Hallo Berlin

52 7 2
                                    

Tidurlah, perjalanan kita masih panjang.

***
Sore itu ketika rintik hujan berhenti, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Dari foto profilnya dia seperti Jingga, cinta pertama Langit. Tapi rasanya aneh mengingat nomor Jingga yang sebelumnya masih aktif dikontakku. Lalu ini siapa? Cempaka? Gadis itu tidak mungkin berwajah kalem seperti dalam foto ini. Karena penasaran aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu di kafe Lavender.

Sepuluh menit sejak kedatanganku kemari, gadis itu akhirnya datang. Wajahnya pucat, badannya agak kurus, terlihat sangat berbeda ketika terakhir kali kami bertemu di bandara. Apa mungkin dia sedang sakit? Aku menyapanya dengan baik,

"Hai Jingga, apa kabar?"

"Gue bukan Jingga, gue kembarannya."

Aku sedikit terkejut mendengar perkataannya, dengan cepat aku bersikap biasa saja seakan perubahan Cempaka saat ini tidak begitu banyak, tetapi kenyataannya gadis ini memang mirip sekali dengan Jingga. Maksudku gaya berpakaian dan rambutnya, masalah wajah mereka memang mirip karena kembar. Cempaka tampak lebih kalem dibanding saat masih SMA di International High dulu.

"Ada apa, Ka? Lo tumben minta ketemu."

"Gue hamil, Nggi." jawabnya tanpa basa-basi. Perasaanku mendadak tidak enak, "Anak Langit." lanjutnya sambil menahan tangis mati-matian.

Dunia seolah berhenti, aku sungguh tidak percaya dengan ucapannya. Tapi melihat Cempaka yang berlari ke belakang lalu memuntahkan isi perutnya, aku yakin dia tidak main-main dengan kalimatnya. Aku membantunya duduk kembali, dan memintanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan penuh tangisan Cempaka bercerita, kadang Cempaka menghentikan ceritanya di tengah karena luka yang tidak bisa dijelaskan lagi, tapi dia memaksakan diri untuk melanjutkannya sampai selesai. Dan satu kata untuk Langit tepat ketika ceritanya selesai. Bajingan!

"Langit udah tahu?" Cempaka menggeleng cepat.

"Jingga?" Cempaka menggeleng lagi.

"Gue baru kasih tau lo, Nggi. Bahkan Elang juga belum tau."

Aku merasakan pening di kepalaku, masalah apa lagi ini. Aku dan Athala saja belum membaik, bahkan Dave dan Bams juga belum akur, sekarang ditambah Cempaka yang tiba-tiba mendatangiku dan mengatakan hamil anak Langit.

"Lo nggak bohong kan, kalo itu anaknya Langit?"

"Gue nggak bohong, Nggi. Semenjak gue minta maaf sama lo hari itu dan pergi ke Jerman, gue beneran berubah total. Lo boleh tanya Jingga buat memastikan kalo emang lo nggak percaya gue udah berubah."

Cempaka menggenggam erat tanganku, menyalurkan segala beban yang ia tanggung sendirian. "Tolong gue Nggi. Gue takut semua orang kecewa."

Aku membalas genggamannya, Cempaka memang jahat dulu, tapi dia telah berubah, dan kini dia butuh bantuan untuk melewati masa sulitnya. "Gue bakal bantuin lo, gue bisa pastikan Langit akan bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan. Lo nggak usah khawatir, everything is gonna be okay. Gue juga bakal bantu ngomong ke Jingga."

"Thanks, Nggi." Cempaka bangkit dari duduknya lalu memelukku.

***

Malamnya aku bertemu dengan keluarga van Djik. Keluarga kaya itu menyewa private room hanya untuk mendengar jawabanku. Membuatku menjadi semakin tidak yakin memantapkan pilihan. Aku menatap El, biji mata cowok itu bersinar seperti memiliki harapan penuh atas jawaban yang akan aku berikan malam ini.

"Jadi bagaimana El?" tanya Papanya pada El saat kami semua telah menghabiskan makan malam.

"El ikut Anggi."

VlinderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang