Igenius ch 21 : name tag

306 25 0
                                    

Daniel memijat pelipisnya saat ia membaca pesan Ibunya yang sudah dikirim sejak tadi malam, tapi Daniel tidak membukanya karena ia tidak ada niatan bermain ponsel terlebih lagi ia mengetahui berita kematian Emma.

Ibu
|Ada yang mau Ibu bicarakan, datang ke rumah Pak Antanio malam ini, Ibu udah izinkan kamu ke pengelola hostel.

Daniel yang sedang makan di kantin hilang selera membaca pesan Ibunya, pasti membahas soal pernikahan itu lagi. Namun saat ia menscroll laman WhatsApp nya untuk melihat pesan pesan yang belum ia buka tadi malam, terdapat 10 panggilan tak terjawab dari Emma. Daniel segera membuka pesannya.

emmanuella<3
|Daniel tolong angkat
|Daniel
|Daniel kamu kemana
|Daniel tolong jemput aku di gedung Mayora
|Daniel ada orang yang kejar-kejar aku
|Tolongin aku, mereka masih kejar aku. Tolong angkat telepon, aku gak bisa ngetik panjang, aku lagi sembunyi.
|Tolongin aku, aku ketakutan.
|Daniel ...
|Apapun yang terjadi nanti, tolong simpan baik-baik hp aku ya, jangan sampai di kasih siapapun termasuk pihak sekolah, ini juga tentang murid unggulan. Aku minta maaf udah marah sama kamu tadi
|Kalau kamu buka chat ini, tolongin aku lagi sembunyi di gudang. Kayaknya mereka tahu aku sembunyi disini, aku akan ke atap sekarang. Tolong jemput aku di sana.

Daniel membuang napas berat. Ia langsung berlari menuju parkiran untuk mengetahui apakah Detektif tadi sudah pergi dari Mayora atau belum. Dari kejauhan, ia dapat melihat mobil Detektif tersebut sudah keluar dari gerbang sekolah. Daniel langsung berlari sekuat tenaga untuk membeberkan bukti yang ia dapat dari Emma. Namun naas, gerbang sekolah sudah terlanjur ditutup oleh penjaga.

"Mau kemana kamu?"

"Pak tolong, saya ada urusan dengan Detektif tadi. Tolong buka gerbangnya, Pak."

"Gak bisa, jam istirahat sudah mau habis. Kamu harus kembali ke kelas, urusan dengan Detektif dilanjut setelah pulang sekolah. Tidak ada tapi tapian, kemana dasi kamu?"

Daniel mengusap wajahnya gusar saat ia tahu dirinya seberantakan ini. Penjaga tersebut mencatat nama Daniel dengan membaca name tag yang ada di sana.

"Daniel Gutama, tidak memakai dasi, pelanggaran sanksi tipe a, poin 20."

***

Rhea membongkar seluruh isi kamar hostelnya mulai dari lemari, laci, dan seprai hingga kamarnya sangat berantakan. Jam di dindingnya menunjukkan pukul 4 lewat dua puluh menit, sudah pulang sekolah dan Rhea memutuskan untuk tidak ikut ekskul renang hari ini karena ia harus mencari sesuatu di kamarnya.

Kemana barang itu?

Ia mengingat-ingat kejadian itu lagi, apa benar ia dalang dibalik pembunuhan itu?

Rhea memukul kepalanya berkali-kali, "K-kalau emang gue pelakunya, seharusnya name tag itu ada di gue. Tapi dimana? Dan kenapa Detektif itu bilang hp Emma hilang? Juga gak ada sidik jari dan cctv sekolah tiba-tiba aja rusak, padahal seingat gue, Selena gak ada ngajak gue buat hancurin cctv waktu itu."

Rhea semakin bertambah pusing. Ia memijat pelipisnya, "Kenapa juga Detektif bisa bilang pelakunya itu kidal dan mencekek leher Emma. Berarti, ada orang lain yang memang membunuh Emma malam itu. Tapi kenapa gue gak inget satu pun! Kenapa gue gak inget apa yang udah gue lakuin malam itu? Dan gue juga gak kidal."

Sementara di gedung Mayora, anak panah yang baru saja dilepaskan Krystal meleset jauh dari sasaran. Pelatih mengerutkan dahi, ia menyuruh Krystal untuk mencoba lagi. Perempuan berambut hitam pekat itu terus mencobanya berkali-kali, namun tetap saja anak panahnya meleset. Tak ada satupun anak panah yang menancap di titik emas. Krystal bahkan mencetak skor terendah semasa ia bergabung di klub panah. Pelatih mendekatinya sambil memberikan Krystal air mineral.

Ia menerimanya, "Thank you Coach."

"Ada apa Krystal? Apa yang menganggu pikiranmu? Kenapa kamu meleset terus? Baru kali ini saya lihat kamu tidak tepat sasaran bahkan setelah berkali-kali di coba."

Krystal menutup air mineralnya. Ia duduk di bangku peristirahatan disana, tempat anggota klub panah untuk beristirahat sambil memikirkan sasaran nya di depan. Krystal memandang jauh ke arah anggota klub panah yang sedang sibuk berlatih. Ia mengusap wajahnya kasar.

"Sorry, Coach. Saya banyak pikiran akhir-akhir ini, saya jadi tidak fokus."

"Ya sudah, tapi kamu harus tetap berlatih lagi. Jangan karena gagal kamu jadi malas mencoba, coba terus sampai bisa, sampai kamu menemukan Krystal yang dulu. Krystal yang selalu mendapat skor tertinggi dan Krystal yang menyumbangkan medali emas panah nasionalnya untuk sekolah." Laki-laki itu menepuk bahu Krystal pelan, "Krystal, kamu ini aset sekolah."

"Sekolah berharap banyak padamu. Peringkat tertinggi, nilai tertinggi, pemenang olimpiade matematika terus, sering ikut lomba debat bahasa Inggris, ikut lomba panah, dan lomba renang tingkat provinsi. Kamu harus tetap pertahankan prestasimu itu, jangan hanya karena satu kesalahan, bisa merusak semua yang sudah kamu bangun bertahun-tahun lamanya. Kamu ini berbakat, sekolah tidak mungkin memarahi mu walaupun kamu melakukan kesalahan sebesar apapun itu."

Krystal menoleh ke samping, "Kenapa gitu?"

"Karena Mayora ingin lebih maju lagi, Mayora selalu ambis untuk jadi sekolah terbaik, terfavorit, sekolah nomor satu di Indonesia sampai gak ada yang bisa nyaingin Mayora. Makannya anak-anak kelas unggulan kaya kamu, Aldeo dan yang lain adalah aset berharga yang digunakan sekolah untuk mengharumkan namanya."

"Bilang aja alat untuk menaikkan rating sekolah," ucap Krystal sarkas. Ia memutar bola matanya malas. Namun, ia jadi teringat sesuatu.

"Kalau sekolah menjaga anak unggulan dengan baik bagaimana ia menjaga harta karunnya, mengapa sekolah tidak ingin mengekspos berita kematian Emma? Dia anak unggulan kan? Tapi justru pihak sekolah lebih ingin menutup kasus ini dan menutup telinga seolah tak terjadi apa-apa?"

"Soal itu kamu bisa tanyakan pada tetinggi di Mayora, saya cuma pelatih klub panah. Saya tidak tau menahu soal itu, Krystal."

Benar juga, batin Krystal. Ada yang tidak beres dengan sekolah ini. Siapa sih Direktur utamanya?

***

Masih di hostel, Rhea sudah membuat kamar hostel nya semakin berantakan dari sebelumnya. Ia mencari terus hingga di bawah kolong tempat tidur, tapi tak ketemu juga. Ia mencari di dalam koper, di laci meja rias juga tidak ada. Hingga ia kelelahan dan merebahkan dirinya di atas tumpukan sprei yang berantakan.

Ia mengerutkan dahinya.

"Kalau memang benar gue yang bunuh Emma, lalu siapa yang udah bantuin gue buat rusak cctv dan mencuri semua rekamannya? Siapa yang udah repot-repot kerja sama dengan pihak polisi untuk menghapus jejak DNA dan sidik jari di sana? Pasti dia bukan orang biasa, pasti dia orang yang punya relasi di situ juga. Tapi siapa?"

Akh, Emma semakin menambah beban hidupnya setelah mati. Rhea menarik rambutnya kesal. Ia tak sengaja melihat baju kotornya yang ada di gantungan pintu. Perempuan itu membuang napas kasar dan mengambil beberapa pakaian kotor yang tergantung di sana. Ada hoddie, kaos, jaket, dan juga cardigan. Saat ia hendak mengumpulkan semua pakaian kotor itu untuk di laundry nantinya, tiba-tiba sebuah benda jatuh ke lantai menciptakan suara kecil yang masih bisa didengar oleh Rhea.

Ia mundur dan melotot saat mengetahui apa yang baru saja terjatuh dari saku pakaian kotornya. Perempuan itu menjatuhkan pakaian kotor, berjongkok dan mengambil benda itu untuk ia lihat lebih dekat lagi. Sebuah name tag bernama Emmanuella O'Hara.

***
Bersambung

IGENIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang