya menurun drastis. Pemuda yang terbaring lemah itu juga heran, mengapa dirinya mudah kelelahan hanya dengan pekerjaan yang ringan? pikirnya. Padahal saat dia masih duduk di bangku kuliah, tenaga yang dia miliki sangat kuat.
"Astaghfirullah," lirihnya masih dengan mata terpejam.
Bukan hanya itu, pemuda itu merasa sakit pada bagian tubuh yang tiba-tiba muncul memar. Matanya yang semula terpejam, kini terbuka lebar memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Senyum tipis terbit pada bibirnya di saat terdengar ketukan pintu. Dia yakin itu ayahnya.
"Masuk, Yah!" Dia berujar masih dengan suara serak tanpa bangun dari king size-nya.
Benar saja, pria paruh baya itu membawa nampan berisi makanan. Dia mendekat seraya berkata, "Apa yang terjadi? Wajahmu pucat."
"Hanya kecapekan sedikit."
"Ya sudah, jangan lupa dimakan. Ayah kelu—"
"Sebenarnya apa yang Ayah sembunyikan dari aku?"
Terlihat tubuh Farhan menegang mendengar pertanyaan dari Atha. Apa sudah saatnya dia mengetahui semuanya? pikirnya dalam hati. Namun, di sisi lain Farhan merasa tidak tega melihat anaknya yang sering merasa sakit.
Farhan menggeleng dan mengelus puncak kepala anaknya, seakan menyalurkan kehangatan. "Bukan apa-apa, Nak. Istirahatlah!" Setelah mengatakan hal itu, pria lemah lembut itu keluar masih dengan keadaan linglung.
"Terkadang satu sujud kepada Allah bisa menyembuhkan banyak luka."
***
Hisyam memandang adiknya dengan tatapan sendu, sorot matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam. Di sisi lain hatinya merasa sedikit kecewa dengan tragedi pagi hari. Namun, sisi dalam hatinya berkata kalau itu semua hanya kesalahpahaman.
Memang kamar Adiba terkunci, tetapi apa daya Hisyam yang kekeuh berbuat nekat hanya sekadar untuk melihat wajah damai milik adik perempuan itu.
Pemuda berpeci itu meletakkan punggung tangannya pada Dahi si gadis yang terbaring lemah. "Astaghfirullah, demam," lirihnya.
Perlahan mata Adiba terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Melihat pergerakan itupun membuat Hisyam menatap gadis itu yang masih terbalut oleh mukena.
"Kamu sudah bangun?"
Adiba hanya diam karena rasa kecewa masih menyeruak dalam hati. Ya, mereka berdua sama-sama merasa kecewa dengan perihal yang berbeda. Gadis berwajah cantik itu memalingkan wajahnya ke arah samping. Entah saat melihat wajah Hisyam, dalam hati ingin sekali untuk memeluk.
"Pergi, Kak! Adiba masih pengen sendiri."
"Apa salah Kakak terlalu besar sehingga kamu tidak mau memaafkan?" tanya Hisyam dengan suara lirih.
Mendengar hal itu membuat air matanya kembali merembes keluar. Dia bingung, Hati dan pikiran bertarung melawan semua itu. Di sisi lain, hatinya merasa kecewa, tetapi di dalam pikiran ingin menerima semuanya.
"Biarkan aku sendiri dulu. Jujur, diri ini merasa kecewa dengan semuanya. Di saat terpuruk, semua yang pernah merangkulku, kini entah pergi ke mana? Apa kesalahan Adiba begitu besar sehingga tidak ada yang memedulikan Adiba lagi?"
Hisyam terdiam seribu bahasa mendengar pertanyaannya yang diputar balikkan fakta oleh gadis di depannya itu. Akhirnya dia menuruti kemauan Adiba, yakni meninggalkan adiknya sendiri.
Adiba mencengkeram erat mukena yang masih terpakai tersebut. Apa dirinya akan menikah dengan Ibnu? Entahlah, rasa cinta kepada pemuda itu perlahan mengikis karena perbuatan Ibnu yang seperti itu.
Kapal-kapalan kertas melintas di depannya. Gadis bermata bengkak itu menangkapnya, lagi-lagi berisi surat. Meskipun begitu, dia membukanya karena rasa penasaran.
"Kamu tau cinta? Dekat bagaikan letusan Merapi, tetapi ketika jauh bagaikan darah yang terpisah dari kulit nadi. Ya, aku mencintaimu seperti itu. Jadi, semangatlah! Jangan pernah terpuruk! Ada Allah dan aku di sini. Dariku, pengagum rahasiamu."
—Ar-Rahman Untukmu, Zaujati—
KAMU SEDANG MEMBACA
Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)
RomanceKhitbah, seorang pria tengah dilanda kegugupan. Seketika udara terasa sangat dingin dan keringat bercucuran, mengingat dirinya akan mengkhitbah seorang gadis yang berhasil memenuhi pikirannya beberapa hari ke belakang. "Waalaikumussalam warahmatull...