Tiket Teater

65 6 0
                                    

Jika tidak bisa datang kenapa tidak dibatalkan saja, kenapa harus diganti dengan perempuan yang mengaku mencintaiku.

***
Malam ini aku mengeluarkan seluruh barang pemberian Angga yang sudah lama mama simpan di gudang, aku tahu mama melakukannya karena ia tidak ingin aku terus-menerus bersedih karena berpisah dengan Angga, tapi aku begitu merindukannya, diam-diam kuambil semua barang yang sudah dikemas dalam satu kotak itu untuk dibawa ke kamar. Aku membukanya sambil memutar ingatan segala kejadian yang terekam dalam barang itu.

Sebuah gantungan kunci warna biru muda membuatku terdiam, senyuman Angga yang begitu hangat melintas begitu saja. Entah mengapa aku merasa malam ini begitu dingin, dan aku percaya dengan memeluk dan mencium benda itu sesuatu dalam diriku akan terselimuti oleh kehangatan yang telah lama tidak lagi aku rasakan.

Aku tidak menyadari jika dua buah sungai kecil telah terbentuk dari kedua biji mataku, dan malam itu aku memeluk semua kenangan bersamanya, sampai tertidur.

***

"Mampus telat!" Aku merutuki diriku yang bangun kesiangan, pasti karena semalam aku larut bersama barang-barang itu. Aku berlari menyusuri tiap koridor, naik menuju lantai tiga dengan melangkahi anak tangga satu persatu. Dan ketika menuju belokan tangga berikutnya, aku menabrak seseorang hingga benda yang dipegangnya terjatuh.

Suaranya begitu keras, mataku membulat sempurna ketika benda itu terpental lalu mendarat dengan sempurna di lantai, ya, aku melihatnya, benda itu menampilkan goresan abstrak berbentuk petir pada bagian layar.

Tubuhku lemas, itu ponsel mahal, takut-takut aku mengangkat kepalaku, berharap bukan ponsel milik dosen yang aku jatuhkan. Untungnya bukan, tapi sialnya ponsel itu milik seseorang yang paling aku tidak ingin berurusan dengannya, masuk ke dalam hidupnya adalah bunuh diri tercepat bagi perempuan sepertiku.

Cowok itu mengambil ponselnya, diamatinya ponsel itu dengan tatapan datar, lalu matanya beralih menatapku, aku menunduk, bibirku rasanya kaku untuk sekedar meminta maaf kepadanya. Aku merasakan ia maju mendekat ke arahku, jantungku berdetak cepat, takut dia melukaiku dengan tangannya yang kokoh itu.

"Hari ini ada kelas sampai jam berapa?"

Suaranya begitu dingin, Tuhan aku benar-benar ingin dilenyapkan saja dari muka bumi ini, daripada harus berurusan dengannya.

"Jam satu," jawabku lirih.

"Gue tunggu di tempat parkir," suaranya seperti perintah yang tidak boleh dilanggar, ia seperti seorang atasan yang akan mengeksekusi bawahannya. Sial, kenapa harus cowok itu sih!

Aku kembali melangkah menuju kelas, hari ini ada kelas teori, semoga dosennya memberiku ampun, jika tidak aku akan menanggung semua risiko kecerobohanku sendiri dalam kondisi perasaan yang kacau balau.

Hampir sampai di depan kelas, aku melihat Kak Dave berdiri sambil memegang sebuket bunga, ia bersender di tembok, awalnya aku ingin berjalan ke arahnya sambil menyapa, tapi ketika seorang temanku yang baru saja datang dari arah toilet, Kak Dave menyerahkan bunga itu. Samar aku mendengar namaku disebut.

Aku bersembunyi dibalik pilar besar yang mampu menutupi seluruh tubuhku, jadi apakah orang yang diam-diam memberiku bunga selama ini adalah Kak Dave? Benarkah? Aku kira orang itu adalah cowok yang pemalu. Setelah Kak Dave pergi dari sana, aku berjalan mendekati temanku yang masih berdiri sambil menatapi bunga.

"Hai, dapat bunga dari siapa?" Sapaku berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka.

"Ini buat lo, dari Dave, lo pacaran sama dia?"

Aku menerima bunga itu, tentu saja dengan ekspresi bingung yang dibuat-buat. "Ah, enggak kok kenapa emangnya?"

"Nggak papa, gue kira pacarnya Dave yang sering nontonin dia basket, yaudah yuk masuk."

VlinderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang