Gadis Pendongeng dalam Mimpi

43 4 7
                                    

Senja bisa merebut apapun yang kamu punya hari itu, sedangkan fajar bisa memberimu waktu untuk mendapat semua itu kembali.

***
Siang itu matahari begitu terik, biasanya jika siang langit nampak biru, sorenya senja tidak akan tertutup kelabu. Aku melangkahkan kakiku menuju gerbang utama kampus, keluar dari kelas setelah mencerna teori yang cukup membuatku mampus rasanya akan lebih enak jika aku makan siang dengan mie rebus di bawah ac yang sangat dingin. Membayangkan bagaimana pedasnya membuat mulutku terasa lumer.

"Anggi!" teriakan itu membuatku menoleh, Athala berteriak memanggilku, dia berlari ke arahku lalu tiba-tiba memelukku.

"Kangen banget!" aku cukup terkesiap mendengar ucapannya, mengingat beberapa minggu ini kita tidak baik semenjak kejadian itu. Bahkan Athala tidak menjawab pesan dan panggilan dariku.

"Gue punya kabar bagus tau, lo udah tau belum gue jadian sama Kak Dave?"

Aku terdiam, bukannya aku tidak senang, aku sangat senang ketika Athala akhirnya berhasil meluluhkan Dave, tapi yang menjadi pikiranku sekarang adalah nasibku. Semua orang sudah bersama dengan orang yang dicintainya. Athala dengan Dave, Grish dengan Bams, kudengar Elang telah menjatuhkan hatinya pada Jingga, meskipun katanya belum bisa sepenuhnya. Dan aku? Aku masih berharap Angga datang. Tapi apa iya Angga datang dengan perasaan yang sama?

"Lo kenapa?"

Aku menggeleng cepat, "Nggak kok, Ta. Selamat ya, akhirnya bisa dapetin Kak Dave."

"Iya, gue seneng banget. Yaudah gue duluan ya mau ketemu dia, kapan lo ada waktu luang, main yuk, kita udah lama nggak main bareng."

"Besok gue bisa."

"Oke, besok ya. Bye." ucapnya sambil melambaikan tangan.

Aku melanjutkan langkahku berjalan menuju gerbang utama, tanpa di sangka ia ada di depan sana. Menungguku dengan setelan kemeja santai ala anak kuliahan. Awalnya aku tidak percaya jika dia menungguku, tapi ketika senyumnya yang mengembang menyapaku masih sama seperti dulu, aku mulai yakin. Cowok itu memang sedang menungguku.

"Lang, ngapain?"

"Jemput lo," katanya sambil menyerahkan helm yang biasa aku pakai dulu. Aku ragu untuk menerimanya, apa maksudnya datang kemari menjemputku? Mungkinkah dia ingin aku kembali bersamanya? Tapi bukankah itu sangat mustahil. Aku tidak menerima helm cowok itu yang lantas membuat cowok itu langsung memakainya padaku.

"Ayo naik."

Aku masih diam, tidak ingin beranjak dari tempat. Kepalaku masih memikirkan alasan apa yang membuat cowok itu kemari. "Apa mau gue gendong biar lo naik ke motor?" aku segera tersadar dan mau tidak mau naik ke motor itu.

Langit membawaku pergi ke pantai, perjalanan yang cukup panjang membuat kami sampai tepat ketika senja turun. Langit dan aku sama-sama menenteng sepatu, membiarkan pasir pantai menyentuh telapak kaki kami yang telanjang. Angin berhembus cukup kencang hingga membelai rambutku yang tidak aku ikat, Langit yang melihatku sedikit kualahan kadang membantu menyelipkan rambutku ke belakang telinga, lalu kami berjalan mendekati tempat di mana senja terlihat lebih dekat.

"Nggi, kalo kita belum putus, hari ini kita anniversary yang ke—"

"Cukup Lang," kataku memotong ucapannya.

Beberapa orang mengamati kami, mereka saling berbisik membicarakan kami, entah telingaku salah dengar atau tidak, mereka bilang Langit sangat tampan dan kami cocok ketika bersama. Mungkin jika aku mendengarnya dulu saat kami masih bersama, aku begitu senang, sayangnya kali ini rasanya biasa. Aku dibuat mati rasa oleh cowok di sebelahku. Dan kali ini terdengar jelas di telingaku saat orang-orang yang membicarakan kami melintas di depanku.

VlinderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang