Semilir angin pada sore hari menyelimuti keheningan antara kedua insan yang berada di teras rumah utama. Sesekali pandangan mereka mengelilingi seluruh penjuru pesantren yang dipenuhi para santri, terkadang bersenda gurau dan berlalu lalang di depan kedua insan tersebut.
Gadis yang kerap dikenal dengan sebutan Ning Diba sesekali menunduk dan berdehem untuk menghilangkan rasa canggung di antara mereka. Meski hanya berdua, mereka tetap menjaga jarak.
"Ib—"
"Adib—"
Ibnu mengajak Adiba untuk membicarakan semuanya baik-baik dan memberi ruang keputusan untuk gadis di sampingnya itu memilih. Hal itu terjadi sebab ibunya yang memberi nasihat untuk Ibnu. Namun, berbeda dengan ayah Ibnu, dia tidak setuju jika pernikahan anaknya itu dibatalkan.
Masalah Atha yang melamar Adiba pun juga mulai tersebar ke seluruh penjuru Pesantren Ar-Roudhah. Gadis berkulit putih itu sungguh malu ketika mereka menggodanya. Entah sejak kapan dia sudah yakin bahwa pengisi hatinya adalah Gus Atha, artinya mulai mencintai.
"Keputusan kamu bagaimana, Adiba?" tanya Ibnu dengan sedikit senyum paksaan.
Mencintai itu wajar, tetapi dicintai itu adalah kenikmatan apalagi ketika dengan cinta itu dapat membuat seseorang selalu bangun di kala sepertiga malam terakhir, itulah kata Wardhana yang membuat pintu hati Ibnu terketuk.
Jadi, mencintai tidaklah dipaksa dan dituntut. Namun, mencintai itu ikhlas tanpa meminta 'tuk dibalas, pemuda itu mengambil kesimpulan yang diucapkan ibunya.
Seulas senyum terbit di bibir Adiba, pandangan mata tertuju pada seorang pemuda yang dilihatnya dari kejauhan, di adalah Atha. Pemuda yang mampu membuatnya dengan sekejap melupakan Ibnu dalam hati. Seolah pemuda bergingsul itu mengalihkan isi hati Adiba pada dirinya.
"Apa pun keputusan kamu, aku nggak memaksa, Adiba. Jangan hanya karena aku, kamu malah melakukan ini dengan terpaksa."
"Ana sudah menemukan jawaban ana lewat istikharah pada Sang Maha Cinta. Keputusan ana sudah bulat, Ibnu. Ana menolak pernikahan ini."
Pemuda tampan itu menatap Adiba dengan tersenyum pedih. Namun, dirinya sadar akan semuanya. Sebelum Ibnu benar-benar pergi, mereka berbagi cerita dan juga sharing-sharing tentang bab cinta. Sesekali Ibnu mituenggoda Adiba yang selalu memperhatikan Atha dari kejauhan.
Setelah pemuda itu pergi, Adiba memasang headset untuk mendengarkan murotal pembantu untuk menghafal Al-Qur'an. Dia sedikit mengikuti alunannya dengan lirih dan memejamkan mata menghayati makna dari ayat tersebut.
Sangat tenang mendengar lantunan indah itu. Tiba-tiba, dirinya terlonjak kaget saat ada seorang yang bersender di bahu milik Adiba.
"Astaghfirullah, Kakak. Bikin Adiba jantungan aja, ih," ucap Adiba sambil memanyunkan bibirnya
"Udah gini aja, ntar kalau kamu nikah pasti Kakak nggak bisa lagi seperti ini," kata Hisyam yang membuat wajah Adiba bersemu.
"Kakak pengen ngetes hafalan kamu."
Adiba mengangguk kegirangan, sudah menjadi kesenangan tersendiri di kala kakaknya memanjakan dia dengan mendengarkan hafalannya tersebut. Gadis berhijab pashmina itu mulai melantunkan ayat-ayat indah itu dan di dalam hati dia mentadabburi isi Al-Qur'an.
"Ar-Rahman ... 'allamal Qur'an ... kholaqol insan ... 'allamahul bayaann ...."
Gadis cantik itu membacanya sampai cairan bening keluar dari matanya. Dia begitu menghayati isi dan juga kandungan yang terserap di dalam surah Ar-Rahman itu. Memang, surah itu sudah menjadi surah favorit yang selalu dia baca setiap hari, bahkan dia bermimpi suatu hari nanti calon suaminya akan membacakan surah Ar-Rahman saat ijab kabul.
"Kenapa Ar-Rahman terus? Ganti, gih."
Adiba menggeleng seraya berkata, "Favorit hehe." Sembari nyengir lebar.
Tingkah adiknya yang menggemaskan membuat pemuda berpeci itu mencubit hidung Adiba cukup keras sehingga terpekik keras. Para santri yang kebetulan berlalu, menoleh dan tatapannya tertuju pada mereka berdua.
Di sisi lain, Kiai As'ad, Fatimah, Haris, serta Wardhana tengah berada pada suasana yang cukup panas. Perkara konflik pembatalan acara pernikahan yang terjadi dua kali tersebut. Pertentangan setuju dan tidak setuju antara Haris dan Wardhana.
Haris yang menentang sebab reputasi keluarganya akan tercemar begitu saja. Diia juga sudah muak jika pernikahan ini selalu dibatalkan selama dua kali berturut-turut. Dalam pikirannya, keluarga Kiai As'ad selalu memutuskan sepihak.
Kiai As'ad tentu menanggapinya dengan kepala dingin, begitu juga dengan Fatimah dan Wardhana. Ibu dari Ibnu itu tidak menyetujui pendapat suaminya karena dia pernah berada di fase seperti itu.
"Sudahlah, Ayah. Ini bukan masalah reputasi atau apa, tapi ini masalah kebahagiaan."
Haris menggertakkan giginya kuat. "Ibnu pastinya bahagia," ujarnya.
" .... Tapi bagaimana dengan Adiba?" lirih Fatimah.
"Jawabannya hanya dari Allah. Antara jodoh dan ajal, antara takdir atau bukan, antara hati dan logika, hanya bersumber dari Allah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ar-Rahman Untukmu, Zaujati (Sudah Terbit)
RomanceKhitbah, seorang pria tengah dilanda kegugupan. Seketika udara terasa sangat dingin dan keringat bercucuran, mengingat dirinya akan mengkhitbah seorang gadis yang berhasil memenuhi pikirannya beberapa hari ke belakang. "Waalaikumussalam warahmatull...