Setelah kejadian Ibnu mengirim pesan yang mengganggu pikiran. Adiba sering melihat pemuda yang bersikukuh ingin bertemu dengannya itu di wilayah penjara suci. Hal itu membuat si gadis bermata tajam tidak nyaman, bahkan sekarang Adiba sering menghabiskan waktu di dalam rumah utama dibandingkan di pesantren.
Banyak notifikasi dari ponsel yang gadis itu pegang. Namun, apa pedulinya? Dia semakin berusaha menutup hatinya untuk pemuda tersebut. Selalu ada penyesalan di setiap keputusan, semakin menginginkan untuk melupa, tetapi seseorang itu semakin mendekat.
Hati yang sudah telanjur hancur tidak akan mudah untuk disembuhkan seperti semula, itulah yang Adiba rasakan. Semakin dia memaksakan diri untuk menerima, semakin sakit pula hatinya ketika terkhianati.
"Assalamualaikum."
Adiba menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pemuda yang dia juluki dengan pemuda gaul, tetapi saat ini penampilannya sangat santun berbeda dengan beberapa hari yang lalu.
"Waalaikumussalam, cari siapa?" ujar Adiba setelah mempersilakan pemuda tampan itu duduk.
"Kiai As'ad," jawab pemuda itu dengan tersenyum kepada gadis yang posisinya empat langkah darinya.
Reaksi Adiba dengan senyuman itu membuat jantungnya berdegup kencang. Dia segera mengalihkan pandangannya ke samping ketika merasa pipinya memanas. Sungguh, gadis bergamis maroon itu juga terpesona dengan pemandangan di depannya.
Gadis cantik itu pamit untuk memanggil ayahnya, tetapi di tengah perjalanan dia berpapasan dengan kakaknya. Dia berkata, "Di depan ada tamu yang nyari Abi, Kakak temuin dulu, gih."
Kening Hisyam berkerut dan mengangguk begitu saja. Namun, dalam hatinya masih penasaran siapa tamu tersebut? pikirnya. Pemuda bersarung itu tersenyum ketika mendapati tamu yang dimaksud oleh adiknya. Pucuk dicinta ular pun tiba, dia berharap semoga rencananya berhasil. Entah apa yang Hisyam pikirkan.
"Tumben ke sini? Mau ngapel?" goda Hisyam.
Atha tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya. "Ana diutus Kiai As'ad untuk datang ke sini," ujarnya.
"Yah, sayangnya Abi lagi keluar."
"Astaghfirullah aladzim."
Hisyam terkekeh lalu berkata, "Sekali-kali, dong, main. Masa nggak kangen sama ana?"
Pemuda berpeci itu lagi-lagi menghela napas dan menggeleng. "Nggak sama sekali. Ya udahlah, sekalian ngadem."
Mereka berdua memang akrab, bisa dilihat dari cara berbicara mereka seperti blak-blakan. Menghabiskan waktu dengan bercanda gurau, tampak seperti kedua sahabat yang saling rindu. Meskipun jarak rumah mereka dekat, tetapi Hisyam tidak punya waktu untuk menyempatkan diri mengunjungi Atha, begitupun sebaliknya.
Mereka berdua larut dalam pembicaraan masa SMA dulu, kenangan mereka ketika bersama sebelum masa perkuliahan.
***
Kini, Adiba berada di taman belakang rumah utama. Suatu kesenangan bagi gadis cantik itu saat berada di antara rekahan bunga yang indah. Tak henti-hentinya senyum itu terbit di bibir si gadis mungil itu.
Menurut si gadis bermata binar, berkumpul dengan bunga-bunga adalah surga dunia. Dia termasuk penggemar bunga dari jenis apa pun.
"Subhanallah, sungguh cantik bunga-bunga ini."
Adiba terlalu serius memandang bunga itu hingga dirinya tidak sadar bahwa ada seseorang yang memerhatikannya dari kejauhan dengan senyuman licik terbit di bibirnya. Seseorang itu mendekati gadis cantik itu seraya memegang lengan agar berhadapan dengannya. Adiba terserentak seraya memekik keras karena bukan mahram.
"Astaghfirullah, lepas, Ibnu!"
Ibnu malah mencengkeram kuat lengan Adiba yang membuatnya meringis. Dia yakin, pasti lengannya akan terbebas memar merah.
"Aku nggak akan melepaskanmu, sebelum kamu menerima aku lagi, Diba."
"A—aku semakin yakin untuk membatalkan ini semua dengan melihat kelakuanmu seperti ini, Ibnu!"
Mulai sekarang Adiba akan berhenti berharap kepada sesama makhluk karena berujung kecewa. Dia akan hidup sesuai alur yang dirancang oleh-Nya. Gadis berbulu mata lentik itu yakin bahwa semua akan indah pada waktunya, tetapi indahnya bukan sekarang, melainkan esok atau di akhirat kelak.
Gadis berhidung mancung itu tersenyum miris, apa kabar batin dan logikanya? Apakah semudah itu menerima kembali seseorang yang terlanjur menyakiti dia? Otaknya masih berfungsi untuk berpikir dan hati yang masih memiliki perasaan. Adiba tidak mati rasa, hanya saja untuk saat ini dia masih ingin menutup pintu hati.
"Bilang terima atau aku nekat!" desis Ibnu.
"Enggak, Ibnu!" bantah Adiba.
Ibnu malah mendekatkan dirinya dan memeluk gadis di depannya itu. Dalam hati, dia tersenyum kemenangan seraya berharap semoga rencananya berhasil.
Berbanding dengan reaksi Adiba, dia berontak ketika dipeluk lelaki bukan mahramnya. Sungguh, pemilik wajah cantik itu saat ini wajahnya telah dipenuhi deraian air mata.
"L—lepas, Ibnu! Hiks ... jangan begini, dosa."
Adiba memejamkan mata, seakan sebuah belati memotong separuh hatinya. Bukan karena cinta dia menangis, tetapi karena dosa yang akan dia tanggung saat ini.
"Apa yang kalian lakukan?"
Suara itu membuat tubuh Adiba menegang. Gadis yang masih berada di pelukan Ibnu itu pun segera menoleh ke arah sumber suara.
"Tolong Adiba, Abi ...."
"Umi ...."
"Kak ...."
Adiba meracau seraya memukul kuat dada bidang milik Ibnu. Dia bergumam, "Ya Allah ... berilah kemudahan dan jauhkanlah diri hamba dari fitnah dunia."
Di sisi lain, Ibnu tersenyum menyeringai. Benar saja, kali ini sebuah takdir memihak dirinya. Rencana pemuda pemilik rahang kokoh itu benar-benar berhasil ketika melihat wajah Kiai As'ad yang menahan amarah.
Mereka berdua digiring menuju dalam rumah, di sana terdapat Atha yang masih sibuk dengan kitab-kitab yang dia pegang. Seketika pemuda berpeci itu sadar dan menatap satu keluarga itu dengan tatapan bingung. Namun, tatapannya tertuju pada pemuda asing yang berada di belakang Adiba.
"Ini bukan seperti apa yang Abi pikir—"
Kiai As'ad mengangkat tangannya seraya berkata, "Sudah tidak perlu dijelaskan lagi, kami melihat semuanya. Kedua manusia yang bukan mahram yang berkumpul di tempat sepi? Menikahlah agar tidak menimbulkan fitnah!"
Adiba yang mendengar itupun, tubuhnya lunglai ke lantai. Dia menatap ibunya dengan tatapan sendu, berharap agar Fatimah membelanya. Tidak ... wanita paruh baya itu malah mengalihkan pandangannya.
"Sedekat apa pun jika bukan takdir, dia akan melewatiku. Namun, sejauh apa pun jika ditakdirkan, dia tidak akan melewatkanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)
RomanceKhitbah, seorang pria tengah dilanda kegugupan. Seketika udara terasa sangat dingin dan keringat bercucuran, mengingat dirinya akan mengkhitbah seorang gadis yang berhasil memenuhi pikirannya beberapa hari ke belakang. "Waalaikumussalam warahmatull...