Igenius ch 28 : not that strong

293 22 0
                                    

"Aldeo udah tau semuanya."

Selena menoleh, ia memalingkan wajah dan tetap berjalan di koridor sambil membaca buku fisika. Rhea tak habis pikir, bisa-bisanya Selena setenang itu?

"Selena, Aldeo udah tau semuanya. Barusan dia bilang ke gue kalau dia punya bukti rekaman malam itu. Kita harus apa?"

"Ya mau apa lagi, dia udah tau."

"Kok lo santai aja sih? Ya meskipun gue yang dorong dia ..." Rhea memelankan suaranya ketika ada beberapa murid di koridor menuju kelas unggulan. Ia melanjutkan ucapannya lagi, "Ya meskipun itu gue, tapi lo juga terlibat karena lo ada di sana, Sel."

"Ya kita bakal masuk penjara nanti. Kenapa? Lo takut? Bukannya jadi bagian murid Igenius di Mayora itu udah bagian dari penjara?"

"Ya gue tau sistemnya emang gitu, tapi masa lo gak ada takutnya sih? Kita udah melakukan tindakan kriminal. Kita minum alkohol dan melenyapkan nyawa seseorang, apalagi dia sempat jadi orang nomor satu di Mayora karena pernah megang peringkat satu paralel. Kalau kita ketahuan, kita bisa habis Sel. Lo gila ya?"

"Lo yang gila. Kita lo bilang? Perasaan gue cuma perantara lo buat bunuh Emma aja. Yang dapat hukuman berat itu lo, hukuman mati biar lo tau."

"Kok lo tega sih Sel? Bukannya lo yang mempengaruhi gue buat bunuh dia?"

Selena membuang napas panjang, ia menghentikan langkahnya saat mereka hendak belok menaiki tangga.

"Lo baru tau? Bukannya kita udah sekelas dari dulu ya? Yang bodoh disini tuh lo, Rhea. Lo yang terlalu ambisi buat masuk lima besar. Ego lo tinggi. Jadi gue cuma mainin lo aja. Dari dulu lo juga tau gue orangnya gimana, masih aja lo terima hasutan gue, ya salah lo lah."

Rhea menggelengkan kepalanya berkali-kali mendengar penuturan Selena barusan.

"Sel! Hidup gue gak tenang sekarang, dan itu semua gara-gara lo!"

"Lo ternyata orang yang paling membenci Emma ya Rhea, munafik lo."

Rhea mengerutkan dahi, "Maksud lo apa ngomongin gue munafik?"

"Lo sok keliatan baik di depan Emma, padahal lo sendiri yang pegang senjatanya. Hidup penuh kesedihan lalu pura-pura gak sedih, hidup penuh dendam lalu pura-pura gak dendam, hidup penuh kebencian lalu pura-pura gak benci. Munafik."

Tepat! Selena memang gampang membuat mental seseorang roboh seperti sekarang ini. Mulutnya yang berbisa berhasil membuat mental Rhea goyang seketika.

"Setelah ini, apa lo lega udah masuk lima besar dengan cara melenyapkan seseorang?"

Rhea terdiam. Logikanya mengatakan iya, namun hatinya tidak. Sejujurnya, Rhea takut semuanya akan terbongkar. Posisinya sebagai murid unggulan akan musnah begitu saja, namanya jelek, bibinya kecewa, masuk penjara, hancur semua. Tapi Selena? Mungkin dia santai karena dia orang kaya.

Selena masuk ke dalam kelas setelah berdebat dengan Rhea. Sedangkan Rhea masih tetap mengejar perempuan berambut blonde coklat kemerahan tersebut. Sesampainya di dalam kelas unggulan, suatu pemandangan yang sangat langka mereka dapatkan, manusia ambis nomor satu di Mayora tertidur di jam istirahat. Tumben-tumbenan.

Selena dan Rhea beradu pandang melihat Krystal yang menempelkan kepalanya di atas meja, alis perempuan itu menyatu, matanya terpejam namun mengeluarkan air mata. Tidak biasanya Krystal begini, karena itu mereka keheranan.

"Dia tidur sambil menangis, kenapa?" tanya Rhea.

Selena mengendikkan bahu, "Mana gue tau, sebelumnya gue gak pernah liat dia tidur di kelas entah itu jam istirahat atau jam belajar."

"Apa dia mimpi?" tanya Rhea diselingi tawa kecil.

"Tubuhnya dikendalikan oleh alam bawah sadar yang akan bergerak mengikuti stimulus. Itu yang membuatnya menangis dalam tidur. Kemudian otaknya akan bereaksi menaikkan suhu dalam tubuh lebih rendah daripada suhu lingkungan, membuat tubuhnya bekerja untuk menyamakan suhu itu dan tubuh akan terasa panas," jelas Aldeo dari arah belakang. Mereka berdua mendapati kehadiran Aldeo yang baru masuk kelas. 

"Itu proses reaksi suhu, tunggu ... demam?" Rhea baru tersadar saat kata 'tubuh akan terasa panas'.

Selena mengangguk, "Ya, dia menangis seperti anjing saja."

Bel masuk berbunyi, mereka langsung duduk ketika Ms.Ilona datang sambil membawa beberapa tumpukan kertas untuk chapter exam kali ini. Ms.Ilona mengintruksikan untuk merenggangkan tempat duduk dan mengambil kertas ulangan yang tersedia di meja guru.

"Sisa satu lagi, siapa yang belum kebagian?"

Rhea dan Selena beradu pandang, lalu keduanya menunjuk ke arah Krystal. Ms. Ilona datang ke meja Krystal yang sedang tertidur di bangkunya. Perempuan itu mengecek suhu tubuh Krystal. Ia menatap murid unggulan yang lain.

"Dia demam, suhu tubuhnya tinggi sekali. Tolong bantu Krystal ke UKS."

Tidak ada satu pun murid yang maju untuk membawa badan Krystal menuju UKS. Ms.Ilona mengerutkan dahi, "Hey, kalian gak dengar? Teman kalian sedang sakit ini, ayo bantu bawa dia ke UKS biar ditangani perawat."

"Atau siapapun ambil tandu di UKS, saya butuh dua orang untuk angkat tubuh Krystal."

Selena pura-pura tak dengar, Daniel memainkan pena, dan Rhea langsung membaca buku fisika. Semua seakan tak perduli kecuali Aldeo yang merelakan diri untuk mengangkat tubuh Krystal menuju UKS.

Aldeo menatap kondisi Krystal yang berantakan. Pakaiannya tak serapi biasanya, ikatan ekor kuda di rambutnya juga tidak sekencang biasanya, tatapan matanya yang biasanya tajam sekarang berubah menjadi lemah lesu. Bibirnya yang selalu mengeluarkan kata kasar tertutup sempurna dengan tampilan pucat pasi. Matanya kini terlihat bengkak menandakan perempuan tersebut begadang dan menangis di saat yang bersamaan. Suhu tubuhnya cukup tinggi. Perawat yang berjaga di sana segera menangani Krystal.

Krystal tak pernah terlihat selemah itu. Baru kali ini ia terlihat sangat berantakan walaupun Krystal tak ingin orang-orang melihat bahwa faktanya dia memang manusia lemah yang bisa down dan sedih kapan saja. Namun lingkungan di sekitarnya selalu menuntut Krystal agar menjadi pribadi yang keras, tegas, mandiri, dan tak boleh tumbang karena hal sekecil apapun. Dan hari ini Krystal baru tau, bahwa ternyata dirinya tak sekuat itu. 

***
Bersambung

IGENIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang