Part 2b [ Flashback ]

200 17 0
                                    

Detik demi detik bergulir, waktu terus berjalan tanpa henti. Seorang pemuda masih berdiam diri di dalam kamar sedari tadi. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Dia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Terbersit dalam ingatannya peristiwa dua tahun lalu. Di mana saat dirinya satu pondok dengan Adiba, memang dulu dia sangat membenci Adiba karena gadis itulah saingan terberat baginya, bahkan dia terkalahkan oleh gadis itu yang menjadi idola santri di pesantren Lirboyo.

"Wah, Akhy Ibnu punya saingan baru, nih," ujar seseorang yang membuat Ibnu menghentikan langkahnya.

"Iya, nih, pasti bakal jadi musuh bebuyutan."

Sebelum dia bertanya, ternyata seorang gadis cantik tengah disambut dengan senyuman oleh seluruh santri yang kebetulan berada di koridor. Ibnu menatap dengan tatapan sinis, tetapi dia juga mengakui bahwa gadis itu memang sangat cantik. Sebenarnya di Pesantren Lirboyo itu dilarang keras jika santriwati bertemu dengan santriwan. Namun, kejadian itu semua hanya kebetulan ketika pagi hari akan berangkat sekolah.

Ketika hendak pergi karena suasananya sangat tidak mendukung, gadis yang dia tatap sinis itu menghampirinya. Bisa Ibnu lihat dari penampilan, gadis itu memang pantas menjadi idola. Namun, di dalam hatinya tidak rela pangkatnya harus direbut orang lain.

Gadis berbulu mata lentik itu menundukkan pandangannya dan berkata, "Nama Kakak siapa?" Dia mengucapkannya pelan karena malu.

Kening Ibnu berkerut, kenapa gadis di depannya ini sangat berani menanyakan nama pada lelaki? Pikirnya. Namun, apa pedulinya. Pemuda itu pergi tanpa membalas perkataan Adiba.

"Aku benci semua orang yang merebut milikku," cetusnya sebelum benar-benar pergi dari hadapan manusia cantik tersebut.

Memang benar kata pepatah, cinta dan benci memang beda tipis bagaikan jari jempol dan telunjuk ketika disatukan. Pemuda itu terlambat menyadari bahwa dirinya tengah dilanda racun cinta oleh Adiba.

Jarinya mengetikkan suatu pesan dengan kasar. Dia memejamkan matanya sayu, pemuda yang memiliki rahang keras itu benar-benar menyesal. Seperti apa yang dikatakan Fahri beberapa hari lalu. Perubahan sikap Adiba semakin kentara dengan menjauhinya terang-terangan.

[Assalamualaikum, Adiba. Maaf mengganggu waktunya, ehe.] Dia menekan tombol send walau hatinya masih ragu.

[Waalaikumussalam, ada perlu apa, yah?] Begitulah tanggapan gadis yang berhasil menghantui pikiran Ibnu. Terlihat dari balasannya saja langsung ke inti, padahal Ibnu mengirim pesan dengan sedikit candaan.

[Maafkan aku, Diba. Aku menyadari bahwa diriku telah mencintaimu,] balas Ibnu.

Selang beberapa menit, tidak ada balasan sama sekali, sementara itu statusnya masih online. Akhirnya Ibnu pun menyerah dan meletakkan kembali ponsel tersebut. Pemuda berperawakan tinggi itu menghela napasnya panjang karena perasaan pasrah dan menyesal menjadi satu.

Tok! Tok!

Ibnu menggeram tanpa memedulikan ketukan pintu yang semakin menjadi. Sudah tiga hari dia terus-menerus berada di kamar, makan pun selalu diantar oleh Wardhana.

"Ibu masuk, ya, Nak!"

Wardhana menatap wajah anaknya itu dengan sendu. "Kenapa? Menyesal, ya?" tanya wanita paruh baya itu dengan diakhiri tertawa hambar.

"Makanya, jangan terlalu cepat memutuskan perkara! Lihat sekarang, Adiba bahkan lebih pantas mendapatkan suami yang lebih baik darimu," sambungnya.

Sontak Ibnu menggeleng cepat dan berdesis, "Enggak, apa pun akan Ibnu lakukan demi mendapatkan Adiba."

Wardhana menatap Ibnu dengan tatapan mengidentifikasi. "Enggak, Ibnu. Jangan lakukan kenekatan! Beginilah hidup, jalani saja. Perbanyak muhasabah diri karena kebanyakan jodoh kita itu cerminan dari diri sendiri," tutur wanita itu dengan mengelus puncak kepala Ibnu.

"Ibnu nggak peduli!" celah pemuda tersebut.

"Bersabarlah, Sayang! Jangan gegabah!" Setelah mengatakan hal itu, Wardhana keluar dari kamar Ibnu yang berantakan bak kapal pecah.

Ibnu kembali mengecek ponselnya, barangkali sudah dibalas oleh Adiba. Seketika wajahnya merah padam, pesannya hanya dibaca tanpa ada balasan. Sungguh, di dalam hatinya semakin yakin bahwa dirinya harus memiliki Adiba apa pun yang terjadi.

Entah apa yang dirasakan Ibnu saat ini? Cinta atau obsesi semata yang menjadikannya gila. Pada awalnya obsesi itu terasa seperti cinta. Namun, obsesi adalah rasa emosi disertai rasa ingin memiliki.

Dia mengetikkan pesan satu kali lagi, berharap semoga direspon oleh Adiba.

[Diba, aku terlambat menyadari bahwa aku sangat mencintaimu saat ini.]

[Besok datanglah ke taman seberang pesantren,] sambung Ibnu.

"Apa pun yang terjadi, kau akan menjadi milikku, Adiba." Rahang pemuda itu mengeras menahan emosi, tangan yang mengepal kuat mencengkram erat jari-jarinya sendiri.

Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang